Said Agil Siradj: Islam Nusantara Mencegah Radikalisme

Senin, 29 Juni 2015 | 07:00 WIB
Said Agil Siradj: Islam Nusantara Mencegah Radikalisme
Ketua Umum Pengurus Besar Nadlatul Ulama (PBNU) Said Agil Siradj. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Agil Siradj resah saat Islam selalu dihubungkan dengan gerakan radikal. Bahkan Islam dipandang sebagai agama yang keras.

Anggapan itu mencuat saat memasuki Ramadan. Isu aksi sweeping yang dilakukan sekelompok organisasi masyarakat radikal terhadap tempat hiburan, pemaksaan penutupan warung makanan, sampai aksi main tuduh 'kafir' terhadap suatu kelompok yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.

Menurut doktor lulusan filsafat Islam, University of Umm al-Qura itu masyarakat Indonesia sudah salah paham dengan ajaran Islam. Kebanyakan mereka beranggapan jika Islam yang benar adalah yang beraliran 'wahabi'. Padahal menurut Kyai Said, begitu sapaan Said Aqil, Indonesia mempunyai cara pandang Islam secara khusus, yaitu Islam Nusantara.

Pandangan Islam Nusantara ini, menurut Said bisa meredam aksi terorisme di Indonesia. Bahkan Islam Nusantara ini menyebarkan paham toleransi dalam beragama.

Seperti apa Islam Nusantara itu? Bagaimana bisa diterapkan di Indonesia tanpa bertentangan dengan nilai Islam sebenarnya?

Berikut wawancara Suara.com dengan Said Aqil Siradj di Kantor PBNU, Jakarta pekan lalu:

Toleransi sudah menjadi slogan di kalangan NU. Bagaimana NU memandang arti toleransi di bulan puasa?

Mungkin yang terdekat, soal pernyataan Menteri Agama Lukman Hakim. Dia mengatakan yang puasa harus menghormati yang tidak puasa. Kalau bagi warga NU, no problem. Sejak dulu, ada orang yang tidak berpuasa, kita tidak pernah bertindak keras. Lihat ada orang tidak solat, tidak mengajak dengan kekerasan. Tapi bukan berarti kita tidak mengajak, tetap mengajak. Dengan catatan harus santun.

Tapi menurut saya soal pernyataan itu seharusnya dibalik yah. Yang benar yang tidak berpuasa harus menghormati yang berpuasa. Karena yang tidak berpuasa itu kan melakukan aktivits normal, makan dan minum. Nah yang berpuasa kan tidak menjalankan hal yang normal. Itu bentuk toleransi yang sederhana. Begitu juga warung-warung yang tidak tutup. Boleh saja, tapi jangan terlalu bebas.

Kita harus toleran, kita hormati non muslim yang makan dan minum. Tapi untuk yang muslim tidak berpuasa, harus kita ajak. Tapi dengan santun, jangan gunakan kekerasan.

Islam agama yang harus didakwahkan atau disosialisasikan, itu perintah Allah. Misal kita mengajak orang masuk Islam, tapi dengan santun. Lewat diskusi yang bernilai dan bermatabat. Termasuk organisasi Islam juga harus mendakwahkan, menyiarkan, menghidupkan, meramaikan. Semisal membuat pengajian

Yang tidak boleh adalah menggunakan kekerasan atas nama agama. Termasuk sweeping. Jangan kan itu, memaksa orang suruh salat dengan menakut-nakuti saja tidak boleh. Tapi dengan pendekatan yang santun.

Toleransi yang Anda maksud ini termasuk di kebijakan DKI Jakarta yang tidak melarang panti pijat untuk tutup?

Kalau yang namanya hiburan dan sebatas hiburan, itu boleh-boleh saja. Tapi yang namanya prostitusi di bulan puasa, bahkan bukan di bulan puasa itu yah nggak boleh. Kalau sekadar hiburan, orang nyanyi. Karaoke itu boleh. Tapi kalau sudah mengarah ke perzinahan itu yang tidak boleh.

Kalau cafe atau diskotik tetap buka?

Boleh lah, kan semua orang tahu sebatas apa. Sebatas melihat orang nyanyi, boleh dong. Tapi kalau yang sudah mendekati perzinahan, yah itu nggak boleh lah.

Tahun ini penetapan puasa oleh NU dan Muhammadiyah bersamaan? Apakah ini menjadi hal yang spesial?

Tidak, ini kebetulan saja. Juga bukan masalah direkayasa atau disengaja. NU dan Muhammadiyah tetap beda cara pandang menentukan awal Ramadan. Kebetulan kali ini bersamaan karena NU tidak berhasil melihat bulan. Makanya puasanya keesokan hari atau digenapkan.

Tapi yang harus diingat dan garisbawahi, NU sudah ada kemajuan dalam menentukan awal Ramadan, Syawal atau juga Djulhijah. Semisal kalau ada orang berani sumpah melihat hilal kurang dari perhitungan 2 derajat, itu harus ditolak. Karena NU pun percaya dengan hisab yang diterapkan Muhammadiyah. NU pun tidak fanatik kalau ada orang yang berpegang teguh pada bersumpah melihat bulan, tapi kurang dari 2 derajat. Harus 3 derajat.

Pemerintah akan terus mengupayakan agar ada kesamaan cara dalam metode penetapan awal Ramadan. Anda sudah membicarakan ini dengan Menag?

Sudah, tapi masih belum ketemu caranya. Pak menteri mengajak NU dan Muhammadiyah ada pendekatan penetapan meski mtode berbeda. Supaya masing-masing tidak fanatik dengan caranya. NU sudah moderat, sudah seperti itu. Itu sejak tahun lalu.

Di Indonesia ini unik, satu negara puasanya bisa berbeda. Kalau di luar negeri seperti di timur tengah sering terjadi perbedaan itu. Tapi antar negara.

Selain Indonesia, apakah ada negara lain dalam penetapan Ramadan selalu beda?

Nggak ada, bisa saya pastikan itu. Semua negara itu sama menentukan Syawal dan Ramadan. Tapi kemungkinan beda negara, ya ada saja. Misal Yaman dengan Arab Saudi, atau juga dengan Mesir. Nah di Indonesia ini satu presiden, menteri agama-nya sama, tapi berbeda jadwal puasa.

Perlukah dibuat Undang-Undang agar penentuan Ramadan bisa sama?

Susah yah. Karena ini soal prinsip.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI