Djarot S. Wisnubroto: Indonesia Sulit "Go Nuklir" karena Politik

Senin, 15 Juni 2015 | 07:00 WIB
Djarot S. Wisnubroto: Indonesia Sulit "Go Nuklir" karena Politik
Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Djarot Sulistio Wisnubroto. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Sejak tahun 1981 ingin dibangun PLTN, tapi belum terwujud. Apa kesulitannya?

Kesulitan politik. PLTN itu harus diputuskan dengan keputusan politik. Politisi berpikir, apakah saya didukung oleh masyarakat atau tidak jika membuat putusan itu? Bisa jadi tidak populer. lebih baik tidak menyetujui reaktor nuklir. Misal dia menyetujui, waktu jabatan dia 5 tahun. Kalau reaktornya nggak bagus. Kalau 5 tahun nanti nggak terpilih bagaimana? Jadi yah cari aman.

Apakah artinya parlemen belum sadar atas potensi nuklir?

Sebenarnya begini, kebijakan atau undang-undang dan peraturan di Indonesia ini mendukung nuklir. Mulai dari RPJMN, Perpres terkait percepatan pembangunan PLTN, kan mendukung. Tapi dalam prakteknya mengalami kesulitan untuk supaya "go nuklir" dalam hal kebijakan nasional.

Tapi karena kami lembaga pemerintah, yah baik-baik saja. Kalau memang pemerintah nggak "go nuklir", nggak apa-apa kok. 'Go nuklir', kita siap. Dengan atau tanpa PLTN, kita okay-okay saja.

Tapi bagus dengan PLTN...

Yah tentu saja. Tapi kan kita nggak bisa, jika presidennya bilang tidak. Lalu kita ngotot PLTN pak! Yah dipecat semua di Batan.

Saat ini PLTN digembar-gemborkan di era Jokowi, bagaimana di era sebelumnya?

Tiap era pernah menjadi, di mana nuklir menjadi opsi yang menarik. Misal zaman Pak Soeharto. Saat itu momennya bagus, karena dia strong leader kan. Tapi ketika ingin diputuskan ada Chernobyl (PLTN di Ukraina yang terbakar) tahun 1987.

Setelah itu (isu nuklir) naik lagi saat Batan mengadakan studi di Jepara. Tapi terjadi krisis multidimensi tahun 1998. Lalu turun lagi. Lalu naik lagi setelah itu, tapi Fukushima (reaktor nuklir di Jepang yang tertantam tsunami 2011) terjadi. Kejadia Fukushima itu terjadi saat kita melakukan studi kelayakan di Bangka Belitung. Kita kebingungan, ini studi kelayakan diteruskan atau tidak. Nggak! Tapi akhirnya kita teruskan.

Semua itu karena ketakutan. Ketakutan itu menyebabkan kita ragu-ragu. Kita tengarai, politisi lokal di Bangka pun menjauh dari kita. Situasinya seperti itu, selalu berulang. Nah sekarang pun seperti itu.

Ketika banyak daerah yang ingin PLTN dibangun, Batan itu hati-hati. Karena pengalaman, jangan sampai kita terombang-ambing oleh faktor politik. Bukan saya mengatakan politisi tidak bisa dipegang omongannya, tidak. Kan bagaimana pun politik itu punya hukum yang berbeda.

Makanya saya katakan kalau di daerah mana ingin dibangun PLTN, buktikan kalau Anda serius. Ikut membiayai dan ikut ngomong ke pemerintah pusat.

Nah sekarang isu nuklir ini tengah naik kembali, bagaimana cara Anda mempertahankan agar isu ini tidak jatuh?

Kalau promosi, sejak zaman era Pak SBY sudah dilakukan. Pak SBY itu memperi kita dua 'alat'. Pertama, lakukan di Bangka Belitung dan sosialisasi. Tapi kita belajar dari Jepara dan Bangka.

Sekarang kita strateginya kalau daerah itu besar permintaan PLTN-nya. Pemerintah daerah setempat juga sangat serius, itu tidak menjadikan kita menjadi 'bulan-bulanan'. Kita akan bantu sampai nanti ada vendor (investor) siapa? Yang akan memilikinya.

Siapa yang akan mengelola energi nuklir ini? Apakah sejenis BUMN?

Itu bebas. Tapi sampai saat ini belum diputuskan. Makanya kita tekankan untuk dibentuk tim nasional untuk bisa menetapkan jenis kepemilikannya seperti apa. Jadi apakah harus BUMN, asing murni, atau join. Sampai sekarang belum ada aturannya.

Menurut Anda sistem yang mana yang bagus?

Sebenarnya itu semua punya kelebihan dan kekurangan. Misal Turki, dia kerjasama dengan Rusia. PLTN itu dibangun Rusia, yang mengoperasikan Rusia. Turki hanya beli listriknya.

Mungkin idenya Pak Habibie waktu itu investor yang mengoperasikan, lalu dalam jangka waktu berapa tahun diserahkan ke Indonesia. Bagi kami, tidak ada pilihan mau bagaimana.

Saat ini jokowi inginnya kebijakan nuklir ini kayak apa?

Iya itu yang sebenarnya kita kadang-kadang sulit untuk membaca. Pak Jokowi pernah hadir ke reaktor di Serpong April lalu. Saat itulah saya bisa bertemu muka. Itu reaktor nuklir yang kelak bisa jadi PLTN. Tapi belum tidak ada respon. Mungkin tepatnya belum ada respon. Artinya "yes" atau "no" kita belum tahu. "Yes" atau "no" untuk 'go nuklir'.

Menristek dan MenESDM menyatakan akan membangun 5 reaktor dan go nuklir 2025...

Anda tahu situasi politik Indonesia kan? Menteri boleh ngomong apa saja, tapi wakil presiden dan presidennya beda.

Artinya Batan belum diberikan tongkat estafet untuk membangun?

Ya memang kenyataannya belum. Jadi memang ketakutan ini secara psikologis aja.

"Go nuklir" di Indonesia belum pasti. Lalu apa yang akan dilakukan Batan agar semangat mengembangkan nuklir ini bisa terus ada?

Bagaimana pun saya harus menjaga motivasi teman-teman di Batan, mereka harus kita hindarkan dari 'jet coster'. Mereka yang ikut terlibat dan merasakan, mereka akan bilang, "ngapain saya mempersiapkan PLTN, toh yah naik turun juga".

Nah makannya kita ingin menciptakan motivasi, sudah lah jangan pikir PLTN itu kapannya. Tapi kita terlibat di bidang kelitbangan. Agar teknologi itu jadi lebih menarik, makanya kita munculkan ide reaktor daya eksperimen menghasilkan listrik. Itu untuk menjaga motivasi mereka. Kami akan menjaga amanah yang ditugaskan pemerintah. Kita bersedia melakukan persiapan, tapi maju perangnya entah kapan?

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI