Artinya untuk membuat standar kategori jenis penghinaan ini butuh proses panjang dan harus mengumpulkan banyak kasus penghinaan itu lewat pengadilan?
Iya. Akan sangat panjang. Harus nunggu kasus dulu. Ini mau tidak mau. Tapi begitu lah hukum. Karena anda tidak bisa langsung menjabarkan kategori penghinaan terhadap presiden atau syarat penghinaan terhadap presiden dalam sebuah undang-undang. Hukum tidak seperti itu. katagori, apakah sebuah perilaku disebut penghinaan harus diinterpretasikan oleh hakim lewat pengadilan.
Tergantung putusan hakim, namun yang dikhawatirkan 'aksi main mata' di pengadilan. Bagaimana untuk antisipasi ini dalam proses itu?
Tidak ada. Antisipasinya harus diawasi oleh masyarakat dan media. Serta memperkuat bukti. Tapi memang, hakim harus sadar mereka sering kurang memahami hukum, sehingga sering memutuskan putusan yang tidak tepat di mata publik. Hakim ini perlu memperbanyak mengikuti lokakarya untuk mendiskusikan kasus-kasus yang pernah mereka putuskan. Jangan sampai menganggap diri sebagai orang yang paling benar.
Di balik keinginan pemerintah menghidupkan pasal penghinaan presiden, revisi UU KUHPidana menjadi isu besarnya. Sebab pasal penghinaan ada di dalamnya. Revisi UU KUHPidana ini sudah lama digulirkan, apa yang sulit untuk merevisi UU ini?
Hukum kita itu memang banyak bagian yang ketinggalan zaman, termasuk KUHP. Tapi jangan lupa, ada usaha untuk memperbaikinya dan menyempurnakannya. Hanya saja keadaan politik menyebabkan semua tidak berjalan secara semestinya.
UU KUHP yang tidak kunjung direvisi. Tahun 1993, saya menjadi ketua tim perumus RUU KHUPidana. Saat itu saya yang menyerahkan kepada Pak Ismail Saleh (Menteri Kehakiman) pada 17 Maret 1993. Dua bulan kemudian ada pergantian menteri, saat itu Menteri Kehakiman dijabat Utoyo Usman. Tapi draf akademik ditahan.
Mereka menganggap bahwa draf itu masih perlu perubahan. Sampai jatuhnya Presiden Soeharto tahun 1998. Kemudian Habibie naik dan menunjuk Pak Muladi sebagai Menteri Kehakiman. Tapi draf masih ditahan. Tidak bisa dibawa ke DPR untuk direvisi.
Revisi RUU KUHPidana itu sudah lama sekali, sejak tahun 1983. Selalu ada kekuatan politik besar yang menghadangnya. Sekarang sudah ingin dimasukkan, tapi ada isu pelemahan KPK dan sebagainya. Jadi mandek lagi.
Saya pernah bilang, kenapa tidak dibiarkan saja dimasukan ke DPR dan dibahas? Apa kita tidak percaya sama DPR? Kalau dibuka di muka DPR, kan bisa didebat. Jadi perdebatan di dalam. Sekarang ini kan perdebatan ada di luar saja. Kenapa musti terus ditunggu?
Kan bisa diselesaikan secara bertahap. Misal, dari 600 pasal, selesaikan dulu 200 pasal, di sahkan. Jangan diutak-atik lagi. Sayangnya nggak ada toleransi seperti itu.
Anda menyebut pasal di KHUPidana yang ketinggalan zaman, pasal apa saja?
Ini ketinggalan zaman dari sisi pemikiran. Misalnya pornografi, itu bisa dibuat 1 bab sendiri. Karena Di Belanda itu sudah ketinggalan zaman. Karena istilah dan bentuk pornografi ini terus berkembang. Bulan lagi konvensional. Saat ini sudah ada istilah striptis, atau pornografi di media sosial. Sehingga pasal itu butuh dikeluarkan dari KUHP menjadi UU sendiri.
Contoh lain, delik tentang keamanan negara. Ada yang mengatakan bukan wilayahnya lagi menganggap ada kejahatan terhadap negara atau perang. Harus dikeluarkan, misal membuat UU tentang keadaan darurat. Saya kira masih banyak lagi dan harus dibahas secara konprehensif antar pakar hukum.
Sejauhmana revisi KUHP ini bisa memperbaiki sistem hukum di Indonesia?
Ada yang berpendapat jika hukum Indonesia saat ini taham ke bawah, tumpul ke atas. Itu sah saja. Itu kan artinya ada diskriminasi dalam perlakuan terhadap pelaku kejahatan. Diskriminasi ini didasarkan atas beberapa hal. Ada diskriminasi yang didasarkan oleh harta. Misalnya orangkaya lebih mudah lolos hukum dibandingkan orang miskin. Makanya ketertinggalan pasal-pasal dalam KUHP ini perlu diperbaiki, disesuaikan dengan kondisi negara kekinian, dan disesuaikan dengan adat istiadat lokal.
Menyesuaikan dengan adat istiadat itu seperti apa?
Hukum Indonesia ini mengadopsi hukum dari barat atau Belanda. Sehingga tidak mengakomodir nilai-nilai lokal. Baru-baru ini saya menguji disertasi mahasiswa hukum. Dia membahas soal tradisi lokal yang disalahkan oleh hukum KUHP. Di Suku Manggarai, Nusa Tenggara timur ada tradisi perang tanding untuk merebutkan hal. Bagi mereka ini normal saja, meski sampai ada yang tewas.
Tapi di mata polisi ini ada yang salah dan masuk dalam kasus pembunuhan. Di pengadilan, hakim berpatok pada pasal pembunuhan. Seharusnya hukum ini harus mengikuti tradisi lokal. Mungkin tidak membiarkan, namun memberikan hukuman yang tidak disamakan dengan hukuman pembunuhan. Mungkin diberikan hukuman percobaan 2 tahun. Jika, terlibat perang tanding lagi selama kurun waktu yang ditentukan, maka akan dipenjara.
Tapi itu bukan persoalan mengubah KUHP saja, pengadilan dan hakimnya pun harus diperbaiki. Mereka harus mempunyai pandangan yang sama. Agar tidak keliru. Ini penting untuk menjaga masyarakat adat.
Profil Mardjono Reksodiputro
Prof. Mardjono Reksodiputro lahir di Blitar, Jawa Timur, pada 13 Maret 1937. Gelar Sarjana Hukumnya diperoleh Universitas Indonesia tahun 1961. Setelah itu, Mardjono memperoleh gelar Master of Arts (M.A.) dari University of Pennsylvania, Amerika Serikat pada 1967. Di tahun 90-an, Mardjono mendalami ilmu Kriminologi dan mendapatkan gelar Guru Besar pada 1992 dari Universitas Indonesia. Pada 2009, namanya diabadikan sebagai nama sebuah gedung oleh Departemen Kriminologi FISIP Universitas Indonesia, yakni Gedung Mardjono Reksodiputro di Salemba, Jakarta Pusat.
Prof. Mardjono aktif berkarier di kampus. Dia pernah menjadi Ketua Program Kajian Ilmu Kepolisian pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Saat ini Mardjono bergelar Guru Besar Emiritus Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Pada tahun 1996, Mardjono membantu proyek Beppenas dan Bank Dunia, sebagai peneliti utama bersama Prof. Mochtar Kusumaatmadja. Membantu program pembaruan hukum proyek International Monetary Fund (IMF) bersama Dr Sebastian Pompe dan Gregory Churchill, J.D. (2000 -2004) dan (2008-2010).
Pemikiran Mardjono soal tatanan hukum pidana pun sudah tersebar dalam laporan jurnal ilmiah dan media. Pemikiran Mardjono pun dituangkan dalam 5 jilid buku. Di antaranya 'Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan', 'Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana: Hak Asasi Manusia dalam Sistem peradilan Pidana', 'Pembaruan Hukum Pidana; dan Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana', dan 'Menyelaraskan Pembaruan Hukum'.
Mardjono terakhir aktif di Komisi Hukum Nasional (KHN) sebagai Sekretaris. Namun lembaga itu dibubarkan oleh Presiden Joko Widodo dengan alasan penghematan anggaran negara.