Suara.com - Kaharuddin Djenod menghabiskan masa mudanya di Jepang. Bergaji besar dan hidup enak, tidak membuat dia melupakan Indonesia yang serba 'terbatas'.
Kaharddin adalah pakar perkapalan yang pernah bekerja di perusahaan pembuat kapal terbesar di dunia, di Jepang. Gajinya 2 kali lipat dari pekerja-pekerja sejenis di sana. Sejak 1991, Kaharuddin hidup di Negeri Sakura, sekolah dari S1 sampai S3.
Sepulangnya ke Indonesia tahun 2005, dia mendirikan sebuah perusahaan desain perkapalan swasta pertama di Indonesia. Ini titik awal teknologi perkapalan Nusantara setelah teknologi perkapalan dikuasai perusahaan 'plat merah', PT PAL.
Puluhan kapal dia buat tiap tahun dengan mempekerjakan 60 desainer kapal. Namun di awal pendiriannya, Kahar menemukan banyak tantangan.
Sebagai pakar perkapalan yang tahu persis kekuatan Indonesia di laut, Kahar menilai industri perkapalan Indonesia masih serba kekurangan.
Jadi Kahar pun tidak berharap banyak kepada target Presiden Joko Widodo yang menjadikan Indonesia sebagai poros maritim. Sebab selama merdeka, sudah salah urus.
"Saya tidak terlalu mengharapkan dalam masa jabatan 5 tahun ini Pak Jokowi bisa menyelesaikan sekian banyak, itu harapan terlalu tinggi," kata Kahar.
Kahar bisa saja bicara itu karena dia sudah membuktikan kemampuannya di lautan. Lelaki alumnus beasiswa BJ Habibie itu pun mempunyai penemuan besar sehingga perusahaan perkapalan terbesar di dunia saja berani membayarnya dengan harga yang tak terhingga.
Penemuan besar apa yang sudah membuat perusahaan perkapalan kelas dunia melirik Kahar?
Kahar pun akan membangun proyek yang akan membuat negara lain memandang Indonesia sebagai negara yang mengerikan, Apa itu?
Berikut wawancara suara.com dengan DR. Kaharuddin M.Eng di sebuah apartemen di pusat Kota Jakarta pekan lalu:
Anda sekolah tinggi di Jepang, bekerja di galangan kapal dunia dengan gaji di atas rata-rata. Mengapa ingin kembali ke Indonesia?
Saya ingin pulang dari Jepang sejak awal berangkat dari Indonesia. Pasti nantinya akan pulang karena sudah jiwa saya. Saya berpikir, berkarier di luar negeri bukan untuk selamanya. Awal pertama kali berangkat ke Jepang hanya untuk kuliah S1 saja.
Setelah itu pulang ke Indonesia dan mulai menerapkan ilmu. Begitu menjelang lulus S1, saya merasa bayak ilmu yang masih kurang. Kalau saya disuruh mendesain satu kapal penuh, nggak bisa. Akhirnya, saya putuskan untuk masuk S2, dan berpikiran hal yang sama, hingga S3.
Saat itu belum bisa bayangkan setelah lulus S3, mau apa? Inginnya cuma balik ke Indnesia saja. Saya baru sadar di S2 dan S3, ilmu yang saya pelajari makin menyempit, bukan memperluas.
Akhirnya saya putuskan masuk dan kerja di industri galangan kapal di bagian desain centre. Beberapa galangan kapal di Jepang menawar dengan iming-iming gaji besar dan sebagainya. Tapi yang saya pilih sebuah perusahaan galangan kapal tanker terbesar di dunina, Shin Kurushima Dockyard.
Namun saya memberikan syarat, bukan syarat gaji. Saya harus masuk ke semua lini desain bagian dari proses pembuatan kapal di perusahaan itu, mulai dari A sampai Z. Untuk galangan kapal, syarat itu tidak mungkin diperbolehkan, karena desain itu luas. Di masing-masing bagian itu saya serap ilmunya.
Apa tawaran tinggi Anda saat itu, hingga meminta hal yang tidak mungkin dilakukan sebuah perusahaan dunia?
Saya mempunyai sistem yang saya bangun selama 12 tahun, itu adalah sistem berdasarkan asumsi akademis. Yaitu bagaimana membangun kapal yang paling optimal, efisien, dan canggih. Shin Kurushima Dockyard bisa menggunakan sistem yang saya kembangkan itu.
Sistem ini adalah sistem optimasi. Kapal tanker itu harganya sangat mahal sekali, miliaran, bahkan triliun. Dengan menggunakan sistem ini, maka ongkos pembuatan kapal akan hemat. Itu bisa melakukan penghematan sampai 10 persen dari ongkos produksi. Berapa besar keuntungan yang mereka mdapatkan? Misal kapal seharga Rp1 triliun, hemat 10 persen kalau memakai sistem saya, bisa hemat Rp100 miliar. Itu keuntungan sendiri.
Saat itu saya membuat kapal tanker dengan berat muatan 45 ribu ton. Saat itu terjadi penghematan 12,8 persen.
Keuntungan yang saya dapatkan, karena sejak S1 sampai S3 belum bisa menguasai ini semuanya sampai dalam. Ketika saya dapatkan kesempatan seperti itu saya bisa 'mencuri' teknologi yang sangat sulit. Bahan sampai saat ini pemerintah Indonesia belum bisa mencuri satu teknologi dari Jepang atau negara lain. Selama 2 tahun bekerja di sana, desain kapal dari A sampai Z saya tahu semua.
Barulah ketika sudah mengasai semua, saya pulang ke Indonesia dan mendirikan perusahaan desain kapal Terafulk Megantara pada 10 November 2005. Saya mencari partner di Indonesia untuk mendirikan perusahaan.
Anda salah satu mahasiswa yang dikirim Pak BJ Habibie untuk sekolah ke Jepang, bagaimana ceritanya?
Itu tahun 1991. Sejak tahun 80-an, Pak Habibie membuat program beasiswa untuk menyaring lulusan SMA Indonesia. Saringannya sangat ketat. Program ini untuk mencetak ahli-ahli di berbagai bidang teknologi. Di angkatan saya, ada 30-an.
Semua itu dikirim juga ke seluruh dunia. Dari program beasiswa ini Dari angkatan beasiswa Habibie ini, kita membentuk perkumpulan IABIE (Ikatan Alumni Program Habibie). Di Jepang, saya sejak 1991, kembali tahun 2006. Saya full di sana.
Sehingga wajar kalau tahun-tahun saat ini kita yang pernah dikirim dulu, seusia 35 ke atas, bisa dilihat rata-rata dari Habibie ini. Karena sudah waktunya mereka membangun. Tujuannya saat itu untuk menciptakan SDM-SDM yang tangguh untuk masa depan. Untuk mengisi PT PAL, PT DI, dan sebagainya. Meski pun pada kenyataannya saat kembali, Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) itu bubar oleh kepentingan asing yang tidak menginginkan kita untuk mandiri.
Anda membangun perusahaan desain perkapalan swasta pertama di Indonesia, ini pionir di Indonesia, apa kesulitannya?
Pertama dan terbesar hingga saat ini adalah membangun SDM desain perkapalan. Saat itu yang hanya bisa membangun SDM-nya adalah PT PAL. Saat itu, PAL BUMN paling besar di Indonsia, galangan paling besar juga. Sampai saat ini Indonesia mempunyai 200-an galangan kapal. Potensi kita ini besar.
Tapi satu-satunya yang mempunyai kekuatan desain kapal dari A sampai Z itu hanya PT PAL. Bisa dibayangkan, saya hanya bermodal pulang saja, harus membangun perusahaan desain kapal.
Saat itu 2005 saya dirikan, saya belum pulang dari Jepang. Tiap setiap bulan saya pulang, untuk membangun sistem, merekrut SDM. Pendidikan SDMnya, saya langsung kendalikan dari Jepang. Di Jepang saya mempunyai 2 monitor komputer untuk memantau pekerjaan perusahaan saya di Surabaya. Jadi memantau lewat webcam. Di Jepang sudah bagus saat itu sambungan internetnya. Di Indonesia masih sangat buruk, masih lemot, bahkan belum punya 3G. Akhirnya saya sewa langsung sambungan satelit, sehingga bisa connect.
Modal awal perusahaan saat itu hanya Rp1,4 miliar, dan pengiritan sekali. Saat itu targetnya tahan tidak mendapatkan order selama 2 tahun. Saat itu irit sekali. Saya tidak langsung merekrut banyak SDM. Pertama saya punya 2 SDM, seterusnya saya ambil 2 orang. Mereka fresh graduate dari ITS, UI dan sebagainya. Saya didik sendiri.
Lalu saya juga kesulitan mendapatkan software. Software desan kapal itu mahal sekali dan tidak mungkin memakai bajakan. Satu licence itu harganya sudah miliaran rupiah. Kalau yang murah software analisis masih di sekitar harga Rp250 jutaan. Untuk mendesain kapal A-Z itu paling tidak minimal 4 software. Itu sudah bisa dibayangkan. Saya harus menyediakan Rp4 miliar untuk ini. Dan itu kemudian saya mencari cara.
Kesulitan ketiga, mindset dari pasar. Pasar belum bisa melihat kebutuhan sebuah desain kapal. Kalau kita membangun satu produk tanpa kemampuan untuk desain, sementara kompetitor kita mempunyai kemampuan untuk desain dan sebagainya. Daya kompetitif kita rendah. Pembuatan kapal tanker mulai dari desain sampai jadi fisik kapal, membutuhkan waktu 1 tahun.