Suara.com - Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mencatat remitansi atau uang kiriman dari tenaga kerja Indonesia (TKI) resmi dari luar negeri ke dalam negeri rata-rata pertahun sebesar 8,4 miliar dolar Amerika Serikat. Ini setara Rp 100,8 triliun.
Kini diperkirakan ada 6,5 juta TKI resmi yang tersebar pada 114 negara di dunia. Sementara ada 1,9 juta TKI ilegal versi BNP2TKI sampai akhir 2014. Sedangkan versi Kementerian Luar Negeri ada sebanyak 2,7 juta TKI ilegal. Jumlah pengiriman TKI resmi terus menurun pertahunnya. Terakhir, sampai Juli 2015 ada 170.880 orang yang menjadi TKI.
Dengan jumlah pengiriman uang itu, pantas jika istilah pahlawan devisa yang sandang TKI belum pudar. Meski catatan LSM pemerhati buruh migran, Migrant Care mencatat angka kekerasan TKI terus meningkat. Terutama kekerasan di negara Timur Tengah.
Kekerasan meningkat disebabkan keahlian seseorang untuk menjadi TKI minim, terutama di sektor informal sebagai pekerja rumah tangga (PRT). Selain itu pendidikan rendah TKI yang rata-tata lulusan SMP dan SD juga menjadi faktor utama.
Di balik nasib kelam TKI, ada cerita inspiratif dari seorang mantan TKI Arab Saudi. Dia mantan TKI yang saat ini menunggu gelar doktor ilmu hukum dari Universitas Padjajaran. Nama perempuan itu adalah Nurhayati Solapatri.
Airmata perempuan berkerudung itu sesekali menetes menceritakan perjuangannya menjadi pekerja rumah tangga di dekat perbatasan Jordan-Arab Saudi, sampai akhirnya mendapat gelar sarjana dan masternya di ilmu hukum.
Perempuan asal Desa Samparwadi, Serang, Banten itu mengatakan bekerja menjadi TKI tidak sepenuhnya membuahkan hasil gemilang. Alih- alih berharap mendapatkan uang banyak, malah akan terjebak dalam lingkaran setan menjadi 'sapi perah' dengan bekerja di negeri orang.
Makanya TKI pun harus berpendidikan. Dengan pendidikan, maka akan membuka jalan untuk meniti hidup yang lebih baik.
"Nggak ada TKI yang mau sekolah tinggi. Tapi ini harus dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan. Kalau orang berilmu itu, dunia di genggaman kita. Derajatnya akan dinaikkan," kata Nur.
Bagaimana cerita Nur sampai hampir meraih bergelar doktor ilmu hukum? Apakah dia mendapatkan kekerasan saat menjadi TKI?
Berikut cerita lengkap Nur saat wawancara Suara.com di ruang kerjanya di Kampus Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten pekan lalu:
Bagaimana awalnya Anda menjadi TKI?
Saat itu tahun 1998, saya lulus SMA dan mendapatkan predikat lulusan terbaik. Semua senang, semua murid eforia. Tapi saya sedih saat naik ke panggung. Kepala sekolah bertanya, “mau ke mana setelah ini?” Saya merasa itu pukulan terberat. Saya nggak bisa jawab. Saya menangis sambil menatap orangtua saya. Saya orang miskin dan tahu diri.
Saya anak pertama dari enam bersaudara. Ayah kerja PNS golongan rendahan dengan gaji sangat kecil. Buat makan susah, bagaimana saya bisa lanjutin sekolah? Padahal di SMA saya juara umum.
Saya ke rumah nenek di (Kecamatan) Pontang di Kabupaten Serang, Banten. Saya dengar ada teman saya pulang dari Arab Saudi menjadi TKI. Dengar cerita, dia bawa uang banyak. Di sana saya berpikir mau jadi TKI. Dua tahun saja jadi TKI-nya. Pulang ke rumah orangtua, saya bilang sama keluarga mau jadi TKI. Padahal dulu saya benci banget sama pekerjaan TKI. Di Serang ada 3 daerah yang jadi sentra TKI, di Kecamatan Pontang, Tirtayasa, dan Tanara.
Orangtua saya marah. Saya bilang, saya ingin kuliah. Hidup saya, saya yang menentukan. Akhirnya lama-lama orangtua saya kasih izin. Saya daftar jadi TKI dan pergi ke Jakarta daftar ke PT Armina Cipta Karya. Di penampungan TKI, saya kaget karena kondisi memprihatinkan.
Saat itu tahun 1998 krisis, banyak orang yang ingin jadi TKI. Bahkan penampungan penuh, saya sampai tidur dekat toilet. Sedih. Saya lihat di penampungan, dengar orang ngobrol. Saya ketakutan, nanti di sana gimana? Banyak yang dianiaya dan disiksa.
Karena cita-cita mau kuliah, buku pelajaran saya bawa semua waktu di penampungan TKI. Saya berdoa dapat majikan baik, jadi bisa belajar dan nggak ketinggalan saat SMPMB. Tapi Saya dicibir di penampungan. Mau jadi TKI saja bawa-bawa buku. Kata mereka percuma, di sini pendidikan tinggi cuma jadi pembantu.
Akhirnya saya berangkat dan bekerja di majikan suami istri dokter mempunyai 2 anak. Sampai di Arab Saudi pagi, tapi baru dijemput malam hari. Semua dokumen saya diambil. Tapi sebelum berangkat saya sudah fotocopy dokumen dan dikirimkan ke orangtua lewat penjaga penampungan TKI di Jakarta. Saya juga membuat catatan nomor telepon di kerudung. Karena kita nggak pernah tahu apa yang akan terjadi. Di kerudung saya tulus nomor telepon. Tapi disamarkan dengan tulisan, digambar sulaman matahari untuk angka nol atau angka satu digambar pohon kepala.
Saya perhatikan, sekarang banyak TKI yang tidak memegang salinan dokumen. Karena pihak penyalur TKI itu sengaja, kasih dokumen pada saat terbang. Karena mereka takut si TKI lari atau berubah pikiran tidak jadi bekerja.
Data diri Anda juga sempat dipalsukan saat itu, bagaimana ceritanya?
Iya, biodata dipalsukan. Usia saya ditambah jadi tua. Saya kelahiran 1979, tapi dituakan jadi tahun 1968. Lulusan saya SMA, tapi harus mengakui lulusan SD. Saya protes saat itu, tapi nggak bisa. Kalau nggak mau dipalsukan, nggak bisa berangkat.
Apa alasan dipalsukan?
Banyak yang dipaksa untuk mengaku agar lulusannya rendah. Kalau pendidikan rendah mudah jadi TKI. Daerah asal saya juga direkayasa dari Cianjur. Ada semacam tradisi, orang Cianjur lebih mudah diterima orang Arab untuk bekerja daripada daerah lain. Mungkin karena lemah gemulai.
Apa pekerjaan Anda di sana?
Saat itu saya bekerja di Kota Tabouk, dekat perbatasan Jordan. Saya sebagai pembantu tumah tangga. Mengepel, cuci piring, dan jagain anak. Di sana sulit gunakan alat-alat dapurnya yang modern. Sampai sana saya tak bisa apa-apa, bahkan sampai bahasa saya tidak mengerti. Karena waktu di penampungan sama sekali tidak dilatih skill dan lain-lain. Makanya sampai bawa kamus bahasa Arab, saya belajar sendiri. Inilah kenapa banyak TKI yang disiksa karena gagap budaya dan nggak bisa apa-apa.
Anda menerima kekerasan?
Iya, tapi kalau kekerasan fisik tidak. Kekerasan lebih ke verbal. Dicaci maki dan dibentak. Itu karena saya tidak bisa berbahasa di awal bekerja. Tidak bisa memakai alat-alat rumah tangga. Tapi lama-lama saya dinilai oleh majikan termasuk PRT yang smart. Di sana saya juga ajarkan anak-anak mereka senam. Anak mereka kan berbadan besar-besar. Saya juga bantu belajar anak SD. Itu untuk mengambil simpati majikan. Saya ajarkan gambar, buat pernak pernik. Majikan saya juga sering mengajarkan saya bahasa inggris, mereka kan dokter.
Saya diperlakukan baik. Saya makan pun 1 meja, biasanya PRT dan majikan dipisah. Setiap 3 bulan sekali cek kesehatan, tiap siang dipaksa untuk tidur siang dari jam 2 sampai jam 4 sore. Majikan saya pulang kerja jam 12 siang.
Berapa gaji Anda?
Sekitar 600 riyal sebulan, tapi saya minta digaji pakai dolar Amerika Serikat. Waktu itu dolar sampai Rp15 ribu. Saya dapat uang tambahan dengan mengajarkan senam. Saya diberitambahan 200 riyal. Kalau dirupiahkan rata-rata Rp3 jutaan sebulan. Gaji langsung diberikan ke saya.
Anda ingin kuliah, artinya uang disisihkan. Bagaimana caranya?
Sebelum berangkat, saya sudah bilang ke orangtua, niatnya untuk kuliah. Jadi setahun gaji saya dikirim untuk mereka, setahun lagi untuk saya tabung. Itu sangat sulit menabung, karena ada saja keperluan untuk keluarga.
Baru sebulan kerja, saya diberikan hadiah umroh oleh majikan. Selanjutnya setelah 7 bulan kerja dikasih umroh lagi. Saya ditanya sama majikan, apa doamu? Saya bilang minta ampunan dosa orangtua, kedua ingin kuliah. Majikan saya kaget. Kenapa minta kuliah? Saya bilang, kuliah itu susah untuk orang miskin kayak saya. Bagai langit dan bumi. Mumpung di rumah Allah, minta pertolongan dari Allah, mudah-mudahan dipermudah. Majikan saya menangis.
Kata dia, baru kali ini ada TKI cita-citanya kuliah, biasanya untuk bayar utang, bangun rumah. Di umroh kedua, juga ditanya. Saya jawab sama. Kata dia, saya gila, Indonesia itu nggak ada uang, mending kerja di sini. Saya bilang, ilmu lebih mulia daripada harta. Kalau orang berilmu derajatnya akan dinaikkan. Majikan saya menangis lagi.
Di tahun kedua, kontrak saya hampir habis. Majikan merayu untuk memperpanjang kerja. Alasannya sudah nyaman dan cocok dengan saya. Saya nggak munafik, saya tergoda. Karena jika saya ingin perpanjang kontrak, akan dibelikan rumah di kampung halaman. Jadi hati saya agak tergoda. Saya bergulatan batin 2 bulan. Pas mau berakhir masa kontrak, merayu lagi. Siang saya bilang okay lanjut, tapi malam pikir lagi.
Puncaknya, waktu saya lagi nonton TV ada acara penyematan wisuda Universitas Al Azhar. Saya menangis. Badan lemes banget dan langsung peluk TV itu. Saya bilang mau kuliah, mau pulang. Akhirnya majikan setuju. Tapi dia pesan, supaya anaknya jangan sampai tahu kalau saya nggak akan balik lagi. Kalau tahu tidak akan kembali, mereka akan kecewa. Akhirnya saya dibelikan tiket pulang, meski belum waktunya.
BACA JUGA:
Moge Dicegat, Indro "Warkop": Yang Melanggar Polisi atau Kita?
Layanan Pesan Antar Pizza di Pulau Ini Gunakan Pesawat
Gila, Lelaki Ini Kepergok Indehoi dengan Kuda dan Anjing
Raffi Tunjukan Wajah Anak ke Publik Setelah Seminggu Kelahiran
Batal Ikut Trigana Air, Yundriati: Saya Bersyukur Masih Ada Usia