Suara.com - Aktivis perlindungan anak, Seto Mulyadi tidak aneh ada berita orangtua menelantarkan anaknya, bahkan menyiksanya. Menurut dia, ini sudah terjadi sejak dulu.
Namun Kasus penelantaran anak di Cibubur, Jakarta Timur pekan lalu mengundang perhatian luas. Itu karena diliput media. Sementara, masih ada ribuan anak terlantar di kota besar, di antaranya di Jakarta.
Ke mana negara? Begitu tanya Kak Seto - sapaan akrab Seto Mulyadi - dengan wajah tegang. Terlebih berdasarkan pantauan KPAI, Komnas Anak dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPP-PA), rata-rata pertahun ada 3.000 kasus kekerasan pada anak yang dilaporkan. Kata dia, jumlahnya akan banyak jika masyarakat berani melapor.
Pencipta 'Si Komo' menyerukan kekerasan kepada anak harus dihentikan. Caranya, masyarakat harus terlibat. Jangan sungkan melaporkan ada orangtua yang berlaku jahat kepada anak-anak.
Bagaimana trik-trik menghindari kekerasan kepada anak di rumah? Dan bagaimana semestinya peran negara untuk mendukung seruan itu.
Berikut petikan wawancara suara.com bersama Kak Seto pekan lalu:
Kekerasan kepada anak dilakukan oleh orangtua sendiri, apakah ini hal luar bisa?
Sebenarnya bukan kasus baru. Komnas Anak banyak mendengar dan laporan banyak kasus seperti itu tidak terungkap ke permukaan. Sering masalah anak-anak ini tidak dianggap sebagai sesuatu yang 'seksi' dan menarik. Ini fenomena gunung es, yang hanya sebagian kecil lalu jadi berita. Kayak kasus penelantaran anak ini, banyak sekali terjadi. Tapi karena ini belum ada berita apa-apa, tiba-tiba jadi menarik gitu.
Pelakunya kok dikira pelaku kekerasan pada anak di kalangan menengah ke bawah, atau pelaku kekerasan tuh yang kesulitan ekonomi atau golongan yang tidak terdidik. Saya pernah kok melihat profesor yang menempeleng anaknya kok. Ini menyangkut paradigma yang keliru mengenai anak, jadi seolah anak-anak itu dianggap komunitas kelas bawah, jadi korbankan.
Kedua, karena anak ini milik orangtua, sehingga tidak boleh diperlakukan apa saja. Misal ada apa-apa ditugur oleh tetangga, "eh jangan ikut campur tangan, ini masalah privasi saya. Itu hak saja untuk mendidik dengan cara begini". Ini semua sudah tidak berlaku. Memang harus ada gerakan nasional kembali yang dicanangkan oleh presiden, misalnya 'stop kekerasan dan kekerasan pada anak'.
Di era Presiden SBY sudah pernah...
Iya lewat Inpres (Instruksi Presiden), tapi kurang menggelegar. Mungkin pas nanti Hari Anak Nasional, Pak Jokowi mencenangkan kembali. Kalau kita ingin memiliki bangsa yang besar, bangsa itu harus dibangun dari sekarang. Jadi mulai pemimpin-pemimpinnya dari anak. Bukan hanya cerdas, kreatif, ganteng, tapi pemimpin yang hatinya juga bersih.
Tidak Kejam, tidak penuh kekerasan, tidak emosional. Itu bisa tercapai kalau dari kecil anak-anak dihargai hak-haknya. Sekarang kalau kayak begini-begini terus, lihat saja nanti. Kekerasan mudah di mana-mana. Sampai lembaga terhormat saja ada kekerasan, begitu kalah, jungkirkan kursi. Berantem. Karena tanpa sadar beliau-beliu dari kecil ini dididik dengan kekerasan.
Berapa kasus jumlah kasus kekerasan pada anak? Apa motif kekerasan itu?
Jumlah yang dicatat dari Komnas Anak, KPAI, dan Kantor Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pertahun tidak lebih dari 3.000 kasus. Paling seribu sekian, 2.000 sekian. Saya bertemu dengan aktivis perlindungan anak dari Inggris, dia bilang di Inggris rata-rata pertahun 300.000 kasus kekerasan pada anak. Penduduknya hanya sekitar 65 jutaan. Tapi karena mereka berani melapor. Di sini tidak berani melapor atau tidak dilaporkan.
Kemarin ada terjadi di Cibubur, dekat Jakarta dan kebetulan ada koneksi ke KPAI. Kalau nggak kenal KPAI juga diam saja. Saya tanya mantan ketua RT-nya, itu tetangga sudah sering melapor. Anak itu digebuki, teriak-teriak. Tapi begitu diketuk pintu rumahnya (didatangi), jangan ikut campur, ini urusan keluarga saya. Yah artinya diam semua. Ini kan persoalan ribuan kasus, di Papua bagaimana? Di Aceh bagaimana?
Tidak beraninya tetangga menegur orangtua yang kasar ke anaknya, ini apa penyebabnya?
Budaya, itu sudah harus berubah. Karena pasal dari UU Perlindungan Anak yang lama, Pasal 78 berbunyi "siapa pun yang mengetahui adanya tidak kekerasan kepada anak, diam saja dan tidak berusaha mencegah. Itu sanksi pidana 5 tahun pejara. Sementara pelakunya sendiri minimal 3 tahun penjara". Ini kan mendorong kepedulian warga. Jadi kalau warga diam saja, salah dia. Harus berani. Lapor polisi aja. Polisi tidak ada alasan untuk segera datang, periksa, begitu ada bukti. Tahan.
Ada pernah kejadian di dekat rumah saja, tapi agak jauh. Ada anak perempuan yang melepuh diseterika ibu tirinya. Saya telepon ke Polres Jakarta Selatan. Nggak sampai 40 menit datang, diperiksa dan ditangkap si ibunya.
Makanya saya bilang kalau semua ke KPAI, Komnas Anak, nggak akan tertangani semua masalah di situ. Jadi ujung tombak KPAI, Komnas Anak, KemenPP-PA itu adalah RT/RW. Di antara seksi-seksi, tambah satu lagi seksi satgas perlindungan anak. Jadi begitu tahu, satgas bertindak. Entah mencegah memperingatkan.
Yang sulit adalah men-edukasi kesadaran tentang perlindungan anak di masyarakat kelas bawah. Misal di lingkungan kumuh atau pinggiran kota. Bagaimana cara menyentuhnya?
Yah dikasih tahu terus, pemberitahuan. Ada preventif. Kalau perlu tulis besar-besar "Stop Kekerasan pada Anak". Itu peraturan 2002, 13 tahun lalu. Jadi gampang sekali, yang penting niatnya.
Nah kasus ini (Cibubur) sudah lapor polisi, tapi katanya harus saudaranya yang melapor biar buktinya lengkap. Kalau seperti itu nggak bisa. Saya makanya bilang sama Kapolri kemarin, agar instruksi sampai ke Pos Polisi yang paling awal, semua itu bukan delik aduan, polisi tahu, langsung bertindak dan cegah.
UU Perlindungan Anak belum sampai ke polisi?
Belum, kadang petugas kepolisian belum paham.
Anda menjadi RW pertama yang menerapkan satgas perlindungan anak, dan mendapatkan rekor muri. Bagaimana ceritanya?
Saya punya Rekor Muri RT/RW pertama yang punya satgas perlindungan anak. Saya ketua RW di sini. Itu langsung dibentuk. Ibu-ibu banyak, relawan, saya mau, saya mau. Pernah malah bukan anak, tapi bapak-bapak dipukuli sama istrinya, dilaporkan ke saya. Yah sama aja ini. Kami tahu asih tahu, sekarang ada UU PDRT, nggak boleh nanti masuk penjara. Akhirnya si bapaknya meninggal. Berdarah-berdarah mukanya. Dipukuli, digebuki karena cemburu.
Kalau kata Hilary Clinton, mendidik anak perlu orang sekampung. Sama, melindungi anak perlu orang sekampung.
Saya tinggal bilang saya kepada warga, kalau apa-apa ke Komnas Anak, KPAI nggak akan bisa. Kalau ada kejadian apa-apa kita malu. Yuk, kita buat. Nah mereka setuju. Saya sudah menghadap Ibu Airin (Walikota Tangerang Selatan), akhirnya Bu Airin mendapatkan rekor muri 6 bulan kemudian, kota pertama yang seluruh RT/RW-nya sudah mempunyai satgas perlindungan anak.
Jadi Bu Airin mengklaim semua sudah ada. Mereka langsung mengawasi dan bertindak kalau ada kekerasan pada anak. Termasuk misalnya ada anak kecil naik motor tanpa helm, itu diperingatkan. Jangan sampai ada kecelakaan, baru ribut. Yang negur itu warganya, itu kan mencegah.
Apakah sulit mengajak warga untuk membuat satgas ini?
Nggak sulit. Kan UU-nya sudah kuat. Kenapa harus ke KPAI atau Komnas Anak? Kita apa-apa polisi. Seluruh pelosok Tanah Air itu kan ada polisi. Punya kewenangan untuk menangkap orang yang melanggar peraturan Undang-Undang.
Salah satu solusi memangkas kekerasan pada anak ini membangun rumah aman, sepertu apa rumah aman?
Indonesia belum memiliki rumah aman. Yah masyarakat menyelenggarakan lah. Kayak sekarang rumah aman SOS Children's Villages di Cibubur kan bukan punya KPAI, itu LSM. Jadi mungkin bisa dibuat sumbernya dari CSR, entah dari mana saja.
Minimal di setiap kota ada 3 atau 4 rumah aman. Itu untuk menampung anak-anak dalam keadaan darurat seperti itu. Kalau mengandalkan pemerintah saja, nggak bisa. Mungkin dari rumah-rumah koruptor yang disita bisa dijadikan rumah aman.
Anda serius usulkan rumah koruptor dijadikan rumah aman?
Iya saya serius, kan banyak koruptor yang rumahnya di sita. Coba lah. Itu kan bagus ada kolam renangnya, untuk anak-anak kan senang begitu. Jadi cobalah kebijakan dari pemerintah pusat dan daerah untuk kepentingan yang terbaik untuk anak itu dikedepankan. kan cita-cita kota layak anak itu, harus ada rumah aman untuk anak. Di mana gratis.
Ini ada satu anak terlantar diurusi, tapi masih ada ribuan anak terlantar di jalanan didiamkan aja. Kok nggak gelisah sih. Kesadaran untuk melindungi anak ini belum tersentuh di semua level masyarakat. Termasuk di kalangan pejabat dan pengambil keputusan.
Konsep rumah aman ini seperti apa konsepnya?
Rumah aman itu harus rahasia. Jadi tidak bisa dicari alamatnya. Mengandung unsur perlindunga, sarana dan prasarana sampai pengasuhnya itu yang memahami hak anak. Bagaimana dikatakan rumah aman kalau pengasuhnya lebih judes dari ibunya. Di rumah aman sebesarnya anak-anak itu hanya tinggal selama beberapa saat saja. Penjagaan di sana harus ketat, nggak sembarang orang bisa datang.
Berapa dana yang diperlukan untuk bangun rumah aman?
Saya nggak tahu berapa harga rumah. Tapi paling tidak dalam bentuk rumah, bukan gedung yah. Relawan di sana harus berbentuk keluarga. Bukan relawan yang sementara. Mereka harus betul-betul profesional, mencintai anak, kreatif.
Negara mana yang sudah menerapkan rumah aman ini?
Inggris, Jepang, Swedia, dan masih banyak lagi.
Bagaimana usulan soal pencabutan hak asuh orangtua yang berbuat kekerasan kepada anak sendiri?
Iya memang seperti itu. Dengan UU Perlindungan Anak, negara itu melindungi anak. Jadi tidak bisa, jadi anak ini bukan hak orangtua, tapi hak anak untuk tumbuh berkembang dengan sehat. Kalau ada anak yang hidup di lingkungan orangtua dengan kekerasan, itu harus diselamatkan. Tidak bisa dibiarkan saja. Karena ini bukan hak dari orangtua. Kita bisa mencabut hak kuasa asuh dari orangtua kalau melakukan kekerasan.
Anak-anak kan butuh asuhan dari orangtua...
Bukan dari orangtuanya, tapi anak butuh asuh dari orang dewasa yang mencintai mereka. Ini bukan hubungan darah atau tidak. Kalau orangtua pelaku kejahatan yah nggak mungkin dong. Sekali pun anak-anaknya masih kecil. Sejauh anak itu bilang nggak mau tinggal sama orangtuanya, nggak bisa dipaksa itu. Mereka bisa diasuh sama panti asuhan, atau siapa pun yang ingin mengasuh. Nanti pencabutan hak asuh anak oleh pengadilan. Banyak yang sudah terjadi.
Media juga menjadi sorotan karena banyak yang menampilkan sosok anak korban kekerasan, Anda sependapat?
Media belum ramah anak. Saya selalu menyampaikan jangan sampai terjadi kekerasan untuk yang kedua kalinya terhadap anak yang dilakukan media. Berita ini seksi, tapi hormati hak anak. Makanya jangan banyak media datang ke rumah aman di Cibubur.
Takutnya ada yang numpang top. Makanya saya pernah datang tengah malam. Anak ini sudah korban kekerasan, jangan diekspose. Pemberitaan itu bisa membuat mereka stress lagi. Makanya media harus sementara mundur. Biarkan mereka menikmati masa tenang.
Bagaimana solusi jangka pendek untuk melindungi anak-anak dari korban kekerasan?
Segera bentuk Satgas Perlindungan Anak di setiap RT. Saya waktu itu kampanye di Jawa Timur, saya bilang sama Wakil Gubernurnya, coba jadikan Jawa Timur menjadi provinsi pertama yang seluruh di kabupaten dan kota yang RT/RW-nya punya Satgas Perlindungan Anak. Kata dia oke, tapi nggak tahu deh terjadi apa nggak.
Bupati Banyuwangi sama Jember juga katanya oke akan direalisasikan, sampai saya bilang kalau saya sanggup untuk membimbing, tapi belum ada. Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak juga perlu membuat buku saku saja soal inti perlindungan anak. Bagikan saja ke RT/RW. Tapi itu sekadar usulan saja.
Kalau dari sisi perundang-undangan, apakah ada yang kurang untuk melindungi anak?
Undang-Undang ini sudah sangat bagus. Tinggal implementasinya aja, jangan cuma sekadar wacana tingkat atas. Harus dibangun dari bawah. Republik ini akan bubar kalau kekerasan kepada anak tidak dihentikan. Jika tidak mereka akan tumbuh menjadi pemimpin yang penuh dengan kekerasan.
Apa dampak nyata dari seseorang yang di masa kecilnya hidup dengan kekerasan?
Saya mewawancarai anak-anak pelaku bulying, pelaku tawuran, anak yang membunuh temannya sendiri, itu semua adalah korban kekerasan. Khususnya pelaku bulying. Ayah galak, ibu galak, kadang dalam sebulan sekali itu ada anak-anak yang lari ke saya karena nggak betah di rumah. Mereka mau tinggal di rumah saya.
Untuk mencegah kekerasan anak di keluarga, bagaimana solusinya?
Palajari parenting, bagaiamana cara mendidik anak. Kita harus tegas, tapi tidak dengan keras. Saya di rumah, kalau malah hanya diam. Jadi anak nggak tersakiti hatinya. Utamakan dialog, bisa bekerjasama. Jangan berharap anak itu jadi penurut. Tapi yang bisa bekerjasama. Mendidik anak jangan menjadi bos, tapi jadikan anak sebagai sahabat.
Saya pernah diprotes, karena sedikit waktu untuk anak. Makanya sekarang saya kalau pergi harus ada izin dari anak-anak. Saya juga mempunyai jadwal kegiatan. Di hari-hari itu jadwalnya harus ada untuk anak-anak. Saya tulis di kertas.
Bagaimana melatih agar calon orangtua tidak mudah emosi?
Coba setiap pagi, berdiri di depan kaca dan tersenyum. Terus lakukan itu. Mulai hari dengan senyuman. Daripada cemberut, tegang, stress. Setelah itu kalau mau ngomel, ngomelnya bisa nggak sambil nyanyi. Di dekati dengan nada indah. Kalau anak diomelin, anak selalu melawan.