Suara.com - Akun Facebook Dede Oetomo pekan lalu tampak 'berpesta' merayakan pelegalan pernikahan sesama jenis di Amerika Serikat. Profil fotonya bersama seekor kucing tampak berwarna pelangi.
DR Dede Oetomo PhD merupakan aktivis LGBT senior, usianya sudah menginjak 61 tahun. Dede termasuk aktivis gay yang berpendidikan. Dia lulus S2 dari Cornell University bidang linguistik dan kajian Asia Tenggara di Ithaca, New York, Amerika Serikat. Begitu juga gelar PhD-nya.
Sejak tahun 70-an dia menjadi aktivis LGBT, sehingga dia fasih bicara soal hak-hak kaum minoritas yang belum diterima Indonesia itu. Kata dia, jumlah populasi gay Indonesia sebanyak 760 ribu orang. Sementara waria atau transgender 28 ribu orang.
Lelaki berkacamata itu yakin suatu saat Indonesia mengakui keberadaan kaum gay, biseksual, lesbian dan transgender. Sebab ada peluang, meski pun kecil.
"Secara teoretik perlindungan dari diskriminasi ada di Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28i ayat 2. Tapi peluangnya saat ini sangat kecil," kata Dede.
Apa peluang Indonesia bisa menerima keberadaan LGBT? Sejauhmana kebijakan politik Indonesia memperjuangkan hak LGBT?
Berikut wawancara suara.com dengan Dede Oetomo di Surabaya, Jawa Timur pekan lalu:
Mahkamah Agung Amerika Serikat melegalkan pernikahan LGBT, semua berpesta. Termasuk beberapa selebritis di Indonesia. Anda ikut berpesta?
Iya, kalau itu mau tidak mau harus dilakukan. Sebagai aktivis gay yang sudah lama, saya mulai menjadi aktivis di AS. Saya merasa ini adalah satu prestasi yang lumayan, keputusan Mahkamah Agung dari Negara Adi Kuasa. Terlepas dari kita kritis kepada Amerika.
Ini sudah resmi dari Mahmakah Agung dan tidak bisa diubah lagi. Ini bagus. Saya kira teman-teman aktivis pejuang HAM juga senang. Apalagi hak LGBT menjadi hak terakhir yang terus ditentang dan jadi arena kontestasi.
Bagaimana cara Anda merayakannya? Dengan pasangan Anda?
Kami makan coklat berdua, dengan pose seakan-akan melamar dengan tertawa. Tapi yang menarik, ada yang kasih selamat dari keluarga saya. Dekan kampus juga bertanya, kapan menikah? Kami merayakannya dengan makin kuat. Meskipun saya makin kritis dengan institusi perkawinan.
Makin kuat kemungkinan, mungkin suatu saat, mungkin tidak terlalu lama lagi, tidak tahu saya. Saya akan menjadi orang yang menikah. Tidak tahu di Selandia Baru, Kanada atau Amerika Serikat. Kayaknya baru 3 negara itu yang mengijinkan non warga negara bisa menikah.
Anda LGBT, bagaimana kehidupan Anda selama 61 tahun ini menjadi gay? Anda senang?
Saya senang sekali, kebetulan saya punya pasangan yang berusia 31 tahun. Cuma sebagai orang yang mulai tua, dan pasangan saya punya pekerjaan internasional. Maka kami harus menikah. Karena kalau dia kerja di PBB, saya harus menjadi suaminya dia karena ada tunjangan bagi suami. Saya juga melihat apa yang terjadi pada orang-orang seusia saya. Jika saya muda pada jaman ini, kemungkinan saya akan coming out pada usia 18 tahun.
Anda mendirikan GAYa Nusantara tahun 1987. Sejauh mana lembaga ini berhasil mengkampanyekan kesetaraan LGBT?
Yang paling urgent saat ini adalah keseteraan dan perlindungan dari diskriminasi. Itu yang menjadi fokus kami. Yang paling urgent adalah perlindungan diskriminasi untuk mereka yang waria, karena paling tampak. Gay masih bisa sembunyi, begitu juga lesbi.
Persoalan lain adalah lahan pekerjaan bagi kalangan LGBT. Tidak menutup kemungkinan kami akan berjuang dalam kerangka pekerjaan, misalnya meminta Menteri Tenaga Kerja untuk menyiapkan peraturan soal lahan pekerjaan bagi LGBT.
GAYa Nusantara yang pertama, tapi sekarang jauh lebih luas. Yang saya tahu pada Januari 2014 ada 122 organisasi LGBT yang tersebar dari Banda Aceh sampai Jayapura. Baik itu kecil besar, kuat lemah. Yang diverifikasi akhir bulan Februari lalu ada 78 organisasi LGBT (khusus Gay dan Waria). GAYa Nusantara menjadi salah satu bagian dari mereka.
Yang kami lakukan adalah menyadarkan masyarakat dan menyadarkan LGBT sendiri. Bahwa ini tidak salah, ini bukan penyakit. Buktinya sudah ada. Dan dari dua agama besar, Kristen dan Islam. Kami berani bilang, berdasarkan interprestasi progresif ini bukan dosa.
Di Islam sendiri, anutan kami ya kayak Bu Musdah Mulia (Siti Musdah Mulia, aktivis kesetaraan gender dan pengajar di IAIN Syarif Hidayatullah. Masalahnya dari teman-teman, saya meminjam istilahnya Bu Musdah, orang-orang hanya mendengar dari guru agamanya baik Islam maupun Kristen. Tanpa membaca buku dan sumber-sumbernya secara sendiri. Kalaupun membaca, biasanya tidak kritis.
Anda pernah semangat mencalonkan diri sebagai anggota Komnas HAM dan lantang dalam menyuarakan kesetaraan LGBT. Semangat itu masih ada?
Masih, bahan saya sangat bersyukur bisa mengikuti proses sampai ke DPR, karena saya bisa belajar banyak. Terutama tentang HAM itu sendiri. Saya mendapatkan dukungan dari mereka yang progresif.
Ada berbagai program untuk LGBT, baik dari dalam maupun internasional. Kalau dari dalam, program Kementrian Sosial ada program rehabilitasi. Program ini diharapkan mampu menjadi santunan sosial bagi LGBT yang miskin. Misalnya waria yang sudah tua.
Teman-teman di Jakarta sedang bekerja dengan Kemensos. Begitu juga KPA dengan program HIV/AIDS untuk kesetaraan di berbagai daerah untuk gay dan waria. Dari internasional seperti UNDP dengan menggandeng USAID dan Pemerintah Swedia punya program bernama 'Being LGBT in Asia'. Banyak program yang jalan dan akan dijalankan.
Anda gay dan aktivis LGBT, apakah Anda pernah menerima intimidasi atau ancaman?
Yang paling real cuma satu kali. Tahun 1999 saat di Solo. Saya akan dibakar hidup-hidup oleh FPIS (Front Pembela Islam Surakarta). Saya disembunyikan oleh aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD). Kalau maki-maki di Facebook dan dikirimkan ayat sudah sering. Bagi saya, semakin diserang, saya semakin keras.