Suara.com - Konsep smart city mengemuka beberapa tahun belakangan. Kota yang mengklaim siap membangun konsep kota berbasis teknologi canggih itu di antaranya Jakarta, Surabaya dan Bogor.
Sebagai kota yang dekat dengan Ibu Kota Negara dan menjadi sasaran arus perpindahan penduduk kawasan Jakarta, Tangerang, Bekasi, dan Depok, Bogor dinilai potensial membangun sistem smart city. Terlebih Bogor sering dikunjungi presiden untuk berkantor di Istana Bogor.
Hanya saja, ada tantangan besar yang akan dihadapi Wali Kota Bima Arya Sugiarto. Di antaranya mengubah perilaku masyarakat 'konvensional' menjadi masyarakat melek teknologi. Jika Bogor menjadi smart city, masyarakatnya harus akrab dengan inovasi. Sebut saja terbiasa menggunakan transportasi terintegrasi, layanan kesehatan digital, sampai pelayanan birokrasi 'media sosial'.
Wali Kota yang baru menjabat 1 tahun 3 bulan itu mengaku sudah mempunyai 'bundel' rencana konsep smart city. Bogor akan mengubah sistem transportasi, sistem pelayanan pendidikan dan kesehatan, serta memperbaiki lingkungan.
Bagaimana trik Bima untuk mewujudkan itu semua di tengah 'rimba birokrasi' pemerintahan? Lantas bagaimana rinci program smart city di Kota Bogor?
Berikut wawancara suara.com dengan Bima Arya di ruang kerjanya belum lama ini:
Anda banyak berkecimpung di politik, pengamat dan intelektual. Tapi sudah setahun lebih terjun ke birokrasi. Bagaimana perbandingannya dan cara Anda menghadapi hambatan sistem birokrasi?
Saya cukup panjang jam terbang ke organisasi mulai sari sekolah. Nggak kaget sebenarnya. Di organisasi juga dididik dibiasakan berpikir sitematis. Sda program kerja dan ada perencanaan. Di organisasi yang saya ini, saya banyak berhubungan dengan birokrasi.
Apalagi saya menjadi ketua partai. Jadi, ini dunia yang tidak asing. Tapi ada hal yang harus diselesaikan. Lebih menurut saya kepada aspek personal hubungan. Birokrasi ini bukan mesin. Tapi ini orang yang harus dirangkul. Tantangan terberat itu ini. Menularkan pashion untuk bergerak sama-sama.
Di satu sisi ada tuntuan untuk bergerak cepat bagi warga, ekspetasi tinggi. Tapi di sisi lain. Kita punya keterbatasan anggaran dan SDM.
Smart city menjadi hal baru di Indonesia. Bandung, Bogor, dan Jakarta di antaranya yang paling dianggap siap menjalankan konsep ini. Khusus Kota Bogor, konsep kota pintar apa yang ditawarkan?
Prinsip dasar dari smart city, bagaimana kita melakukan akselerasi terhadap perubahan dan pembangunan dengan mengedepankan teknologi. Dengan anggaran yang terbatas, luas geografi yang terbatas, tidak ada pilihan lain selain menggunakan perangkat teknologi. Saya mendapatkan kritikan, Kota Bogor belum siap dengan smart city. Ini paradikma yang total keliru.
Justru teknologi ini lah yang akan membangun kultur. Jadi pola pikir tidak terbalik kultur duluan. Tapi perangkat teknologi yang akan membangun kultur baru, karakter dan sebagainya. Jadi untuk bangun pelayanan publik dan membangun karakter. Namun setiap kota mempunyai permasalahan yang berbeda.
Khusus di Kota Bogor ini sangat dipengaruhi modelnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Kota Bogor. Persoalan utama Kota Bogor adalah kemacetan dan transportasi. Jadi smart city ini lah yang akan membantu untuk mengurangi kemacetan. Mulai dari traffic monitoring. Saya bisa mengakses langsung 40 titik kemacetan di Bogor. Kemudian nantinya sistem smart card yang bisa kita gunakan untuk melakukan pembayaran di bus.
Saat ini di Kota Bogor ada 3.412 angkot. Ketika mereka berhenti, hanya sopir dan Tuhan yang tahu. Tapi dengan sistem yang baru nanti, ketika TransPakuan menggantikan angkot, semua sudah bisa diprediksi. Bus itu datangnya kapan? Dan bus itu ada di mana? Artinya ini membangun kultur dari warga. Mereka dipaksa mengikuti ritme itu. Jadi fokus Bogor pada transportasi.
Kedua, pelayanan publik. Ada smart health, smart education. Di bogor ini isu kesehatan bisa sangat penting karena masih kurangnya fasilitas kesehatan di Kota Bogor. Bogor, kota terakhir di Jawa Barat yang memiliki RSUD. Baru tahun lalu. Para warga mengeluh ketersediaan kamar. Kita ingin warga punya kepastian kamar ini ada nggak?
Itu semua bisa dipecahkan melalui perangkat teknologi. Nantinya saya bisa mengontrol tingkat okupansi kamar di gadget saya. Sekarang yang sudah bisa baru 1 puskesmas saja di Bogor Timur. Saya bisa akses jumlah pasien, data penyakit. Nantinya ini bisa diakses publik.
Selain itu bagaimana pemerintahan didekatkan kepada warga. Makanya saya wajibkan seluruh SKPD menggunakan akun Twitter dan sosial media lain untuk mendekatkan. Mereka selalu merasa diawasi oleh warga. Tapi tantangannya, sudah saya katakan, "percuma kita punya perangkat yang canggih, tapi tidak direspon oleh birokrasi". Ini aduan masuk terus.
Bukan cuma dijawab normatif dengan mengatakan "terimakasih masukan aduannya, kita akan tindak lanjuti". Tentu follow up di lapangannya bagaimana? Jangan sampai warga kehilangan kepercayaan. Buat apa pengaduan online?
Ketiga, Bogor menuju kota hijau. Kita ingin agar perangkat teknologi ini bisa mendukung itu. Saya 26 Juli ke Yokohama. Di sana bogor akan mendapatkan bantuan untuk memasok perangkat tekonlogi pemantau tingkat polusi gas buang emisi dan energi di beberapa titik. Jadi nanti saya bisa cek kualitas udara Kota Bogor. Kita juga kerjasama dengan IPB untuk mendeteksi pohon-pohon di Kota Bogor. Pohon ini kan aset Kota Bogor yang rawan menimbulkan bencana. nanti ada alaramnya. Termasuk juga untuk monitoring bencana banjir.
Khusus rencana pengoperasian kembali TransPakuan, bagaimana realisasi?
Di Bogor kita memiliki perusahaan transportasi, PDJT, khusus menangani TransPakuan. Saat ini kondisinya dalam sangat tidak bagus. Saya baru saja membentuk tim penyehatan. Ini tugasnya menyusun bisnis plan ke depan. Sebetulnya semua hampir rampung. Kita sudah memiliki blue print transportasi bogor 30 tahun ke depan.
Strateginya, sekarang angkot jumlahnya 3.000 lebih. Ini hanya menjangkau 40 persen wilayah di Kota Bogor. Jadi numpuk semua. Makanya kita akan mengkonversi 3 angkot menjadi 1 TransPakuan. Tapi ini pekerjaan berat. Kita harus mencari jalan untuk pengadaan bis ini. Kita butuh paling tidak 300 bus, supaya headway-nya cepat.
Kedua, yang terberat adalah bagaimana mengkomunasikan dan meyakinkan sopir angkot dan pemilik angkot? Sebetulnya modelnya sudah ada. Tiga angkot berarti 3 sopir dan 3 shift. Jadi diatur. Semua bus ini akan dinaungi dalam wadah BMC (bus management company). BMC mengatur tentang tarif, rute dan sebagainya.
Kita sudah siapkan road map menuju ke sana, Agustus ini kita mintakan angkot mempunnyai badan hukum. Jadi semua sopir digaji. Nantinya angkot akan menjadi feeder saja, di tengah kota itu TransPakuan. Saya optimis, karena Kota Bogor dibanding kota lain secara geografis, tata kota memungkinkan menjalani itu. Kota-kota lain sudah complicated, mengaturnya susah. Tapi Bogor masih bisa.
Tapi kondisi sekarang terjebak dalam lingkaran setan. Pengguna mobil macet, sopir angkotnya stres harus setoran, dan pemilik angkot juga stres karena setoran pas-pasan semua. Persaingan keras. Jadi kalau ada satu opsi yang bisa jadi win-win semua, ini yang akan dipilih.
Ini artinya akan menghapus angkot secara perlahan?
Angkot diminta untuk memilih, apakah mereka masih tetap di dalam kota, tapi konversi jadi bus TransPakuan. Kalau tidak mau, mereka ke pinggir kota jadi feeder. Nanti pelahan-lahan angkot ini akan dikurangi.
Kalau masuk ke bisnis transportasi sekarang ini kan masuknya ke transsit oriented development. Jadi masuk di situ, shelter bisa melakukan branding. Bus juga bisa lakukan branding.
Menghidupkan kembali TransPakuan tentu memerlukan dana besar, sejauh ini bagiamana progres investasi TransPakuan?
Sudah ada opsinya, sudah ada titik terang. Ada pihak ketiga yang ingin berinvestasi. Sebab ini menggiurkan sekali. Contohnya koridor Cidangiang-Bubulak itu selalu penuh penumpang. Kalau ditata dengan baik, ini menggiurkan. Cuma PRnya kita membutuhkan orang-orang yang paham dengan transportasi ini. Jadi nggak bisa ditunggangi model akomodasi politik.
Siapa yang layak mengelola ini? Apakah sudah ketemu sosok yang akan memimpin TransPakuan?
Sudah ada, kita lagi mengincar orang-orang yang mempunyai jam terbang di TransJakarta.
Saat ini transportasi berbasis digital tengah marak. Sebut saja Gojek, GrabBike, dan GrabTaxi. Sistem tersebut memudahkan warga kota untuk mengakses transportasi yang layak. Bagaimana Anda menyambut fenomena ini terkait rencana Bogor menjadi smart city?
Memang harus dipaduan dengan road map kita ke depan seperti apa. Kita punya peta digital angkot. Jadi, kalau ingin jalan ke Bogor dan tidak tahu rute angkotnya, nanti diberi tahu di peta digital itu. Aplikasi ini bisa diunduh di ponsel. Pembuatan aplikasi ini dibantu Badan Informasi Geospasial.
Isu lingkungan menjadi yang nomor 1 di Bogor. Maka itu banyak LSM atau NGO lingkungan hidup nasional dan internasioal 'bermukim' di Bogor. Sejauhmana konstribusi mereka?
Bogor ini unik. Banyak orang bogor yang lahir di Bogor, tapi kuliah di luar Bogor, kerja di luar bogor. Mereka masuk Bogor lagi Saat di puncak karier atau pensiun. Jadi yang banyak di Bogor ini sebenarnya orang pendatang dan orang senior.
Kedua, Bogor dijadikan pusat kantor dan markas banyak sekali NGO. Tapi mereka eksisnya di luar. Jadi sumber daya manusia Bogor ini di mana-mana.
Apa prioritas isu lingkungan di Bogor?
Bogor itu kota hijau dan kota taman. Kita mau ubah paradikma kota sejuta angkot menjadi kota sejuta taman. Surabaya saja yang kering kerontang, bisa. Kita punya sejarah kota yang jawara Adipura, kota dalam taman.
Saya berulang kali tekanankan, ini bukan untuk percantik kota. Tapi taman ini lebih dari sekadar dari estetika dan kecantikan. Ini juga tentang karakter lain. Generasi keluaraga yang banyak menghabiskan di luar tertutup daripada terbuka. Semisal mall, banyak sekali.
Kedua, PAD (pendapatan asli daerah). Ini saya pelajari ketika ruang publik lebih banyak, ini meningkatkan nilai ekonomi kota. Kota yang nyaman.
Makanya kemarin saya perintahkan dikaji semua reklame dan bilboard di Kota Bogor. Saya minta di titik tertentu nol-kan saja. Kemudian ada kekhawatiran PAD hilang. Saya bilang, coba saja hitung ketika bilbord itu hilang lebih hijau dan lebih bagus. Justru efek positifnya ke PAD akan lebih banyak. Karena orang akan lebih banyak datang. Dan investasi akan menjadi datang dari mana-mana. Ini sedang dilakukan mengkaji tata ruang itu.
Ketiga, Bogor jadi kawasan potensial menjadi kota pejalankaki atau surga pejalankaki. Orang bogor tahu, kita hanya membutuhkan waktu setengah hari untuk keliling Kota Bogor. Saya sering kalau blusukan jalan ke sana sini. Bisa itu. Kebon Raya saja dikelilingi sampa 25 menit. Nantinya yang menjadi jualan utama Kota Bogor adalah kota pejalankaki.
Tahun ini kita alokasikan Rp6,7 miliar untuk membangun pedestrian baru. Salah satu pedestrian terbesar di Indonesia itu. Mulai dari Tugu Kujang sampai Jala Karupat. Nanti ada parit kita tutup, sampai mentok ke Kebon Raya. Itu akan diperbesar sampai keliling Kebon Raya.
Targetnya nanti kalau yang masuk ke Kota Bogor, mereka parkir kendaraan dan jalan kaki atau naik sepeda keliling Kebon Raya. Kalau mereka betuntung bisa melihat presiden lewat. Ini seperti di White House (Kantor Presiden AS). Kalau Barack Obama lewat.
Saya juga mendengar dari Mensesneg, Pak Jokowi pun membayangkan hal seperti itu. Dia punya spot favorit di Istana Bogor. Nanti warga lewat gitu. Itu tidak ada duanya di kota lain di Indonesia. Hanya Bogor saja.
Dengan banyaknya rencana, bagaimana prediksi sambutan dari masyarakat? Mulai dari persoalan kelas masyarakat sampai data jika Bogor banyak dihuni pendatang?
Bogor mempunyai 3 lapisan masyarakat. Pertama grassroots yang bagi mereka keperluan pertama adalah mata pencarian, lapagan pekerjaan, kehidupan ekonomi, dan kesehatan. Saya menyadari ini ketika kampanye, saya bertemu dengan level bawah ini. Bagi mereka macet ini bukan isu. Bagi mereka 2 jam ke pasar Bogor, yang penting pendapatan dapat rutin, nggak masalah.
Di kelas menengah, isu utama bagi mereka adalah kemacetan, kebersihan dan sampah. Tetapi ada segmen yang paling atas, jumlahnya paling sedikit. Isunya adalah kota wisata, heritage, museum, dan kota cerdas.
Semuanya adalah warga saya. yang penting adalah skala prioritas. Yang utama kebijakan yang kita lunncurkan bisa memecah baik ke tengah dan ke bawah. Sebagai contoh, sekarang ini yang penting bagi kita adalah memecah pusat pertumbuhan dan perkembangan itu ke pinggir.
Sekarang kan di tengah kota semua. Ini bisa menjadi dua mata pisau. Ini bisa menjadi pemecah persoalan masyarakat menengah, sekaligus yang bawah ini terangkat. Sekarang, saya menugaskan khusus dinas tenaga kerja, Desperindag, untuk memastikan perizinan setiap usaha baru hotel restoran itu ada efek menetes ke bawah. Lapangan pekerjaannya.
Investor di bidang apa yang paling banyak di Bogor?
Perumahan, apartemen. Ini karena di Jakarta sudah mulai mahal, jenuh, ke pinggir. Bogor dipilih karena faktor cuaca. Di bagian perizinan itu proposal bagian pengembang luar biasa. Ini harus kita jaga.
Pertanyaan saya kepada pengembang ini, ini berapa persen warga Kota Bogor yang akan menghuni? Jangan sampai warga Bogor dipinggirkan, orang jakarta masuk ke apartemennya. Kemudian mereka kerja di Jakarta, jangan-jangan belanjanya bukan di Bogor. Mereka hanya sumbang kemacetan dan menghabisi tanah.
Setiap hari ada 800 ribu commuter bolak balik dari Bogor dan sekitar ke Jakarta. Sebesar 40 persen atau 300 ribunya dari Kota Bogor. 300 ribu orang ini yang tinggalnya tidak hanya di tengah, tapi di pinggir. Sekarang bagaimana jadinya pemukiman di tengah ini menyasar orang Bogor yang bekerja di Jakarta ini?
Investasi perumahan dan pemukiman berpotensi merusak lingkungan, terutama Bogor yang kebanyakan kawasannya resapan?
Betul, maka itu kita berpatok ke daerah zonasi. Ada yang tidak boleh untuk pemukiman. Lalu ada amdal, komposisi RTH. Kita dorong vertikal atau pembangunan ke atas.
Bagaimana bentuk jaminan Pemprov agar warga Bogor bisa menghuni pemukiman baru di Bogor, bukan malah orang Jakarta yang menghuni?
Kita harus melihat sebagai potensi pemasukan, peningkatan PAD, sejauh semuanya diatur. Artinya bisa kita terapkan insentif dan disinsentif. Boleh bangun di sini. Tapi nanti pajaknya sekian. Saya membayangkan apartemen itu di pinggir saja.
Isu toleransi juga kuat di Bogor, salah satunya persoalan GKI Yasmin. Anda pernah berjanji akan menyelesaikan sengketa rumah ibadah ini. Sudah sejauhmana janji itu Anda tunaikan?
Gereja Yasmin ini menjadi polemik yang seolah tidak berkesudahan karena tingkat pemahaman dan informasi yang diterima berbeda-beda di berbagai kalangan. Saya pernah kedatangan beberapa anak muda yang ikut melakukan aksi ketika Natal GKI Yasmin di jakarta. Mereka mau tahu dan mereka ikut aksi.
Begitu sampai sana, mereka kaget, mana gerejanya? Bayangan mereka ada gereja besar digempok dan nggak boleh masuk. Mereka mau bertemuan saya, saya terima. Mereka kemudian mepunyai pemahaman yang lain.
Tapi saya tidak mau melihat polemik ke belakang. Karena di sini ada perdebatan hukum yang panjang. pemkot mempunyai posisi yang jelas karena buat Pemkot, ini persoalan IMB saja. Nggak ada hubungannya dengan kebebasan beragama. Ada persyaratan IMB yang tidak bisa dipenuhhi. Ada catat prosedur.
Untuk ke depan ini kita berdialog dengan sangat baik, dengan GKI Pengadilan. Mitra saya adalah GKI Pengadilan. Saya bersepakat semua untuk mencari opsi yang terbaik. Tidak usah dan belum tentu di lokasi yang "ini". Lokasi kita sangat terbuka, asal disepakati bersama.
Jadi perkembangannya, membicarakan opsi-opsi dan bermitra dengan GKI Pengadilan. Mitra saja itu. Mereka membutuhkan tempat ibadah baru.
Adalah janji saya, Insya Allah akan saya tunaikan untuk menyelesaikan ini di masa jabatan saya. Entah periode pertama atau periode kedua. Pokoknya di jabatan saya. Tanggungjawab saya untuk memberikan fasilitas ibadah untuk mereka. Kemungkinan besar tempat baru, untuk relokasi. Tempatnya sebetulnya sudah ada, cuma karena komunikasi kurang baik. Sehingga tempat ini ditolak oleh warga sekitar.
Biografi singkat Bima Arya
Bima Arya Sugiarto merupakan pemimpin daerah yang tergolong berusia muda. Dia menjadi Wali Kota Bogor di Usia 41 tahun. Lelaki kelahiran Bogor, 17 Desember 1972 itu lulus kuliah di Universitas Parahyangan dengan mendapat gelar sarjana hubungan internasional.
Tahun 1998 dia mendapatkan gelar Master of Arts, Studi Pembangunan, Monash University Melbourne Australia. Kemudian doktor Ilmu Politik dia dapat dari Australian National University, Canberra Australia tahun 2006. Sampai saat ini politisi PAN itu masih aktif di dunia pendidikan. Dia tercatat sebagai dosen pascasarjana Universitas Paramadina. Bima juga aktif di dunia survei politik dengan menjadi Komisaris Charta Politika Indonesia.