Guru kan banyak yang gaptek, murid itu canggih-canggih yah. Menurut saya harus ada semacam melek teknologi, komunikasi dialog guru dan murid. Tidak memperlakukan murid itu ada jarak yang jauh dengan murid. Nah mengurangi jarak, itu perlu.
Jadi dengan anak-anak ada dialog. Guruh tidak ditakuti, terlalu disegaji. Segan harus, tapi jangan berjarak. Kedekatan ini bisa mengurangi dampak negatif. Paling tidak anak curhatnya itu bukan di facebook, tapi sama guru atau temannya. Padahal bentuk-bentuk informasi kekerasan seksual itu kan sangat ungkin diintervensi sangat guru.
Saat ini guru dan murid ada gap. Guru saat ini polanya lebih banyak mengajar, bukan mendidik. Kalau mengajar itu kan text book. Harusnya mendidik dan mengajar itu harus berjalan seiring. Saya kira akan beda, gurunya bersangkutan dekat. Jangan hanya komunikasi soal pelajaran, tapi bagaimana dia bertukar pandangan. Termasuk tuntutan dalam berinteraksi dengan teman-tempannya.
Apakah media sosial bisa memancing perlakukan kekerasan dan pelecehan seksual pada anak?
Sebenarnya bisa secara langsung. Media sosial bukan hanya tulisan, tapi gambar, video dan sebagainya. Mereka bisa akses. Jadi tentang kekerasan itu, mereka belajar dari media sosial itu.
Agar anak tidak terpengaruh dampak negatif, siapa yang harus mengawasi?
Pertama keluarga, ini sangat penting. Bagaimana komunikasi anak dengan orangtua, di rumah kan dalam keluarga perkotaan, ayah ibunya sibuk kerja, itu intensitas terbatas, tapi kualitas dengan masing-masing gatget. Di rumah sih di rumah, tapi masing-masing dengan gadgetnya. Sehingga interaksi terbatas. Ini perlu warning untuk orangtua.
Saya yakin jika komunikasi anak dengan orangtua yang baik, dia masih merasa nyaman tinggal di rumah. Ada yang bisa diberikan contoh, keteladanan. Banyak anak-anak yang negerasi Alay, sebenernya kan dari komunikasi orangtua yang kurang dan kuurang kasih sayang, mereka cari pelariannya di luar itu di luar rumah.
Soal pengasuhan dan pengawasan orangtua. Megasuh tidak hanya membesarkan, tapi memberikan nilai-nilai kepada anak. Apa yang bisa dilakukan dan apa yang tidak boleh. Apa yang membahayakan dan apa yang tidak membahayakan. Nah yang kayak gitu kan, nilai yang menjadi perilaku dari keseharian mereka.
Ketika anak-anak paham soal itu, jika ditawarkan apapun dia tahu, saya nggak ikut ah. Kalau saya nggak ikut, saya masih punya teman. Nah itu kekhawatirannya. Mereka merasa kalau tidak ikut gabung ngk akan dapat teman. Misal kasus Bikini Party itu, klau mereka berpikir nggak ikut pun mereka punya teman, saya yakin ngk ada anak yang ikut. Karena lingkungan pergaulan, dorongan atau iming-iming dari iklan-iklan yang ditawarkan bisa mempunyai penasaran yang tinggi.