Suara.com - Livi Zheng, salah satu diaspora Indonesia di bidang perfilman paling sukses saat ini. Nama Livi mulai berdengung di media massa Indonesia sejak debut filmnya, Brush with Danger masuk nominasi Academy Awards 2015 atau Oscar. Terlebih, Livi bukan sutradara kelas lokal, tapi Hollywood.
Sebelum namanya dikenal oleh orang Indonesia, Livi sudah berprestasi di bidang olahraga bela diri karate dan wushu. Di Amerika Serikat, dia sudah mendapatkan 25 medali di berbagai turnamen negara bagian di AS.
Perempuan 26 tahun itu mulai meninggalkan Jakarta pascalulus SMP. Dia melanjutkan SMA di Western Academy of Beijing di Cina sambil mendalami bela diri wushu. Setelah itu dia terbang ke Washington, AS untuk kuliah ekonomi di University of Washington. Saat itu Livi mulai jatuh cinta dengan dunia film. Dia kursus berbagai hal untuk mendapatkan pengetahunan dunia sinema.
"Saya cinta dengan dua hal, film dan wushu," kata Livi.
Langkah Livi menjadi sutradara dan akhirnya menggarap film yang baru tayang September 2014 lalu tidak lah mudah. Butuh 3 tahun menggarap film itu. Saat itu Livi berusia 23 tahun. Skenario ceritanya ditolak 30 kali dan dia 'jungkil balik' mencari kru film.
Untuk membentuk kru film saja membutuhkan waktu 1 tahun. Menurut dia, kru film Hollywood hanya mau bekerja dengan sutradara 'berkelas'. Faktanya saat itu Livi baru memulai menjadi sutradara film panjang.
"Saya sudah buat film pendek, tapi beda kelasnya kan," kata Livi.
Sekarang Livi merasa sudah mudah jika ingin membuat film di Amerika Serikat. Semua berkat status dia sebagai sutradara yang filmnya pernah mendapatkan nominasi Oscar.
Namun Livi tetap sadar penuh, dia orang Indonesia yang dilahirkan di Blitar, Jawa Timur. Ketika suara.com berbincang, logat bahasa Livi masih 'medok' Jawa. Bahkan sejak usia belasan tahun di luar negeri, Livi masih punya KTP Indonesia. Dia tidak berniat untuk pindah kewarganegaraan.
Namun Livi tidak bisa langsung menjawab saat ditanya kapan akan kembali ke Indonesia dan berkarier di Indonesia. Beberapa detik kemudian dara berparas Tionghoa itu baru menjawabnya. Apa jawabannya?
Livi pun tengah mempersiapkan film terbarunya di Indonesia. Film tentang apa? Kapan akan digarap?
Berikut wawancara khusus suara.com dengan Livi pekan lalu di kawasan Serpong, Tangerang Selatan:
Dari muda, Anda memasuki dunia perfilman Hollywood. Tantangan apa yang Anda temukan?
Di Hollywood, kalau mau jadi sutradara nggak bisa langsung. Pertama kali aku coba jadi asisten produksi, dan tidak dibayar sama sekali. Cuma dapat makan saja. Aku coba jadi jadi asisten sutradara, asisten produser, asisten lighting.
Lima tahun kemudian saya menjadi sutradara, waktu itu usia saya 23 tahun. Di Hollywood atau Amerika, kesulitan menjadi sutradara muda dan baru mulai itu mencari kru film. Kru film tidak asal mau diajak untuk menggarap film, mereka pilih-pilih. Kru itu di antaranya kameramen, penata suara, visual effect dan kru inti lainnya. Mereka ingin membantu sutradara yang sudah menang award, misal AMI atau Oscar.
Tapi meski sudah menang award, tapi film terakhir si sutradara itu jelek, yah itu artinya gagal total. Jadi mereka sangat piki, nggak mau sembragan pilih film. Misal aku meeting sama seorang senior di film, mereka akan ambil alih meeting itu dan minta skenario. Kalau mereka bilang hanya "skenario ini banyak potensi", itu artinya skenario ini jelek dan pasti di-reject (dibuang).
Anda mengalami itu?
Iya, saat itu aku harus revisi skenario sampai 30 kali lebih, sampai akhirnya ada orang yang bilang ini bagus. Tapi yang pertama itu sulit sekali. Menulis skenario itu nggak gampang, orang selalu lihat ini belum bagus. Padahal kita sudah mengira bagus banget. Yang mereka lihat misalnya karakter di cerita kurang kuat, ceritanya terlalu slow. Kalau dibilang begitu, itu artinya harus rombak seluruh skenario lagi.
Karena perfilman Hollywood sangat melihat portfolio. Aku ini saat itu masih baru, aku belum ada portfolio karena baru pertama kali jadi sutradara.
Tapi sebelumnya, aku ada beberapa garapan film, tapi film pendek. Itu kan jauh banget bedanya sama layar lebar. Saat itu kru yang saya ajak melihat skenario. Kalau mereka nggak cocok, nggak bakal mau jadi tim kita.
Akhirnya Anda mendapatkan kru, bagaimana bisa?
Saya cari-cari informasi dari teman, atau dari temannya teman aku. Aku direkomendasi, kalau nggak, nggak akan bisa. Meski direkomendasi, belum pasti juga mereka bersedia. Di film panjang pertama yang aku garap, 'Brush with Danger', sampai setahun mencari kru. Ada 30 orang yang harus aku cari, dan semua dari Hollywood.
Saya didukung banget sama stunt coordinator saya, David Bushey. Pertama kali saya bilang ingin jadi sutradara di Hollywood, dia bilang akan ada 3 halangan yang akan menghadang saya. Yaitu karena saya orang asia, perempuan dan masih muda. Jadi dipandang sebelah mata. Tapi aku yakin-yakin saja. kalau aku nggak yakin, siapa yang mau yakin juga? Jadi aku tetap jalan.
Dia juga bilang, tidak mudah membuat film di Hollywood. Bukan karena birokrasi, tapi lebih ke persaingan saja. Cowok pun akan sulit jadi sutradara, apalagi cewek.
Saat menjajal menjadi sutradara kelas dunia, usia Anda baru 23 tahun, apakah Anda merasa tidak terlalu cepat karier itu?
Sebenarnya nggak cepat juga. Sebenarnya jadi sutradara itu di tahun ke-5, waktu itu 23 tahun. Aku banyak belajar dan bantu sebagai asisten. Semua bagian saya coba, dari misalnya ambil cathering (makanan), bantu persiapkan kostum, angkat-angkat lampu. Aku bantu dari awal. Jam kerjanya juga panjang sampai 16 jam sehari, capek.
Tapi memang begitu menjadi sutradara, perasaannya kayak loncat banget. Karena aku merasa sudah eksperience dan banyak pengalaman bertahun-tahun. Perasaan sudah bisa, ternyata belum.
Anda kursus perfilman selama di Amerika Serikat, apa yang dipelajari?
Aku ambil kurus long the way, misal saat musim panas, kursus kamera sampai akting. Semua dijalani secara terpisah dan bergantian. Saya merasa kursus dan menjadi asisten kru film bertahun-tahun, ternyata belum cukup saat ingin menginjak menjadi sutradara. Seperti mencari kru, kita harus membuat orang percaya dengan film yang ingin digarap. Ternyata untuk mendapatkan kepercayaan itu nggak mudah.
Artinya di usia muda menjadi sutradara di Hollywood membuat Anda kaget dan itu loncatan drastis?
Iya. Yang paling kaget saat skenario saya ditolak berulang kali dan terus direvisi sampai 30 kali lebih. Itu membuat down.
Bagaimana Anda mempertahankan semangat itu?
Saat itu dibilang percaya diri banget, yah nggak. Habis sudah percaya diri, terus ditolak, bagaimana dong? Down! Orang lain merasa kita belum bisa. Tapi ya sudah lah, mau bagaimana lagi?
Dalam situasi itu, ditambah rasa gelisah sulit memilih untuk meneruskan sebagai ahli ekonomi atau ke film. Saat itu saya kuliah di University of Washington, jurusan ekonomi. Aku memang senang dengan dunia ekonomi. Di sisi lain aku suka dengan dunia film. Tapi dunia film jam kerjanya panjang, sampai 16 jam, kalau ekonom kan tidak. Kalau pilih dua-duanya, nggak mungkin.
Aku tanya ke orangtua, kata mereka pilih apa pun, aku harus sukses di bidang itu bagaimana pun caranya.
Anda tengah menyelesaikan film kedua, sudah sejauhmana?
Sudah selesai syuting, lagi proses visual effect. Dan tengah siapkan film ketiga, sudah sampai riset. Pemainnya di antaranya Tony Todd (Star Trek, The Crow), John Savage (Message in the Bottle), Keith David (Armageddon, Hawaii Five O), Madeline Zima (The Vampire Diaries) dan Sean Patrick Flannery (The Young Indiana Jones).
Di film ini, saya sudah lancar sekalik arena film pertama mendapatkan nominasi Oscar dari 40 ribu judul film dan itu yang membuat gengsi dan kebanggaan. Setelah masuk Oscar itu, pintu terbuka banget. Kalau dulu kan bingung cari kru, kalau sekarang orang pada kirim skenario, kirim portfolio. Mereka mengantre.