Suara.com - Jumat (1/5/2015) pukul 01.17 WIB dinihari istri Penyidik Senior KPK Novel Baswedan, Rina Emilda mengirimkan pesan lewat WhatsApp ke Pegiat HAM dan Anti Korupsi Usman Hamid. Isinya, Novel ditangkap Bareskrim Mabes Polri di rumahnya di Kelapa Gading, Jakata Utara.
Itu adalah kabar pertama yang membuat Usman dan teman-teman pendukung KPK bergerak. Tak lama, 23 menit kemudian Usman sampai ke Bareskrim Mabes Polri. Dia datang mewakili keluarga Novel. Namun Usman belum bisa menemui Novel.
Usman yang mempunyai hubungan dekat dengan Polri, dia menghubungi beberapa penyidik dan petinggi Polri. Di antaranya penyidik Bareskrim Kombes Daniel Tifaona, Kepala Densus 88 Urip Widodo, Kabaharkam Komjen Putut Eko Bayuseno, Kabaintelkam Komjen Djoko Mukti, sampai Kapolri Badrodin Haiti. Dia juga menghubungi Sekertaris Kabinet Andi Widjajanto.
Badrodin mengangkat telepon Usman. tapi Usman belum diizinkan masuk menemui Novel. Namun akhirnya di atas pukul 04.00 WIB, Usman dan pengacara dari YLBHI diizinkan masuk setelah bertemu Kabareskrim Budi Waseso.
"Saya tanya Novel, mau seperti apa ini perlawanannya? Tinggi atau berat, atau biasa aja? Fight mas tinggi. Hayok! Lawan. Berarti nggak ada kompromi kita, seluruh cara kita jalankan. Proses hukum kita hadapi dengan strategi hukum. Proses politik dengan cara-cara politik. Dan tentu konsolidasi gerakan," cerita Usman saat bertemu novel pertama kali setelah ditangkap.
Novel dijerat perkara yang terjadi 11 tahun silam. Waktu itu, ia dijadikan tersangka oleh Polres Bengkulu pada 1 Oktober 2012 atas dugaan penganiayaan seorang pencuri sarang burung walet hingga tewas pada 2004.Saat itu, ia menjabat sebagai Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bengkulu.
Usman Hamid bukan pertama kali berdiri di paling depan saat KPK dikriminalisasi. Peristiwa pengepungan KPK oleh belasan anggota Provost Mabes Polri akhir 2012 lalu untuk menjemput Novel, Usman ada di situ. Dia bersama pendukung KPK lainnya siaga di Gedung KPK.
Begitu juga saat Bambang Widjojanto ditangkap paksa Jumat (23/1/2015) lalu oleh Bareskrim, Usman ikut mendampingi Wakil Ketua KPK non-aktif itu. Bagaimana perlawanan Novel saat ini yang tengah mengajukan praperadilan? Dan apa cara ampuh untuk menghentikan kriminalisasi terhadap KPK?
Berikut wawancara suara.com dengan Usman Hamid akhir pekan lalu:
Bagaimana awalnya Anda bisa terlibat menjadi pengacara keluarga Novel?
Saya bukan pengacara keluarga. Tapi saat itu (Jumat, 1 Mei 2015) pukul 01.00 saya baru pulang ke rumah, buka sepatu, celana, sepatu, duduk di kursi untuk rebahan. Ada pesan pesan masuk dari Novel, oh ternyata dari istrinya Novel. Isinya Bang Novel baru ditangkap, minta bantuannya. Saya telepon dan istrinya cerita. Ya sudah saya langsung ke Bareskrim.
Saya tunggu sampai jam berapa gitu, ada Budi Waseso lagi wawancara dan setelah selesai saya datangi Budi. Saya dikasih akses datang.
Di tengah jam-jam itu saya banyak telepon pejabat tinggi di kepolisian. Pejabat bintang 3. Saya telepon semua, yang saya rasa perlu saya telepon. Saya telepon menteri juga. Kapolri angkat telepon jam 3 (pagi). Andi Widjajanto telepon balik jam 6-an. Saya kasih Novel suruh cerita. Andi bilang susun laporan ke Presiden yuk apa yang terjadi.
Saya bantu suarakan lewat media sosial, di Change.org. Galang dukungan. Saya tanya Novel, mau seperti apa ini perlawanannya? Tinggi atau berat, atau biasa aja? Fight mas tinggi. Hayok! Lawan. Berarti nggak ada kompromi kita, seluruh cara kita jalankan. Proses hukum kita hadapi dengan strategi hukum. Proses politik dengan cara-cara politik. Dan tentu konsolidasi gerakan.
Apa celah hukum yang menjadi pembelaan status tersangka Novel di Praperadilan nanti bisa dibatalkan?
Kalau celah hukum saya tidak bisa bicara karena ini bagian dari strategi kuasa hukum. Tapi kalau dasar hukumnya standar. Kita ditangkap dan ditahan dengan cara yang tidak sesuai dengan hukum acara, itu kan tidak adil.
Saat ini polisi sudah menyuntuh ke area politis, seperti berkomentar Presiden Jokowi akan diperiksa (dalam korupsi UPS di DKI Jakarta). Menurut Anda bagaimana?
Iya itu kan karena ada hubungan politik antara pelaku politik dengan orang-orang tertentu dalam kepolisian. Sehingga dia kepercayaan diri dan ada semacam keberanian diri untuk mengambil langkah-langkah sejauh itu. Kan bukan tanpa alasan yang disampaikan bahawa pernyataan seseorang, katakan lah Kabareskrim, bukan kapolri, itu mengambil sikap demikian.
Apa lagi kita tahu dalam pucuk kekuasaan, presiden dan wakil presiden kan terlihat sikap yang terbelah antara Jokowi sebagai Presiden dan Jusuf Kalla sebagai Wapres.
Indikatornya sederhana. Di hari Novel ditangkap, ketika Jokowi mengambil sikap agar Novel tidak ditahan, memerintahkan Kapolri melakukan itu. Jusuf Kalla datang ke Bareskrim Mabes Polri untuk sikap yang berbeda. Dia anggap masalah itu nggak ada, pengkapan itu bukan masalah, bagian dari proses hukum biasa yang harus dilanjutkan.
Dengan kata lain, dia tidak meminta Novel untuk tidak ditahan kan. Lanjut saja. Itu sikap yang beda sama sekali. Padahal sikap itu hanya bisa ada, kalau sikap Jokowi tidak ada. Dia mewakili apa yang tidak hadir, tidak dicerminkan, tidak ditunjukkan oleh presiden, atau dimintai oleh presiden untuk mewakilinya.
Kalau Jokowi minta Novel tak ditahan, bukan kah itu bentuk intervensi proses hukum?
Presiden kan tidak mengintervensi, tapi presiden memerintahkan bawahannya dalam situasi genting. Intervensi itu bisa beragam. Ada ke materi perkara yang tidak memiliki keraguan lagi dan dihentikan presiden.
Pada materi perkara (Novel) yang sebenarnya sangat diragukan dan itu menggangu kewibawaan pemerintah, dalam arti moralitas hukum yang ada di dalam tindakan-tindakan kepolisian. Sehingga presiden perlu mengambil tindakan itu. itu intervensi positif.
Dan legitimasi publik itu ada lho. Dia lahir dari keadilan yang tumbuh berkembang dinamis dalam masyarakat. Kenapa polisi tidak memiliki legitimasi di mata masyarakat? Kalau memang proses hukum itu memiliki landasan moral yang tinggi. Mengapa polisi justru mendapatkan perlawanan yang luas dari masyarakat? Kalau memang materi hukumnya nggak dibuat-buat dan murni sebuah pencarian kebenaran.
Apa alasan Anda mengatakan polisi mempunyai hubungan politik dengan pelaku politik?
Pergantian Kabareskrim dari Suhardi Alius, pergantian Sutarman dari kapolri, itu kan indikator-indikator dalam tafsir saya memiliki hubungan dengan proses politik yang berkembang. Apa kesalahan Sutarman? Pelanggaran sumpah jabatan? Apapun itu sebutkan. Nggak ada!
Mau pensiun....
Masih lama, Oktober. Terus ngpain Jenderal 4 bintang itu di Mabes Polri? Bayangkan Jenderal, masih aktif, masih lama (pensiun) dengan pangkat itu. Nggak punya jabatan apa-apa. Dan dalam proses yang cukup lama malah dipimpin oleh bintang 3. Proses yang janggal.
Kalau kita telusuri ke belakang kan jelas prestasinya Suhardi Alius. Kerjasama dengan KPK lakukan inspeksi mendadak. Sikap koorpertif seperti yang dilakukan Suhardi Alius tidak tampak dari sosok yang mengisi jabatan yang sama, yaitu Budi Waseso.
Tubuh polisi terbelah seperti ada polisi baik dan tidak baik. Apakah Anda punya peta, seberapa banyak petinggi kepolisian yang baik dan tidak baik itu?
60 banding 40, bisa jadi. Ini saya asal saja sebutnya. Tapi kan pucuk piramidanya merepresentasikan persentasi itu.
Polisi dekat dengan politik, sementara kasus kriminal seperti penghilangan UDIN, dan sebagainya tidak beres. Menurut Anda ada apa ini?
Ini kan tipikal polisi yang sedang menggeser diri dari alat politik kekuasaan, jadi alat keadilan. Jadi institusi keamanan menjadi institusi keadilan. Dari yang sangat pro pada penguasa, jadi yang pro atau setidaknya pada titik keseimbangan antara masyarakat publik dan penguasa. Nah bandul itu sangat ditentukan oleh integritas, kredibilitas dan sikap yang memegang pemain. Kan selalu naik turun dari jaman kepemimpinan Gus Dur (Abdurrahman Wahid), Mega (Megawati Soekarno Putri), SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), sampai sekarang.
TNI siap jadi penyidik KPK, menurut Anda?
Nggak lah, beresin dulu UU peradilan militer. Apa tentara itu penegak hukum? Dia alat pertahanan. Jadi harus dibedakan dalam transisi, polisi yang dulu instrumen security, sekarang ingin menjadi instrumen justice. Tentara dulu instrumen politik kekuasaan sekarang jadi instrumen pertahanan negara. Kita mau campurin lagi urusan itu? Yah berantakan semua. Tapi itu kan emosi sesaat aja. sudah lah kalau begini tentara ambil alih, begitu.
Memang tentara bersih? Memang kasus-kasus HAM itu beres? Memang reformasi peradilan militer beres? Nggak! Supermasi sipil jalan? Nggak!
Kepercayaan publik ke KPK kian turun, bagaimana untuk mengembalikan kepercayaan publik itu?
Ya partisipasi masyarakat. Karena UU Tindak Pidana Korupsi kan juga menunjukkan pra-syarat untuk pemberantasan korupsi dilakukan KPK yah melibatkan partisipasi masyarakat. Tanpa itu, lihat saja keputusan Ruki (Plt Ketua KPK Taufiquerachman Ruki) dan kawan-kawan. Menyerahkan kasus BG tanpa partisipasi publik.
Yang terjadi adalah kewibawaan merosot. Nggak terlalu peduli dengan bawahan. Waktu itu di acara 'Mata Najwa' dia ditanya, pak, novel dianggap sebagai polisi terbaik di KPK. Kata dia (Ruki) sudah lah jangan pikirkan Novel, masih banyak Novel-Novel yang lain. Nah, paham nggak dia masalahnya.
Novel mendapat dukungan terbesar di dalam tubuh KPK setelah Bambang Widjojanto keluar, Abraham Samad keluar, dialah (Novel) sebenarnya jantungnya KPK.
Sejauhmana kekuatan masyarakat di sosial media bisa berperan dalam melawan kriminalisasi KPK?
Itu yang sebenarnya tantangannya untuk menjawab itu bagaimmana? Sebagian yang utopian berkomentar teknologi bisa membawa positif berpengaruhnya sangat besar. Bisa sebegitu kuat dalam menghubungkan perhatian setiap orang di berbagai tempat yang beda dalam waktu yang berbeda. Untuk menyuarakan hal yang sama. Sebagian lagi yang distopian menganggap teknologi cuma alat, kuncinya di orang.
Apakah dalam kasus KPK ada? Saya lihat ada yang pesimis mau pun yang optimis. Termasuk orang-orang yang memanfaatkan media sosial, dan orang-orang yang merasa yang pesimis.
KPK dibela sebenarnya bukan karena institusi, tapi karena di dalam KPK itu tengah berlangsung niat yang serius membongkar kejahatan korupsi. Kalau itu terjadi dalam institusi polisi, pasti dukungan masyarakat ke polisi. Kalau itu ada di Kejaksaan Agung, pasti dukungan publik ke Kejagung. Jadi ini bukan bela polisi atau bela KPK. Tapi apa yang mau dibela dari KPK dan apa yang mau dibela dari polisi.
Jadi bagaimana cara terampuh untuk melepaskan kriminalisasi KPK?
Partisipasi publik saya rasa. Mungkin dalam bentuk Forum, Aliasnsi, Koalisi, petisi online semua bermanfaat. Tanpa partisipasi, sulit kita mendorong upaya pencerahan publik dalam memahai masalah dalam pemerintah. Tanpa partisipasi publik itu juga kita sulit mengontrol agenda pemerintah dalam bidang politik.
Jadi dari mulai perasaan skeptis, pesimmis, takut, diolah dan diubah di forum pencerahan itu di mana orang berdialog satu dengan yang lain. Dalam dialog tidak ada hirarki, pemimpin, semua sama. Sampai pada ketakutan itu berubahan jadi kemarahan dan kemarahan berubah jadi harapan. Itu lah yang sering kita lihat dalam aksi-aksi pro KPK.
Seperti apa sikap Novel untuk berjuang di praperadilan nanti?
Dia lawan. Nggak ada rasa takut. Dia nggak merasa bersalah. Keyakinan itu yang membawa dia untuk mengambil langkah yang sekaarang ini dibantu oleh kuasa hukum.