Suara.com - Hana Hikoyabi adalah seorang pegawai negeri sipil di Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Seharusnya hidupnya sudah 'aman' sebagai abdi negara dengan penghasilan dan tunjangan tetap.
Namun Hana memilih untuk melawan diskriminasi perempuan di Papua yang terjadi selama berpuluh-puluh tahun. Diskriminasi itu datang dari budaya adat setempat dan birokrat tempat Hana bekerja. Dia harus merelakan kepangkatannya sebagai PNS dihambat di lingkungan pemerintahan.
"Kekerasan terhadap perempuan hampir di semua sektor. Kesehatan, lingkungan, hak politik, hak ekonomi, di birokrasi," cerita Hana.
Peraih SK Trimurti Award 2015 itu saat ini menjabat sebagai Kepala Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Jayapura itu mengatakan ingin mengubah pandangan masyarakat Papua untuk bisa memperlakukan perempuan lebih 'manusiawi'. Bersama teman-temannya di Tabloid SPP, Hana menyebarkan tulisan-tulisan tentang hak perempuan dan anak.
"Gaji saya sekarang Rp17 juta, Rp12 juta saya berikan untuk Tabloid SPP untuk biaya kelola. Karena Tabloid ini harus terus hidup," kata Hana.
Jatuh bangun, Hana menjalankan kerja sebagai wartawan untuk memberikan informasi-informasi pro perempuan dan anak. Hana juga melatih perempuan di Papua sampai bisa menulis dan menjadi wartawan.
Bagaimana sepak terjang Hana mengangkat harkat martabat perempuan di Papua? Apa hasilnya?
Berikut cerita lengkap Hana saat ditemui suara.com pekan lalu:
Bagaimana awal ide Anda membuat Tabloid Suara Perempuan Papua?
Suaru saat di tahun 2004, saya sedang dalam perjalanan di pesawat. Saya lihat ada satu media yang ditulis oleh para perempuan, saya baca dan berpikir kenapa kami perempuan Papua tidak bisa seperti perempuan lain? Apa yang kurang dari kita? Kita bisa menulis. Akhirnya dengan terpanggil, saya bicarakan dengan teman-teman, termasuk dengan para pejabat di sana. Saya share dengan beberapa teman aktivis dan beberapa teman di Jakarta ide membuat Tabloid Suara Perempuan Papua.
Saat itu tabloid ini mempunyai motto 'perempuan dan transformasi'. Lalu dua tahun berkutnya diubah menjadi 'menyuarakan kaum tak bersuara', sampai saat ini itu dipakai. Kami juga menerbitkan buku-buku yang tetap dengan nafas perempuan.
Kami tidak sendiri, ada penampingan dari jurnalis dari Jakarta. Ada dari Jurnal Perempuan, Pak Yosep Stanley Adi Prasetyo (Mantan Wakil Ketua Komnas HAM) juga menjadi guru kami. Mereka melatih para perempuan dan laki-laki yang kita rekrut untuk bisa membangun satu gerakan dan menumbuhkan perspektif bersama dalam gerakan.
Gerakan yang kami mulai ini dengan aktivis perempuan, aktivis gereja, PNS, teman perempuan yang bekerja di Freeport. Perempuan dari grass root juga ikut. Memang ini sangat mempuntai dampak yang sangat hebat. Kami hadir dengan modal idealis dan menyuarakan fakta- fakta di lapangan.
Banyak tantangan yang kita hadapi. Tapi dari tantangan itu ada catatan penting untuk kami bahawa mempertahankan satu media, kita harus menjaga keseimbangan tulisan yang harus jalan terus, dan hidup harus jalan terus. Maka berita juga harus bisa seimbang. Karena perusahan yang besar di Papua hanya Freeport sendiri. Banyak media di Papua ketergantungan iklan dengan perusahaan itu dan iklan Pemda. Kami harus tetap independen.
Kita tidak boleh tergantung oleh siapapun. Karena apa yang kami suarakan mempengaruhi kebijakan oleh pemerintah. Kita harus menjaga keseimbangan ini. Kalau kita pojokan dia, mereka akan putus kerjasama. Hal seperti itu yang kita dapat di tengah jalan. Mempertahankan idealis kita, tapi ekonomi kita juga harus kuat. Ini advokasi, tapi sisi bisnis juga hrus dijaga. Sehingga tidak jadi ancaman, yang membuat satu tenggelam dan tak bisa jalan.
Karena masyarakat menuntut media ini adalah tulang punggung informasi mereka. Media ini dianggap jujur bersuara. Makanya kita harus berpihak ke rakyat. Makanya kita menggandeng aktivis dan LSM.
Darimana modal awal Anda untuk membangun media ini?
Saat itu ada bantuan dari Jacobus Perviddya Solossa (mantan gubernur Papua 2001-2005). Tapi setelah itu kami bisa jalan sendiri dengan tuntutan harga cetak lebih tinggi. Akhirnya kami bisa cetak 2 mingguan. Ini selalu laku, apalagi kalau topiknya menarik. Mereka sampai cari ke kantor kalau tabloidnya habis. Kita yang dari pimpinan mendapatkan rong rongan dari pihak-pihak yang tidak senang.
Anda PNS dan aktivis perempuan. Anda banyak mengkritik pemerintah. Bagaimana agar kedua status itu tidak berbenturan?
Dalam kode etik Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia) ada 10 prinsip. PNS dituntut transparan, adil, menjaga etos kerja, jujur, disiplin, pemberdayaan kejujuran dan kebaikan ke anak buah, dan beretika. Itu ada di korpri. Tapi kenyataannya tidak dijalankan seperti itu. Kita yang menuntut keras pasti akan dihambat dari sisi kepangkatan. Jabatan pun dihambat, karena dianggap terlau kritis.
Sebagai PNS saya melihat betul ketidakadilan. Saya protes ke pimpinan. Saya dipersalahkan karena dianggap tidak beretika seperti itu. Tapi saya bilang, sekarang orang Papua menjadi pesuruh. Kami juga mau maju seperti saudara-saudara kita di tempat lain, di Jawa dan Sumatera. Saya mulai membangun gerakan ini, membuat orang-orang Papua menjadi tuan rumah di tempatnya sendiri. Teman-teman PNS lain memberikan dukungan.
Lalu apa yang Anda lakukan?
Kami lakukan perombakan-perombakan. Dulu di Papua pernah ada kementerian yang membuat pelatihan PIM3 ke daerah, tapi itu kebanyakan untuk PNS yang berasal dari luar Papua yang ikut pelatihan. Saya mendorong PIM3 ini juga diikuti oleh para PNS-PNS orang Papua. Saya undang mereka dari daerah untuk ikut ini di Jaya pura. Akhirnya sekarang mereka sudah menjadi pejabat di mana-mana. PIM3 itu diklat penjenjangan, kalau sudah ikut pendidikan itu baru bisa jadi kepala-kepala dinas atau tempat lainnya.
Dulu di Depkumham jarang ada orang Papua, apalagi di Imigrasi. Saat itu saya melakukan terobosan. Misal ada soal-soal yang diujikan dibawa dari jakarta, saya protes. Siapa yang tahu Kali ciliwung di Jakarta? Orang Papua hanya tahu sungai di sini. Siapa yang tahu kereta api? Jadi soal-soalnya harus kepapuaan. Jangan soal-soal seperti itu menjadi tolak ukur. Kemudian di penentuan, 80 persen PNS di sini orang luar. 20 persen orang papua. Saat itu saya lakukan terobosan, 70 persen orang papua dan 30 persen orang pendatang. Tapi sayagnya sekarang sudah kembali kayak dulu, kebanyakan orang pendatang jadi PNS di Papua. Sementara orang Papua sangat sendikit.
Mengapa PNS di Papua diisi bukan oleh orang asli Papua?
Terutama di Imigrasi kan belum banyak yang bisa terlibat di dalam dengan mengerjakan pekerjaan teknis. Bidang-bidangnya masih baru. Lainnya karena orang Papua tidak diberikan ruang dan kesempatan. Saya bilang sama pimpinan, posisi ini tidak betul.
Anda sering menerima ancaman di lingkungan sendiri sebagai PNS?
Pasti sering lah. Yang paling sederhana soal pangkat, penghambatan penaikan pangkat. Teman-teman saja itu sekarang sudah golongan 4B, saya baru 3A. Karena itu dihambat. Saya sadar itu risiko. Tapi saya merasa apa yang saya lakukan berguna untuk banyak orang dan ada risiko. Saya enjoy dan puas. Tapi tidak menguntungkan secara pribadi.
Apa yang terjadi pada perempuan Papua, hingga Anda harus membela mereka?
Itu terpanggil dari melihat banyak hak anak dan perempuan yang kurang mendapatkan keberpihakan dari pendekatan pembangunan Papua selama ini. Saya melihat perempuan di bagian Indonesia lain menulis buku dan membuat majalah. Mereka aktif dalam mengembangkan pikiran mereka untuk pembangunan positif. Tapi mengapa perempuan di papua tidak bisa begitu?
Padahal keterlibatan perempuan Papua ini penting dalam pengambil kebijakan. Menyambung suara rakyat yang disampaikan kepada pengambil keputusan. Di Papua, pembangunan kurang menyentuh kaum yang termajinalkan.
Apa yang belum disentuh?
Hampir di semua sektor tampak, tapi kami harus memulai melakukan itu. Seperti penulis berita. Saat kami mendirikan Suara Perempuan Papua pada 2004, ada berapa yang bisa menulis? Sekarang sudah ada beberapa yang bisa menulis, bahkan dari kami ada yang sudah kami orbitkan jadi pemimpin redaksi media massa.
Tapi saya masih sedikit sekali lihat perempuan Papua yang bekerja. Mereka lebih banyak mengobrol dan berkumpul, sia-sia yang mereka lalukan tak berbuat apa-apa. Saya ingin melibatkan mereka dalam lingkungan baru.
Kekerasan terhadap perempuan hampir di semua sektor. Kesehatan, lingkungan, hak politik, hak ekonomi, di birokrasi pemerintahan. Ini harus ada supaya suara mereka sampai ke pengambil kebijakan. Itu kita lakukan lewat media ini, menyuarakan mereka agar pemerintah bisa tahu dan bisa pengaruhi opini pemerintah pusat.