Suara.com - Jumat (31/7/2015) pekan lalu nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat ditutup makin terpuruk di kisaran Rp13.535/USD sampai Rp13.539/USD. Rupiah terus turun dalam beberapa bulan terakhir.
Situasi ini, dinilai Analis Ekonomi yang juga Rektor Universitas Paramadina Jakarta, Firmanzah sudah bahaya. Sebab jika tidak ditanggulangi, akan berdampak langsung kepada rakyat Indonesia.
Dia menyebutkan dampak ekstrimnya, akan terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja atau (PHK). Ini karena daya beli masyarakat turun dan membuat perusahaan mengurangi produksi.
"Jika sektor padat karya tidak dijaga akan terjadi gelombang PHK," kata mantan Staf Khusus Bidang Perekonomian era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu.
Firmanzah melihat pemerintah harus bergerak cepat. Dia mengkritisi sikap pemerintah yang 'santai' menanggapi perlambatan ekonomi ini. Sementara pengusaha membutuhkan kepastikan kebijakan. Termasuk keputusan mengganti beberapa menteri-menteri Kabinet Kerja Jokowi.
Apa saja dampak perlambatan ekonomi Indonesia saat ini? Dan apa yang harus dilakukan pemerintah?
Berikut analis lengkap Firmanzah saat diwawancarai suara.com pekan lalu di ruang rektorat Universitas Paramadina Jakarta:
Saat ini ekonomi Indonesia tengah melambat. Rupiah anjlok sampai Rp13.500. Mengapa ini bisa terjadi?
Ada 2 faktor yang menyebabkan ini semua. Faktor luar negeri dan dalam negeri. Faktor luar negeri, ada dua aspek yang harus dicermati terkait dengan Indonesia. Pertama kita masih menghadapi ketidakpastian, kapan bank sentral Amerika Serikat menaikan suku bunga. Itu berpengaruh ke pasar keuangan dan pasar saham Indonesia. Dalam hal ini nilai tukar rupiah. Kalau pasar saham, kemarin IHSG sempat ditutup terendah sejak Maret 2014.
Faktor kedua, karena perlambatan ekonomi Tiongkok. Perlambatan ini berdampak pada turunnya permintaan komoditas ekspor Indonesia. Baik itu batubara, nikel, tembaga, dan gas. Selain itu harga komoditas itu juga turun. Di sektor perkebunan CPO (kepala sawit), karet, dan cokelat juga tercatat turun. Ini berdampak pada penerimaan kinerja ekspor.
Ekspor Indonesia sampai kuartal I 2015 turun sampai 11,67 persen atau sekitar 39,12 miliar dolar AS. Yang paling besar Migas sampai 27,58 persen atau 5,7 miliar dolar AS.
Selain itu menurunnya daya beli masyarakat. Konsumsi domestik yang ditopang oleh daya beli itu berkontribusi sebesar 56 sampai 58 persen terhadap PBD (produk domestik bruto) nasional. Di sektor ini yang drop.
Kenapa? Buktinya di kuartal pertama realisasi penjualan motor, mobil, semen, ritel, dan properti di kuartal I turun semua. Khusus penjulan motor anjlok sampai 21,46 persen. Sehingga mesin utama kita untuk menggerakkan ekonomi nasional itu melambat, yaitu konsumsi domestik. Ini faktor yang cukup besar berkontribusi terhadap pelambatan ekonomi kita.
Dari sisi lain, belanja pemerintah masih terhambat pencairan anggaran, terutama untuk belanja infrastruktur di kuartal pertama dan kedua. Di kuartal kedua, juga tidak banyak perubahan yang berarti dari sisi belanja infrastruktur pemerintah. Mungkin nanti bisa kita rasakan di kuartal III atau IV belanja infrastruktur. Namun seberapa besar eskalasinya, masih kita lihat nanti.
Lainnya, investasi, ini yang memang perlu menjadi salah satu hal yang bisa didorong. Karena kontribusinya cukup besar untuk PBD, 31 sampai 32 persen. Kalau data di BKPM, komitmen invetasi itu meningkat. Besarnya sampai Rp56,74 trilin dari Oktober 2014 sampai Juni 2015. Itu meningkat 134,8 persen.
Tapi kalau lihat di lapangan, mulai dari komitmen sampai realisasi itu harus dipercepat pengerjaannya proyeknya.
Apa dampak langung pelambatan ekonomi ini ke masyarakat?
Pertama, dari sisi ketenagakerjaan. Kalau pelambatan ini terus terjadi maka tidak menutup kemungkinan target penciptaan lapangan kerja bisa terganggu. Karena pabrik banyak yang mengurangi produksinya. Alih-alih ekspansi membuat pabrik baru. Tapi mempertahankan pabrik yang lama saja sudah susah.
Selain itu akan terjadi pengurangan jam kerja. Pengurangan jam kerja ini sudah muncul di beberapa tempat. Perusahaan mempertahankan agar tidak terjadi PHK. Tapi kalau pengurangan jam kerja tidak bisa menutup biaya produksi, terpaksa perusahaan harus melakukan PHK.
Tapi sebelum melakukan PHK pun, pertumbuhan penciptaan lapangan kerja kan tidak menambah kan. Jika jumlah lapangan pekerjaan tidak tumbuh secara signifikan, pendapatan masyarakat juga tidak akan tumbuh. Karena orang-orang tidak mendapatkan pekerjaan di sektor formal. Yang tadinya dia bisa jadi karyawan, tapi terjadi perlambatan ekonomi.
Sehingga perusahaannya tidak melakukan pengangkatan status menjadi karyawan, maka dia tidak dapat gaji. Jadi daya beli masyarakat juga berkurang. Karena dari potensi daya beli masyarakat pun berkurang. Kemudian, aktivitas produksi bisa melambat dari sisi perusahaan juga. Karena daya beli masyarakat terbatas. Perusahaan ini mengurangi produksinya juga.
Sebenarnya situasi industri media paling kelihatan terkena dampak. Karena perusahaan swasta memotong pengeluaran. Pemotongan itu dilakukan di bagian marketing atau belanja iklan. Ini bisa dilihat saat bulan Ramadan atau puasa kemarin. Saya perhatikan jumlah sponsor dalam acara sahur. Berapa jumlah iklan saat kuis di sana? Paling hanya satu saja. Iklan kopi. Bandingkan tahun lalu. Banyak
iklan yang masuk, bahkan sampai motor.
Nah ini menunjukkan swasta ingin melihat kepastian pertumbuhan ekonomi yang tengah melambat ini. Perusahaan menahan diri untuk membelanjakan modalnya, terutama belanja iklan. Ini terjadi di semua media. Sehingga pemasukan akan berkurang.
Apakah pelemahan ekonomi saat ini sudah terbilang buruk?
Tahun 2008, sebenarnya ekonomi kita terkena dampak dari krisis global dari pasar uang dan pasar modal. Di 2009 perekonomian Indonesia hanya tumbuh 4,5 persen. Tapi yang harus diperhatikan adalah fundamental ekonomi harus kita jaga. Market confidence harus kita jaga, consumer confidence harus kita jaga.
Sehingga saat itu di tahun 2010, ekonomi kita bisa tumbuh 6,5 persen. Sehingga bisa reborn. Nah ini yang harus dilakukan pemerintah sekarang. Memang mungkin sekarang kondisinya hampir mirip di tahun 2008-2009. Ketika kita mengantisipasi dari dampak krisis global.
Lalu apakah ini mendekati krisis saat 1998? Tidak. Saat 1998 itu krisis multidimensi, seperti sosial, politik, ekonomi, dan kepercayaan. Kalau saat ini ekonomi kita sudah lebih kuat.
Di media, pemerintah Joko Widodo melalu menteri perekonomian membawa situasi ini lebih santai. Tidak menampakkan kepanikan dan tidak ada langkah khusus. Padahal nilai tukar rupiah paling rendah dalam 17 tahun terakhir. Seperti apa Anda membaca sikap pemerintah ini?
Memamng pelemahan rupiah ini harus dicermati karena pelaku pasar membutuhkan kepastian, apalagi yang forward transaction. Jadi pemerintah tidak boleh mmenganggap remeh kondisi sekarang. Justru pemerintah harus hadir memengawasi dan mengawal, serta membuat pelemahan rupiah ini tidak terjadi secara tajam.
Itu harus disampaikan ke publik. Itu yang dibutuhkan oleh market. Kalau pun pemerintah sudah ada aksi, bertemu dengan Gubernur BI, tapi market perlu aksi lebih. Market perlu ada gestur. Misalnya Presiden Jokowi mengadakan rapat kabinet terbatas terkait kondisi ekonomi saat ini.
Perlu dicatat, pelemahan ekonomi ini akan menjadi makin buruk karena Indonesia menghadapi el nino atau kekeringan. Ini menjadi satu faktor lagi. Jadi kita masih menghadapi persoalan nilai tukar mata uang, penurunan daya beli masyarakat, sekarang tambah satu yaitu el nino sampai November.
Ini akan berdampak cukup dalam dan langsung. Memperburuk kondisi ekonomi kita, seperti pangan, kesejahteraan petani, daya beli petani. pecegahan itu perlu segera. Misal menghitung eskalasi dan memitigasi perlambatan kondisi ekonomi kita.
Di luar kita masih menghadapi komoditas yang melambat. Kita masih menghadapi ketidakpastian bank sentral Amerika menaikan suku bunga. Di dalam negeri yang terjadi kenaikkan betubi-tubi BBM, tarif dasar listrik, gas, LPG, daya beli masyarakat turun, dan kita harus berhadapan dengan berhadapan el nino dan kekeringan.