Suara.com - Baru-baru ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Kepolisian Indonesia menemukan produk ilegal senilai Rp13,5 miliar. Produk tidak terdaftar resmi itu berasal dari luar negeri.
Dari 22 peti kemas yang disita, ada 8 kontainer produk makanan dan minuman yang dicurigai berbahaya. Barang-barang itu berasal dari Jepang, Malaysia, dan Afrika Selatan. Produk itu 'bersandar' di Tanjung Priok, Jakarta Utara bertepatan dengan momentum lebaran.
Kepala BPOM Roy Alexander Sparringa menyatakan produk makanan berbahaya meningkat sampai 11 kali lipat saat lebaran. Terutama makanan kadaluarsa dan tak berizin. Ini terjadi tiap tahun. Makanan itu juga ditemukan di bulan-bulan selain lebaran.
Menurut Roy ada yang salah dalam pola pengawasan produk makanan olahan yang selama ini diawasi. Kesalahan ini terbukti isu makanan mengandung zat berbahaya dan kadaluarsa menjadi isuu tahunan yang tidak pernah habis.
Di mana salahnya? Berikut petikan wawancara suara.com dengan Roy Alexander Sparringa di ruang kerjanya pertengahan pekan lalu:
Isu makanan berbahaya dan kadarluarsa selalu ada menjelang lebaran, tak pernah habis. Mengapa ini terjadi?
Selalu kita lihat hukum ekonomi, permintaan meningnkat dan suplay meningkat. Pada saat itu permintaan meningkat di bulan-bulan Ramadan dan hari raya (Idul Fitri). Ini banyak muncul dari produk yang biasa dikonsumsi, seperti takjil. Ini digunakan oleh pelaku usaha mikro, mereka yang tidak biasa berdagang (pedagang dadakan). Itu kesepatan buat mereka.
Itu yang menyebabkan masalah obat berbahaya itu malah marak. Para pedagang tidak tahu, mereka tidak mau tahu, atau tidak peduli. Mereka tidak tahu ada bahan berbahaya di bahan olahan karena belanjanya itu di pasar tradisional. Kalau di pasar tradiosional, bahan bakunya kebanyakan tidak memenuhi syarat. Contoh produk ikan untuk pempek.
Kalau mereka menggunakan ikan yang tercemar, di sana formalinnya. Karena formalin tidak hilang meski diolah dalam bentuk makanan. Karena bahan bakunya tercemar dan menggunakan bahan berbahaya, maka yang digunakan mereka ya pasti tercemar. Selain itu penggunaan pewarna tekstil, ini banyak. Misalnya bahan makanan pacar cina. Termasuk cendol, itu sebagian ada formalinnya.
Tapi trennya, kalau saya melihat 3 sampai 4 tahun terakhir, itu turun. Turun dari sisi jumlah sampel yang kita curigai. Tapi ekspose seharian ini lebih marak dari sebelumnya. Karena kita ini sebetulnya pekerjaan biasa kita. Kalau melihat 2 tahun lalu, 20 persenan. Tahun lalu 12 persen. Tahun ini masih berjalan. Tapi sampai sekarang kita ambil hariannya, sekitar 10,2 persen.
Makanan apa saja yang diambil sebagai sampel?
Kita punya list makanannya itu-itu saja kok. Semisal tahu, mie basah, aneka minuman, ikan, ayam, daging dan lontong. Kita uji. Itu terus turun jumlah yang mengandung bahan berbahaya. Nah di Jakarta biasanya itu lebih tinggi dari nasional, tahun lalu 21 persen. Tapi tahun ini cukup membaik, sekitar 13 persen. Itu dari sampel yang kita curigai yang dicari di 45 pasar.
Bagaimana untuk makanan kadaluarsa?
Dalam tahun terakhir itu rata-rata lonjakannya 4 kali di bulan Ramadan yang tidak memenuhi syarat. Tapi tahun lalu luar biasa sampai 11 kali lipat dibandingkan hari-hari biasa. Sementara yang melonjak sekali itu jumlah produk ilegal, kenaikkannya sampai 700 persen. Produk ilegal itu seperti makanan ringan, permen, sirup, susu kental manis. Susu tahun lalu menonjol.
Makanan kadaluarsa ini biasanya SOP-nya dimusnakan. Tapi pertanyaannya apakah mereka musnahkan? Dugaan kami dikumpulkan. Mereka menggunakan kesempatan saat ini. Karena masyarakat Indonesia itu tidak biasa baca label. Kesempatan ini dipakai. Makanan kadalurarsa ini muncul paling banyak pas lebaran ini. Sampai naik 5 kali liipat, bahkan 11 kali lipat.
Makanan kadaluarsa itu digunakan untuk memasok parsel...
Nggak juga. Parsel sekarang sedikit kok. Kalau 7-8 tahun lalu, banyak makanan itu dialihkan ke sana. Sekarang ini peminat parcel nggak banyak. Dari data kami, makanan kadaluarsa itu banyak tersebar di Makassar, Jayapura, dan Ambon. Kalau Jayapura dan Ambon ini memang banyak karena daerah terpencil, mungkin petugasnya juga menganggap nggak terlalu pengaruh sampaknya.
Produk ilegal dan tak berizin juga banyak beredar dari luar negeri, bagaimana modus pengiriman ini?
Tiap tahun kita lakukan pencarian ke hulu. Untuk tahun ini kami tingkatkan kerjasama dengan Bea Cukai. Yang penting pintu masuknya ke mana? Ternyata modusnya perairan antar pulau. Tapi tetap ditanya, apakah ada dokumennya? Ternyata tidak ada dokumennya. Itu kapal masuk dari luar sebelum masuk ke pulau pertama. Karena bagaimana itu bisa dapat izin. Padahal itu persetujuan surat keterangan impor dari Badan POM.
Baru-baru ini (pekan lalu) kami menemukan produk ilegal senilai Rp13,5 miliar. Di ranah BPOM, ada 8 kontainer di Tanjung Priok. Barang-barang itu berasal dari Jepang, Malaysia, Afrika Selatan. Semua tidak ada dokumen.
Produk tersebut berasal dari pelabuhan Dumai, Riau dengan salah satu tujuan pengangkutan ke Pelabuhan Laut Tanjung Priok. Jumlah semua petinya 22 buah. Dari 22 peti kemas yang disegel Polair, 3 peti kemas berisi serbuk berwarna coklat, 5 peti kemas berisi produk pangan antara lain tepung beras, manisan buah cerry, saus kedelai, dan minyak cabe serta 1 peti kemas berisi kosmetik berupa sabun dan shampoo bayi serta sisanya berisi kabel, besi, kertas dan lain-lain.
Kemudian terhadap 9 peti kemas yang diduga berisi pangan dan kosmetika ilegal tersebut dilakukan pemeriksaan dan diketahui terdapat 2 item produk pangan yang memiliki nomor izin edar (NIE) namun tidak ada pengajuan surat keterangan impor (SKI), 1 item produk pangan dengan NIE telah habis masa berlakunya, dan 13 item produk pangan yang diduga ilegal, serta 3 item kosmetika yang diduga ilegal.
Masuknya barang ilegal karena anyak pelabuhan 'tikus', pelabuhan rakyat, dan di sana tidak selalu ada petugas. Kata Bea Cukai, jalurnya sangat terbuka sekali. Di sana banyak pintu masuk. Misal saja di sepanjang Batam. Bagaimana mengawasinya? Padahal selama ini kerjasama dengan Bea Cukai baik, tapi dalam hal ini tampaknya sulit menghadapi kumpulan pelabuhan sangat terbuka itu.
Di Batam misalnya ada yang namanya BP Kawasan, di sana ada Pemda dan BP Kawasan. Tapi tidak mudah menyamakan 'kepala'. Kita sudah ada Indonesia National Single Window untuk mendukung penggunaan sistem elektronik dalam penanganan dokumen kepabeanan dan perizinan yang berkaitan dengan impor alat dan perangkat telekomunikasi.
(INSW adalah sistem nasional Indonesia yang memungkinkan dilakukannya suatu penyampaian data dan informasi secara tunggal (single submission of data and information), pemprosesan data dan informasi secara tunggal dan sinkron (single and synchronous processing of data and information), dan pembuatan keputusan secara tunggal untuk pemberian izin kepabeanan dan pengeluaran barang atau single decision-making for custom release and clearance of cargoes.
Batam ini sudah siap, tapi belum termasuk dalam INSW. Saya dengar, belum mau. Balik lagi, BPOM tidak punya pegawai di sana. Nggak ada kewenangannya. Kalau pun ada petugas kami di sana, kami cek saja langsung ke gudangnya. Bukan di pelabuhan.
Makanan kadaluarsa meski turun, tapi masih ada. Apa sulitnya untuk mencegah produk kadaluarsa beredar?
standar operasional prosedur (SOP)-nya harus dimusnakan. Di tahun ini jumlah makanan kadaluarsa juga tinggi. Kami tentu yang dipresure itu pelaku usaha dan itu sudah dilakukan beberapa kali. Tapi kok masih berlanjut? Sehingga kami tiap kali retur (pengiriman balik dari toko ke produsen) itu harus dimusnakan. Tapi tidak semua melakukan itu. Kita nggak mau tahu, itu harus dimusnakan. Anda bisa bayangkan kalau gerai besar, itu mudah mengawasinya karena ada asosiasi yang mengawasi. Yang sulit jika ada di toko kecil, jumlahnya ada ratusan ribu.