Sama. Kos-kosan pun harus lapor yang menerima kos. Misal di rumah saya buka kos, ada beberapa orang. Jadi saya lapor ke kelurahan. Bahwa ada anak kos di sana. Kalau dia membangun, itu lain lagi. Harus ada izin lagi. Kan ada kos-kosan di rumah, ada satu bangunan untuk kos-kosan, atau satu bangunan khusus untuk disewakan. Itu beda lagi.
Lalu bagaimana untuk mengatasi prostitusi di Jakarta? Perlukah lokalisasi?
Itu debatable sekali. Kenapa enggak ada lokalisasi di Jakarta? Karena lokasinya banyak banget, hehehe.
Lokalisasi di Jakarta sempat digusur, itu menimbulkan masalah para PSK menyebar. Apakah tidak menjadi pertimbangan dibangun lokalisasi lagi?
Di mana? Kramat Tunggak? Kali Jodo? Memang tidak ada yang protes. Tapi memang para PSK lari ke mana-mana. Saya tanya sekarang, apakah dengan penutupan-penutupan itu, tidak akan ada prostitusi. Tetap ada kan?
Bagaimana kalau tempat lokalisasinya di luar pulau? Semisal di Pulau Seribu?
Kalau pun di Pulau Seribu, saya balik lagi bertanya, apakah itu solusi kemudian di Jakarta tidak ada prostitusi? Jadi persoalan ini semua, apakah ada lokalisasi atau penutupan lokalisasi ini kan sangat debatable. Tidak ada yang bisa menjamin itu.
Masalahnya prostitusi ini kan sudah ada sejak jaman purbakala. Setua dengan kebudayaan, budaya dari manusia. Sekarang upayanya bagaimana kita bisa mengendalikan ketika itu dan menekan itu. Kalau dari nilai agama, apapun selalulah itu haram, tidak boleh dan jangan ada.
Di luar soal nilai agama, apa tindakan konkret DKI untuk mengendalikan prostitusi secara menyeluruh?
Yang kami lakukan adalah mengawasi apartemen, kos-kosan, lingkungan di Jakarta. Kami berupaya jangan sampai ada penyalahgunaan kos-kosan atau apartemen untuk penyalahgunaan prostitusi terselubung, apalagi dengan prostitusi online.