Dede Oetomo: Ada Peluang Indonesia Akui LGBT, Meski Kecil

Senin, 06 Juli 2015 | 07:00 WIB
Dede Oetomo: Ada Peluang Indonesia Akui LGBT, Meski Kecil
Dede Oetomo. (foto pribadi)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Amerika sebagai negara berpengaruh, mungkinkah keputusan pelegalan pernikahan sesama jenis ini bisa diikuti oleh negara lain?

Bagi individu yang memiliki kemungkinan LGBT ini, sangat mendorong. Begitu juga dengan organisasi LBGT dan negara-negara yang kemungkinan akan mengesahkan perkawinan sesama jenis. Seperti Australia dan Taiwan. Jadi kalau saya anggota parlemen, tentu saya akan bilang kalau Amerika Serikat sudah memutuskan perkawinan sejenis.

Tapi, Amerika Serikat termasuk lambat dalam pelegalan perkawinan sesama jenis. Karena lebih dulu Argentina, begitu juga dengan Afrika Selatan. Di negara-negara kawasan asia sudah ada beberapa negara yang sudah siap, seperti Taiwan, Nepal, Thailand dan Vietnam. Ini adalah momentum sejarah. Ini akan merambat, meskipun penentangan sangat keras. Seperti statemen di Iran, Ugabay.

Apa perbedaan pergerakan aktivis LGBT di Indonesia saat ini di banding sebelum tahun 90-an?

Perbedaannya sekarang makin banyak kemungkinan. Semuanya sekarang sudah terbuka. Kita tinggal memanfaatkannya. Tapi perjalanannya akan panjang. Meskipun dugaan saya, tidak akan sepanjang yang kita kira.

Contohnya di tahun 2001, orang bisa menikah di Belanda. Itu aktivis yang paling radikal tahun 1970 akhirnya bisa menikah. Jaman saya, cukup dengan penyadaran, nulis, debat dengan masyarakat, konseling dengan teman-teman gay yang masih ragu-ragu.

Dulu belum ada media sosial, kita pakai majalah kecil untuk saling menghubungkan. Pergerakan sekarang bisa memanfaatkan media sosial seperti Facebook, Twitter. Saya kagum dengan orang muda sekarang, mereka berani banget. Saya dulu terbuka baru pada umur 26. Sekarang umur 18 sudah ikut berbagai program.

Yang harus diketahui juga, sekarang cucu-cucunya Kyai coming out, pengasuh pesantren comming out. Mereka tidak terpublish di media massa. Yang saya tahu, satu kyai umurnya 40 tahunan, mau tidak mau harus menerima panggilan dirinya. Hanya saja mereka tidak mau terbuka.

Tapi saya pikir, dengan adanya keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat ini, mereka menjadi sangat berani dan terbuka dengan pers. Ada juga eksekusif muda komunitas gay di Jakarta yang masih malu-malu. Untuk jaman sekarang, banyak sekarang terhadap LGBT. Dulu tidak ada di jaman saya.

Apakah Anda tahu persis berapa populasi kaum gay dan lesbian di Indonesia?

Kita ini tidak pernah bisa tahu karena tidak pernah dihitung. Sensus juga tidak pernah mendukung. Paling ada estimasi. Estimasi yang terakhir itu, Kementrian Kesehatan tidak mau merilis, jadi saya tidak tahu juga.

Tapi dari data yang dirilis Kementrian Kesehatan pada tahun 2006 ada 760 ribu gay dan 28 ribu waria. Angka ini ketika dicari di internet juga tidak ada. Kalau lesbi tidak ada data. Soal jumlah pasti tidak ada yang tahu. Ada yang bilang 3 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Kalau melihat trendnya makin banyak dan saya tidak begitu khawatir dari hantaman yang memusuhi.

Sejak kapan komunitas gay dan lesbian berkembang di Indonesia? Bisa diceritakan sejarahnya?

Tidak ada yang nulis sejarahnya. Tapi saya perkirakan, kemunculan komunitas gay dan lesbian di Indonesia di tahun 1920, seiring dengan kemunculan kota-kota kolonial. Seperti Bandung, Surabaya dan Batavia. Bahwa ada lelaki dengan lelaki, dan perempuan dengan perempuan berhubungan seks sudah ada sebelumnya.

Menurut Anda, apa yang menjadi penyebab Indonesia tidak bisa menerima LGBT?

Fenomena gay dan lesbian, itu adalah fenomena baru bagi masyarakat Indonesia. Tapi secara identitas mereka sudah lama ada. Sedangkan kami tidak mau disuruh berpura-pura lagi. Sehingga benturan dengan budaya yang sudah lama ada. Ada satu fenomena sosiologis yang baru, norma kelabakan.

Selama 30 tahun ini, agama di Indonesia, khususnya Islam dan Kristen semakin konservatif. Di ranah simbolik itu terjadi, begitu juga di ranah ideologi. Tidak hanya satu dua orang di kalangan NU yang merasa kecolongan dengan hal-hal itu. Saya membandingkannya dengan Thailand. Di Indonesia tidak ada yang membicarakan tentang LGBT, kecuali Komnas HAM dan KPA.

Di tingkat internasional, urusan LGBT, Indonesia tidak bisa berkutik. Jadi orang Indonesia mainstream itu kayaknya kok ketakutan sama dua kelompok itu. Saya tidak yakin mereka takut sama Tuhan. Karena kalau takut sama Tuhan mestinya mereka tidak korupsi.

Sejauhmana kebijakan politik Indonesia berpeluang mengakui keberadaan LGBT?

Belum ada undang-undang yang eksplisit menyebut orientasi seksual dan identitas gender. Secara teoretik perlindungan dari diskriminasi ada di Undang-Undang Dasar 1954 pasal 28i ayat 2. Tapi peluangnya saat ini sangat kecil. Dasar UUD 45 pasal 28i ayat 2 bisa jadi celah, tapi yang merasa didiskriminasi perlu memerkarakan pihak yang mendiskriminasi ke pengadilan.

Tapi akhirnya pasti bisa. Saya membandingkannya dengan ide negara merdeka di tahun 1900. Di mana hal itu dianggap sebagai hal yang tak mungkin. Bahkan dianggap waktu itu, kalau mau merdeka ditangkap. Sebenarnya kalau dipikirkan oleh orang-orang umum, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.

Sekarang mau nggak mau ada berita soal LGBT, baik yang positif dan negatif. Mereka yang teriak musuhin saja, itu bisa selalu disisihkan oleh mereka yang kritis. Itu yang tidak disadari oleh mereka.

Soal kebijakan pemerintah Indonesia bagaimana menurut Anda?

Pura-pura tidak tahu. Saya sudah punya pengalaman ini. Kecuali komisi yang independen itu, seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan dan Komisi Penanggulangan AIDS. Saya mau membandingkan saja dengan Thailand. Mereka sudah mempertimbangkan keberadaan LGBT, begitu juga dengan Vietnam.

Singapura adalah negara terakhir yang pemerintahnya mengajak LGBT untuk bertemu. Sebetulnya begini, kaum progresif Indonesia belum menang. Bayangkan saja kalau orang-orang seperti saya mengisi kabinet. Saya pernah mendapat ucapan seperti itu dari salah satu tokoh di Afrika Selatan.

Salah satu alasan LGBT harus ditolak adalah pengancam populasi dunia. Mereka tidak bisa menghasilkan keturunan. Pendapat Anda?

Mereka tidak tau saja. Dan saya cenderung melihat mereka mempunyai bahan bacaan yang tidak cukup dan mempunyai guru agama yang kurang begitu paham. Sekali lagi saya mengutip perkataan Ibu Musdah, guru agama mereka adalah guru setengah matang, bacaannya tidak beres, belum lagi urusan sains. Sains di Indonesia lemah sekali. Saya tidak heran dengan hal ini.

Kritik saya terhadap pemerintah adalah pemerintah takut, malu atau bagaimana dengan tidak memberikan pendidikan seksual yang komprehensif. Pendidikan seksual itu khan hanya mengatakan saja, apalagi anak belajar dari lingkungan sekitar. Pendidikan seksual ini penting daripada anak mengenalnya dari permainan atau film yang mengandung unsur gay dan lesbian. Ini proses terus dan akan menuju ke sana.

Aktivis dunia, termasuk Anda ngotot, perlindungan LGBT harus diperluangkan. Apa yang membuat itu mendesak?

Persoalannya begini, tinggal kita memilih yang mana. Kalau saya lebih memilih keadilan. Apalagi homoseksual sendiri tidak boleh dibicarakan, apalagi diakui. Dari segi keadilan, LGBT tidak mendapatkannya seperti apa yang didapatkan kaum heterogen.

Begitu juga soal pekerjaan dan di bully. Apalagi yang mem-bully adalah dosen yang seharusnya menjadi contoh bagi mahasiswanya. Kejadian ini ada di Jombang dan saya punya rekaman kronologinya. Paling tidak saya berharap keberadaan LGBT jangan diganggu dan jangan dipertanyakan sehingga bisa hidup berdampingan.

Profil Dede Oetomo

Dede Oetomo lahir di Pasuruan, Jawa Timur tahun 1953. Dia adalah aktivis senior LGBT di Indonesia. Dede juga sosiolog dan pakar masalah jender di Jawa Timur. Dede merupakan pendiri organiasai pertama yang memperjuangkan hak-hak LGBT di Indonesia bernama GAYa Nusantara. Dede menyelesaikan kulia strata pertama di IKIP Surabaya dan IKIP Malang jurusan pendidikan Bahasa Inggris. S2 dan S3, dia selesaikan di Cornell University, Amerika Serikat dengan mendalami bidang linguistik dan kajian Asia Tenggara. Di tesis untuk mendapatkan gelar PhD dia mengkaji tentang bahasa dan identitas golongan etnis Tionghoa di Jawa Timur.

(Yovie Wicaksono)

BERITA MENARIK LAINNYA: 

Berapa Jumlah Gay & Lesbian di Indonesia?

Ini Kata Warga DKI Soal Pernikahan Sejenis

Dampak Pelegalan Pernikahan Sejenis di AS Belum Merata

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI