Mardjono Reksodiputro: Martabat Presiden Pantas Dijaga

Senin, 10 Agustus 2015 | 07:00 WIB
Mardjono Reksodiputro: Martabat Presiden Pantas Dijaga
Mardjono Reksodiputro. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo ingin menghidupkan kembali pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Caranya dengan merevisi pasal 134, 136 bis, dan 137 ke dalam draf revisi Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Sebelumnya pasal-pasal itu sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) lewat uji materi tahun 2006. Sementara dalam RUU KUHP terbaru, pasal penghinaan itu dimasukan dalam BAB II tentang tindakan pidana terhadap martabat presiden dan wakil presiden.

Ada 3 pasal mengatur pasal "karet" ini, yaitu pasal 262, 263, dan 264. Dalam pasal 262 RUU KUHP menyebutkan hukuman 9 tahun penjara jika melakukan penyerangan diri terhadap presiden dan wapres. Sementara dalam pasal 263, tertulis ancaman 5 tahun penjara jika menghina presiden dan wapres di muka umum.

Lebih lanjut dalam pasal 264 RUU KUHP menyebutkan setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.

Pakar Hukum Pidana sekaligus Guru Besar Emiritus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Mardjono Reksodiputro menilai pasal penghinaan itu sudah tidak perlu dimasukan ke UU KUHP. Hanya saja, kalau pun pasal penghinaan itu ingin dihidupkan kembali, tak masalah.

Menurut Mardjono, jabatan presiden dan wapres memang perlu dilindungi. Namun perlu syarat khusus jika pasal penghinaan presiden 'dihidupkan' kembali. Itu dilakukan agar tidak jadi penyimpangan dalam memutuskan hukuman oleh hakim.

"Menjaga martabat presiden ini pantas di negara yang beradab," jelas pakar hukum yang menjadi saksi ahli uji materi penghapusan pasal penghinaan presiden di Mahkamah Konstitusi 2006 lalu itu.

Mardjono menyebutkan akan banyak tantangan jika pasal penghinaan terhadap presiden ini dihidupkan kembali. Tantangan itu terletak di kredibelitas hakim dalam memutuskan perkara itu.

"Hakim harus sadar, mereka sering kurang memahami hukum. Sehingga sering memutuskan putusan yang tidak tepat di mata publik," jelas Mardjono.

Seperti apa bentuk syarat khusus jika pasal penghinaan presiden dan wapres dihidupkan kembali di KUHP? Berikut wawancara suara.com dengan Mardjono di Kantor eks Komisi Hukum Nasional di Jalan Diponogoro, Jakarta Pusat pekan lalu.

Saat ini tengah diperdebatkan kembali keinginan pasal penghinaan presiden dalam KUHP untuk dihidupkan. Anda menjadi orang yang tidak sepakat pasal itu dihidupkan. Apa alasan Anda?

Iya, saya memang sepakat tidak usah dimasukan lagi. Ada beberapa hal yang menjadi debat sekarang yang menurut saya kurang tepat. Pertama istilah yang dipakai di Belanda adalah majesteitssehennis, kalau diartikan "shennis" itu melanggar, jadi artinya melanggar baginda raja. Jadi pasal yang dikutip mengenai pasal melanggar martabat "baginda raja". Oleh Indonesia diterjemahkan presiden dan
wakil presiden.

Saat itu ketua MK yang memutuskan adalah Profesor Jimly Assidiqi sebagai hakim ketua. Dia mengatakan kalau pasal ini masukkan dalam KUHP, maka kita seolah-olah membangun sistem feodal. Saya agak bebeda pendapat, masalahnya bukan sistem feodal yang akan dibangkitkan. Tetapi apakah presiden itu mau kita berikan penghargaan? Apakah kita akan presiden perlu mempunyai martabat dan perlu diberikan keistimewaan?

Beberapa waktu lalu ada UU tentang penuntutan terhadap anggota DPR. Saat itu ada permintaan, dia kan anggota DPR anggota yang mewakili rakyat, jadi pantas mendapatkan perlakuan yang khusus dan istimewa. Kalau pasal mengenai presiden itu dikembalikan, kita bukan kembali pada feodal. Tapi kita akan memberikan keistimewaan kepada jabatan presiden. Seperti jabatan anggota DPR.

Tapi ada yang mengkritik kedudukan presiden di muka hukum sama dengan rakyat Indonesia lainnya...

Persamaan di muka hukum ada dua cara untuk melihatnya. Yang biasa orang lihat, persamaan di muka hukum berarti perlakuannya harus sama. Semisal presiden dengan penjual sate, perlakuannya harus sama. Itu keliru.

Persamaan di muka hukum itu tetap memberikan hak-hak istimewa yang dipegang oleh jabatan. Karena jabatan menunjukan sesuatu bagian dari fungsi kenegaraan itu. Termasuk presiden sebagai kepala negara. Yang perlu digaris bawahi, persamaan di muka hukum berarti seseorang harus dilindungi dengan sama. Apakah orang Papua, atau yang berdasi. Semua harus diperlakukan sama. Dilindungi dengan sama.

Jangan lupa, pasal (Pasal 134 dan 136 bis KUHPidana) ini masuk dalam pasal yang namanya martabat dan menjaga martabat. Menjaga martabat presiden ini pantas di negara yang beradab.

Sebenarnya kita memakai hanya kata penghinaan. Tapi sebenarnya kalau kita lihat dari bahasa barat, ada kata-kata lain daripada kata itu. Misal, penistaan atau penghujatan. Jadi pengertian penghinaan ini kalau untuk presiden seandainya masih mau ditempatkan. Agak lain daripada penghinaan biasa.

Contoh bentuk penghinaan, "ah Mardjono itu, kok orang tuli bisa jadi dosen". Saya akan sangat tersinggung, karena dikaitkan dengan jabatan saya. Karena dosen itu terhormat untuk saya. Ini martabat sebagai dosen. Sama jika itu dikatakan ke presiden.

Presiden itu kan lembaga kenegaraan. Yang dilindungi bukan pribadi presiden, tapi jabatannya. Menurut saya nggak apa-apa kalau memang mau tetap dicantumkan.

Tapi solusinya harus punya penafsiran kata penghinaan itu. Ini harus ditarsirkan melalui kasus oleh Mahkamah Agung. Kita sebenarnya ada beberapa kasus yang sudah masuk karena penghinaan presiden. Kapan itu dianggap sebagai kritik pada kebijakannya? Kapan harus dianggap sebagai kasus penghinaan terhadap martabatnya? Itu harus ada yurisprudensi mahkamah agung. Jadi berdasarkan kasus.

Bagaimana teknis pelaksanaannya?

Kalau ada kasus masuk, biarkan kasus itu bergulir di pengadilan. Nantinya hakim akan memutuskan apakah itu sebuah penghinaan atau bukan. Kalau pun hakim tingkat 1 (Pengadilan Negeri) memutuskan bahwa itu penghinaan, tapi yang penting di tingkat Mahkamah Agung. Karena Mahkamah Agung menafsirkan apa yang dimaksud dengan penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Itu akan berlaku untuk hakim-hakim yang lain. Meskipun tidak ada aturan hakim kewajiban harus mengikuti putusan itu. Tapi kan kita ada yang namanya yurisprudensi.

Jadi hakim lain bisa mempertimbangkan putusannya dari putusan kasus sebelumnya. Jadi penafsiran ini harus dikukuhkan oleh Mahkamah Agung. Begitu ditafsirkan seperti itu sebagai kebenaran, maka Jaksa Agung, Kepala Kepolisian harus menerimanya. Mereka harus memerintahkan ke anak buahnya. Jika ada orang yang mengadu penghinaan kepada presiden seperti yang dikatakan dari Mahkamah Agung, itu bukan penghinaan. Jangan diterima.

Artinya untuk membuat standar kategori jenis penghinaan ini butuh proses panjang dan harus mengumpulkan banyak kasus penghinaan itu lewat pengadilan?

Iya. Akan sangat panjang. Harus nunggu kasus dulu. Ini mau tidak mau. Tapi begitu lah hukum. Karena anda tidak bisa langsung menjabarkan kategori penghinaan terhadap presiden atau syarat penghinaan terhadap presiden dalam sebuah undang-undang. Hukum tidak seperti itu. katagori, apakah sebuah perilaku disebut penghinaan harus diinterpretasikan oleh hakim lewat pengadilan.

Tergantung putusan hakim, namun yang dikhawatirkan 'aksi main mata' di pengadilan. Bagaimana untuk antisipasi ini dalam proses itu?

Tidak ada. Antisipasinya harus diawasi oleh masyarakat dan media. Serta memperkuat bukti. Tapi memang, hakim harus sadar mereka sering kurang memahami hukum, sehingga sering memutuskan putusan yang tidak tepat di mata publik. Hakim ini perlu memperbanyak mengikuti lokakarya untuk mendiskusikan kasus-kasus yang pernah mereka putuskan. Jangan sampai menganggap diri sebagai orang yang paling benar.

Di balik keinginan pemerintah menghidupkan pasal penghinaan presiden, revisi UU KUHPidana menjadi isu besarnya. Sebab pasal penghinaan ada di dalamnya. Revisi UU KUHPidana ini sudah lama digulirkan, apa yang sulit untuk merevisi UU ini?

Hukum kita itu memang banyak bagian yang ketinggalan zaman, termasuk KUHP. Tapi jangan lupa, ada usaha untuk memperbaikinya dan menyempurnakannya. Hanya saja keadaan politik menyebabkan semua tidak berjalan secara semestinya.

UU KUHP yang tidak kunjung direvisi. Tahun 1993, saya menjadi ketua tim perumus RUU KHUPidana. Saat itu saya yang menyerahkan kepada Pak Ismail Saleh (Menteri Kehakiman) pada 17 Maret 1993. Dua bulan kemudian ada pergantian menteri, saat itu Menteri Kehakiman dijabat Utoyo Usman. Tapi draf akademik ditahan.

Mereka menganggap bahwa draf itu masih perlu perubahan. Sampai jatuhnya Presiden Soeharto tahun 1998. Kemudian Habibie naik dan menunjuk Pak Muladi sebagai Menteri Kehakiman. Tapi draf masih ditahan. Tidak bisa dibawa ke DPR untuk direvisi.

Revisi RUU KUHPidana itu sudah lama sekali, sejak tahun 1983. Selalu ada kekuatan politik besar yang menghadangnya. Sekarang sudah ingin dimasukkan, tapi ada isu pelemahan KPK dan sebagainya. Jadi mandek lagi.

Saya pernah bilang, kenapa tidak dibiarkan saja dimasukan ke DPR dan dibahas? Apa kita tidak percaya sama DPR? Kalau dibuka di muka DPR, kan bisa didebat. Jadi perdebatan di dalam. Sekarang ini kan perdebatan ada di luar saja. Kenapa musti terus ditunggu?

Kan bisa diselesaikan secara bertahap. Misal, dari 600 pasal, selesaikan dulu 200 pasal, di sahkan. Jangan diutak-atik lagi. Sayangnya nggak ada toleransi seperti itu.

Anda menyebut pasal di KHUPidana yang ketinggalan zaman, pasal apa saja?

Ini ketinggalan zaman dari sisi pemikiran. Misalnya pornografi, itu bisa dibuat 1 bab sendiri. Karena Di Belanda itu sudah ketinggalan zaman. Karena istilah dan bentuk pornografi ini terus berkembang. Bulan lagi konvensional. Saat ini sudah ada istilah striptis, atau pornografi di media sosial. Sehingga pasal itu butuh dikeluarkan dari KUHP menjadi UU sendiri.

Contoh lain, delik tentang keamanan negara. Ada yang mengatakan bukan wilayahnya lagi menganggap ada kejahatan terhadap negara atau perang. Harus dikeluarkan, misal membuat UU tentang keadaan darurat. Saya kira masih banyak lagi dan harus dibahas secara konprehensif antar pakar hukum.

Sejauhmana revisi KUHP ini bisa memperbaiki sistem hukum di Indonesia?

Ada yang berpendapat jika hukum Indonesia saat ini taham ke bawah, tumpul ke atas. Itu sah saja. Itu kan artinya ada diskriminasi dalam perlakuan terhadap pelaku kejahatan. Diskriminasi ini didasarkan atas beberapa hal. Ada diskriminasi yang didasarkan oleh harta. Misalnya orangkaya lebih mudah lolos hukum dibandingkan orang miskin. Makanya ketertinggalan pasal-pasal dalam KUHP ini perlu diperbaiki, disesuaikan dengan kondisi negara kekinian, dan disesuaikan dengan adat istiadat lokal.

Menyesuaikan dengan adat istiadat itu seperti apa?

Hukum Indonesia ini mengadopsi hukum dari barat atau Belanda. Sehingga tidak mengakomodir nilai-nilai lokal. Baru-baru ini saya menguji disertasi mahasiswa hukum. Dia membahas soal tradisi lokal yang disalahkan oleh hukum KUHP. Di Suku Manggarai, Nusa Tenggara timur ada tradisi perang tanding untuk merebutkan hal. Bagi mereka ini normal saja, meski sampai ada yang tewas.

Tapi di mata polisi ini ada yang salah dan masuk dalam kasus pembunuhan. Di pengadilan, hakim berpatok pada pasal pembunuhan. Seharusnya hukum ini harus mengikuti tradisi lokal. Mungkin tidak membiarkan, namun memberikan hukuman yang tidak disamakan dengan hukuman pembunuhan. Mungkin diberikan hukuman percobaan 2 tahun. Jika, terlibat perang tanding lagi selama kurun waktu yang ditentukan, maka akan dipenjara.

Tapi itu bukan persoalan mengubah KUHP saja, pengadilan dan hakimnya pun harus diperbaiki. Mereka harus mempunyai pandangan yang sama. Agar tidak keliru. Ini penting untuk menjaga masyarakat adat.

Profil Mardjono Reksodiputro

Prof. Mardjono Reksodiputro lahir di Blitar, Jawa Timur, pada 13 Maret 1937. Gelar Sarjana Hukumnya diperoleh Universitas Indonesia tahun 1961. Setelah itu, Mardjono memperoleh gelar Master of Arts (M.A.) dari University of Pennsylvania, Amerika Serikat pada 1967. Di tahun 90-an, Mardjono mendalami ilmu Kriminologi dan mendapatkan gelar Guru Besar pada 1992 dari Universitas Indonesia. Pada 2009, namanya diabadikan sebagai nama sebuah gedung oleh Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia, yakni Gedung Mardjono Reksodiputro di Salemba, Jakarta Pusat.

Prof. Mardjono aktif berkarier di kampus. Dia pernah menjadi Ketua Program Kajian Ilmu Kepolisian pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Saat ini Mardjono bergelar Guru Besar Emiritus Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Pada tahun 1996, Mardjono membantu proyek Beppenas dan Bank Dunia, sebagai peneliti utama bersama Prof. Mochtar Kusumaatmadja. Membantu program pembaruan hukum proyek International Monetary Fund (IMF) bersama Dr Sebastian Pompe dan Gregory Churchill, J.D. (2000 -2004) dan (2008-2010).

Pemikiran Mardjono soal tatanan hukum pidana pun sudah tersebar dalam laporan jurnal ilmiah dan media. Pemikiran Mardjono pun dituangkan dalam 5 jilid buku. Di antaranya 'Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan', 'Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana: Hak Asasi Manusia dalam Sistem peradilan Pidana', 'Pembaruan Hukum Pidana; dan Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana', dan 'Menyelaraskan Pembaruan Hukum'.

Mardjono terakhir aktif di Komisi Hukum Nasional (KHN) sebagai Sekretaris. Namun lembaga itu dibubarkan oleh Presiden Joko Widodo dengan alasan penghematan anggaran negara.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI