Roy Sparringa: Ada yang Salah dalam Pengawasan Makanan Berbahaya

Senin, 13 Juli 2015 | 07:00 WIB
Roy Sparringa: Ada yang Salah dalam Pengawasan Makanan Berbahaya
Kepala BPOM Roy Alexander Sparringa. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Yang paling banyak kasus di lapangan adalah ditemukan banyak makanan mengandung zat berbahaya, kenapa terus muncul? Ke mana saja BPOM?

Ini memang luar biasa jumlah kasusnya. Namun BPOM ini diibaratkan seperti tukang sapu. Bocor lalu disapu, terus begitu. Masalahnya Badan POM melihat makanan itu bebas dijual. Apakah Pemda mengawasi? Apakah ada izinnya? Kita nggak tahu. Itu lah karena bocor terus.

Maka keluar lah Peraturan Menteri Perdagangan No. 44 Tahun 2009 tentang pengadaan, distribusi dan pengawasan bahan berbahaya. Tapi Badan POM tidak punya kewenangan untuk menindak ini, begitu juga menelusuri. Baru setelah diubah menjadi Permendag No. 75 Tahun 2014, BPOM diberi kewenangan untuk menelusuri, tapi begitu tahu tidak bisa menindak juga. Gemes kita.

Lalu ada forum komunikasi bersama, barulah perlu dibentuk peraturan bersama Menteri Dalam Negeri dan Kepala BPOM tahun 2013 ini. Harapan kami Pemda bisa membentuk tim terbadu, tapi tidak begitu mengembirakan. Akhir tahun 2014 kita minta Mendagri mengeluarkan surat edaraan untuk diminta evaluasi.

Hasilnya tim terpadu di kabupaten kota hanya ada 35 buah, di provinsi ada 11 buah. Ternyata belum semua yang menindaklanjuti itu. Kalau pun ada, apakah timnya berfungsi? Adakah Perdanya? Apakah sumber daya manusianya siap? Apakah anggarannya ada? Sementara BPOM selalu dituntut jika ada temuan kasus. Tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa. BPOM selalu disalahkan.

Lalu timbul rencana pembuatan Undang-Undang BPOM. Sejauhmana UU ini bisa memperkuat BPOM, terutama dari sisi penguatan wewenang?

Yang jelas buat kami kepentingannya adalah mandat. BPOM ini mempunyai mengawasi pangan olahan. Tapi kalau di hulu tidak dibereskan, tidak akan beres.

Ini terkait bahan baku pangan yang tidak diawasi. Artinya soal masalah pangan dari hulu ke hilir. Dari aturan yang sudah ada ini dibagi ke lembaga, bahkan terpisah ke daerah. Ini menyulitkan dalam berkoordinasi. Sehingga kami sebenarnya siap untuk mengintergrasikan semua itu. Harus ada Direktorat Jenderal yang mempimpin koordinasi itu.

Apakah perlu BPOM diberikan wewenang untuk memberikan hukuman untuk produsen makanan yang melanggar, minimal memberikan rekomendasi?

Rekomendasi sudah, tapi tidak ditindaklanjuti. Soal pangan saja dari 3.021 rekomendasi yang diberikan ke Pemda, yang ditindaklanjuti hanya 206 rekomendasi. Itu pun keputusannya bukan dicabut izinnya, tapi hanya dibina saja. Kami berasumsi tidak diapa-apakan. Kami ingin ini menjadi perhatian. Karena ada yang salah.

Misal kita temukan makanan berbahaya di Industri pengolahan di rumah tangga, kita langsung musnahkan. Itu bisa. Kita rekomendasikan dicabut izin edarnya. Tapi izinnya ke Pemda.

Kami siap diberikan kewenangan untuk mencabut, tapi harus dibagi pembagiannya karena harus ada mekanisme mengatur pertanggungjawaban ke publik yang jelas merugikan publik. Kita perlu punya kewenangan itu.

Profil Roy Alexander Sparringa

Dr.Ir. Roy Alexander Sparringa, M.App.Sc sudah sangat akrab dengan pangan dan berbagai permasalahannya. Sehingga dia bisa duduk menjadi orang nomor 1 di lembaga yang mengawasi keamanan dan mutu pangan olahan dan obat. Lelaki kelahiran 1 Mei 1962 itu menyelesaikan strata 1 di bidang Teknologi Pangan, Universitas Brawijaya. S2, dia lulus dari University of New South Wales, Sydney, Australia jurusan Food Microbiology. Sementara gelar doktornya didapat dari University Of Reading, Inggris di bidang Food Science and Technology.

Sejak 2001, lulusan terbaik dan tercepat di bidang teknologi pangan Universitas Brawijaya itu sudah berkantor di BPOM dengan menjadi Kepala Subdit Surveilan dan Penanggulangan Keamanan Pangan. Tujuh tahun kemudian dia didapuk menjadi Asisten Deputi Bidang Perkembangan Ilmu Kedokteran dan Kesehatan, Kementerian Riset dan Teknologi. Kepala BPOM dia jabat dari tahun 2013.

Selain menjadi Kepala BPOM, Roy juga menjadi Anggota Dewan Pakar Persatuan Mikrobiologi Indonesia, Anggota Badan Penasehat (Advisory Board) Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pangan IPB, Anggota Badan Penasehat (Advisory Group) for Project on Risk Profiles for ASEAN Contaminants of Concern. International Life Science Institute (ILSI) – South east Asia, dan Anggota Advisory Board, Persatuan Teknologi Pangan Indonesia (PATPI).

Roy lebih senang disebut sebagai peneliti. Dia bercerita sangat concern dalam kasus balok es yang mengandung bakteri berbahaya coliform. Begitu juga air mineral yang diminum oleh manusia tiap hari. Kata Roy, lebih baik tidak meminum air yang bercampur es batu dari sumber air yang tidak jelas. Kasus es batu berbahaya ini pernah mencuat di Jakarta Timur. Air bahan baku es diambil dari Kali Malang yang sudah tercemar bahan kimia industri.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI