Suara.com - Provinsi DKI Jakarta menjadi sorotan karena praktik protitusi yang belakangan terbongkar. Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat menganalisis, mengapa prostitusi marak di Jakarta?
Terlebih prostitusi itu subur di kawasan elit seperti apartemen atau kos-kosan. Menurut dia, bukan persoalan moral dan ekonomi semata. Namun karena sistem sosial di Jakarta yang mulai luntur.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum mempunyai skema dan rencana pasti menyikapi banyaknya pekerja seks di Ibukota. Namun Djarot meyakinkan jika PSK di Jakarta akan dikendalikan. Supaya mereka tidak beroperasi di sekitar masyarakat.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama mewacanakan memberikan sertifikat untuk PSK sampai melokalisasi kawasan pekerja seks. Apakah ini rencana serius? Jika tidak, apa rencana DKI untuk mengendakan penyebaran PSK di Ibukota Negara?
Berikut wawancara lengkap suara.com dengan Djarot dalam beberapa kali kesempatan pekan lalu:
Dalam waktu dekat, apa yang dilakukan DKI untuk berantas prostitusi ini?
Dalam waktu dekat ini kita kan mengatasi persoalan yang tengah berkembang itu. Penyalahgunaan tempat kost, apartemen untuk prostitusi. Untuk tindakan pertama yah tadi, kita tata ulang. Kita tertibkan pengelola.
Khusus untuk apartemen, banyak apartemen yang tidak mau membangun atau membuat Rukun Tetangga dan Rukun Warga. Semisal di Apartemen Kalibata yang kemarin baru terungkap ada prostitusi. Tapi bukan di sana saja, banyak apartemen yang seperti itu. Hampir semua. Padahal ada ketentuan kawasan yang terdiri dari sekian keluarga itu dibentuk Rukun Tetangga dan Rukun Warga.
Dengan ada RT atau RW itu kan ada kontrol, ada pengawasan dari internal itu. Maka dari itu apartemen yang besar-besar itu butuh RT dan RW. Dan dengan cara seperti itu, aparatur pemerintahan dan kelurahan bisa terlibat aktif di sana. Kita bukan hanya mencegah prostitusi di situ, tapi kita bisa mendata siapa saja yang tinggal di situ. Jangan-jangan bandar narkoba di situ, pelacuran di situ, ini penting.
Jadi dibentuk RT dan RW di apartemen-apartemen yang berpenghuni tertentu. Kalau pun dia kecil, dia merupakan bagian dari RW sekitar, jadi semua terdata. Jangan sampai ada ekslusifitas pengolaan atau berpenghuni di apartemen-apartemen itu biar nggak lari ke mana-mana.
Kos-kosan?
Sama. Kos-kosan pun harus lapor yang menerima kos. Misal di rumah saya buka kos, ada beberapa orang. Jadi saya lapor ke kelurahan. Bahwa ada anak kos di sana. Kalau dia membangun, itu lain lagi. Harus ada izin lagi. Kan ada kos-kosan di rumah, ada satu bangunan untuk kos-kosan, atau satu bangunan khusus untuk disewakan. Itu beda lagi.
Lalu bagaimana untuk mengatasi prostitusi di Jakarta? Perlukah lokalisasi?
Itu debatable sekali. Kenapa enggak ada lokalisasi di Jakarta? Karena lokasinya banyak banget, hehehe.
Lokalisasi di Jakarta sempat digusur, itu menimbulkan masalah para PSK menyebar. Apakah tidak menjadi pertimbangan dibangun lokalisasi lagi?
Di mana? Kramat Tunggak? Kali Jodo? Memang tidak ada yang protes. Tapi memang para PSK lari ke mana-mana. Saya tanya sekarang, apakah dengan penutupan-penutupan itu, tidak akan ada prostitusi. Tetap ada kan?
Bagaimana kalau tempat lokalisasinya di luar pulau? Semisal di Pulau Seribu?
Kalau pun di Pulau Seribu, saya balik lagi bertanya, apakah itu solusi kemudian di Jakarta tidak ada prostitusi? Jadi persoalan ini semua, apakah ada lokalisasi atau penutupan lokalisasi ini kan sangat debatable. Tidak ada yang bisa menjamin itu.
Masalahnya prostitusi ini kan sudah ada sejak jaman purbakala. Setua dengan kebudayaan, budaya dari manusia. Sekarang upayanya bagaimana kita bisa mengendalikan ketika itu dan menekan itu. Kalau dari nilai agama, apapun selalulah itu haram, tidak boleh dan jangan ada.
Di luar soal nilai agama, apa tindakan konkret DKI untuk mengendalikan prostitusi secara menyeluruh?
Yang kami lakukan adalah mengawasi apartemen, kos-kosan, lingkungan di Jakarta. Kami berupaya jangan sampai ada penyalahgunaan kos-kosan atau apartemen untuk penyalahgunaan prostitusi terselubung, apalagi dengan prostitusi online.
Apa dampak terbesar dari prostitusi di Jakarta?
Kenapa HIV AIDS Jakarta itu tinggi? Bahkan nomor 3 terbanyak di Indonesia. Ini setelah Papua dan Jawa Timur. Kenapa? Ujung-ujungnya kan karena ada penyimpangan. Penyimpangan gaya hidup dan penyimpangan perilaku.
Mana yang paling berpengaruh, gaya hidup atau perilaku?
Nah terutama ini penyimpangan gaya hidup atau seksual ini. Ada biseksual, homoseksual, transeksual dan macam-macam. Ini menyimpang lho. Narkoba juga. Nah HIV AIDS itu kan. Nah upaya pencegahan dan warning. Sekaligus prostitusi ini kan upaya pencegahan.
Dan sekarang kau tahu, saya habis dari Kampung Deret di Tanah Tinggi, mereka sudah mulai mendata tempat-tempat kos. Ini kan terlihat, mereka terganggu kalau ada hal seperti ini. Jadi peran penting warga sekitar tengok kanan kirinya, ada yang enggak benar enggak? Ini akan kita upayakan dan galakkan terus. Jangan sampai ada disalahgunakan.
Soal wacana sertifikasi pekerja seks yang digulirkan Pak Ahok, apakah ini resmi dari pemerintah DKI?
Itu kan Pak Ahok menyampaikan. Di luar negeri PSK itu ada sertifikatnya, sertifikatnya sehat. Di Hong Kong yah. Itu sertifikasi itu yang menentukan.
Itu di Hong Kong, bagaimana kemungkinan diterapkan di Jakarta?
Ini masalah culture, sistem sosial. Masing-masing negara punya karakter. Kita harus memahami secara utuh itu. Social system, budaya masyarakat berbeda-beda. Mungkin yang di Jerman dan Hong Kong, mungkin ada di belahan lainnya. Itu beda lah.
Kalau pun diterapkan di Jakarta, itu bisa menekan jumlah pengidap HIV AIDS, karena ada sertifikat sehat. Mungkinkah diatur dalam Perda?
Terserah, terserah begitu apalah. Tapi sekali lagi bahwa di Indonesia itu ada sistem. Apa yang kita lakukan di sini kalau sistem sosial itu jalan. Kita bisa meminimalisir kok.
Apakah sistem sosial di Jakarta tidak bisa mencegah penyebaran prostitusi?
Belum, tapi kita bisa mengurangi dampak dan penyebaran itu. Misalnya pengawasan sosial yang ketat, ada RT ada RW.
Saya ingin cerita, dulu saya kos di malang, rumah saya di kos-kosan itu masuk dalam sistem sosial. Ada aturan, seperti bertamu, yang bukan suami istri tidak boleh masuk, siapa yang mengatur? Masyarakat sekitar. Nah nilai kelokalan inilah di kota besar seperti Jakarta ini sudah mulai mencair. Sehingga menjadi pola hidupnya individualistik, hedonistik, dan perubahan sangat luar biasa.
Anda 10 tahun jadi walikota Blitar, apakah ada pengalaman mengatasi prostitusi?
Blitar itu kan kota kecil yah, jadi pasti ada. Saya tahu ada prostitusi. Tapi tidak semarak di Jakarta. Tapi di sana tidak ada lokalisasi.
Apakah tertulis lokalisasi terlarang?
Enggak ada larangan. Kenapa? Karena kontrolnya. Kontrol masyarakat kuat. Jadi itu yang membuat praktik kayak gitu enggak berani muncul.