Djarot S. Wisnubroto: Indonesia Sulit "Go Nuklir" karena Politik

Senin, 15 Juni 2015 | 07:00 WIB
Djarot S. Wisnubroto: Indonesia Sulit "Go Nuklir" karena Politik
Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Djarot Sulistio Wisnubroto. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Apakah Indonesia harus mempunyai reaktor nuklir untuk PLTN ini?

Kalau mendesak atau tidak, kan undang-undang itu harus dipatuhi. Tetapi kami selalu mengatakan kepada pemerintah, tolong dibuat road map, apa benar dan menunjukkan jika Indonesia butuh PLTN. ESDM sudah menyatakan butuh. Kata mereka tahun 2025 sudah harus beroperasi 5.000 MW. Itu  yang menjadi pegangan kita.

Jika pendapat Anda sebagai ahli nuklir yang disekolahkan Pak Habibie ke Jepang, apakah Indonesia sudah memerlukan PLTN?

Anda tahu minyak itu akan habis kapan? Kalau di media dikatakan sampai 12 tahun mendatang. Batubara, kita masih punya banyak. Tapi tidak bisa seluruhnya dipakai 100 persen untuk listrik. Karena bisa terjadi polusi udara.

Kemudian kita mengklaim mempunyai potensi listrik dari panas bumi 29 gigawatt. Potensi dengan kenyataan itu kan 2 hal yang berbeda. Terus kita mengklaim, kita daerah tropis, punya matahari sepanjang tahun sampai membuat kita hitam. Coba bayangkan, 1.000 megawatt itu setara dengan sepertiga DKI Jakarta yang ditutup panel surya. Terus angin, iya okay saja.

Jadi sebenarnya, kalau saya seorang ahli nuklir, semuanya itu mempunyai kelebihan dan kekurangan.

Nuklir kekurangannya ada. Bahwa ada kekhawatiran masyarakat, tapi ini faktor psikologi kan. Kedua, untuk membangun PLTN itu perlu waktu 7 sampai 10 tahun. Ketiga, nuklir berbiaya investasi lebih mahal.

Tapi ada kelebihannya, nuklir bisa menghasilkan daya yang besar sampai 1.000 megawatt. Kedua, energi bersih. Energi gas buang rendah. Ketiga, dia bisa hidup terus sampai 18 bulan sampai 2 tahun. Lainnya, fluktuasi harga bahan bakarnya tidak mempengaruhi listrik. Uranium memang berubah harga, tapi tidak banyak pengaruh. Yang mengkhawatirkan, sumber fosil. Jadi PLTN bisa masuk.

Tapi pelajaran dari fukusima apa? Ada 3 hal, carilah daerah yang potensi gempanya kecil. Kedua, carilah teknologi yang lebih mutahir dari Fukushima. Ketiga, transparan terhadap masyarakat. Inilah yang saya selalu dengungkan.

Jadi butuh kah nuklir? Kalau saya katakan secara pribadi sebagai ahli, kita sebenarnya dari 1 dekade yang lalu sudah butuh. Dari situ lah kita berkembang bangun sampai 3 reaktor untuk mengurangi pemanfaatan energi fosil.

Apakah PLTN yang akan dibangun nanti akan sama seperti di Fukushima Jepang?

PLTN di Fukushima itu generasi kedua teknologinya. Itu memang ada kelemahan. Tapi tentunya kita akan memilih untuk 10 tahun mendatang, generasi 3 plus. Dari sisi keselamatan jauh lebih handal.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI