Dia akan memperhitungkan Indonesia sebagai kekuatan yang moderat, sebagaimana Turki. Modal kita Indonesia jadi negara muslim terbesar, tapi demokrasinya terkonsolidasi, berhasil. Anda lihat apa yang terjadi di Timur Tengah, di mana-mana demokrasi nggak jalan. Indonesia sudah melakukan pemilihan presiden langsung tiga kali. Artinya di sini, mitos bahwa Islam tidak bisa kompatibel dengan demokrasi, itu tidak benar.
Kita sudah buktikan bisa. Israel itu tahu. Seandainya kita bisa memainakn itu, bisa kita lakukan.
Kita bisa pengaruhi negara lain. Paling tidak Indonesia bisa berkata, jangan kamu menidas negara Palestina. Jangan kamu lakukan itu. Saya mengajak sahabat saya untuk menekan Anda lebih jauh. Atau mempengaruhi negara Asia-Afrika lain untuk menekan. Turki dan Mesir sangat baik dengan Indonesia. Tinggal bagaimana pemerintah melakukannya.
Selama 60 tahun KAA, sejauhmana negara Asia-Afrika ini berusaha tidak tergantung dengan Eropa dan Amerika?
Agar negara tidak tergantung terdapat dominasi barat itu, biasanya tidak tergantung pada ajang kolektif internasional. Tapi upaya individu. Contoh Jepang, Cina, Korsel. Jadi Indonesia jangan terlalu berharap mekanismenya kolektif ini membuat Indonesia naik kelas dan menantang barat. Nggak!
Misal, bagaimana Jepang bisa menantang Barat? Dia bangun sediri. Cina, dia jadi kekuatan dunia. Korsel, jadi negara industri baru. Itu usaha nasional. Jadi starting point itu di upaya nasional. Bukan internasional. Apakah negara naik kelas itu berdasar bantuan negara lain? Itu nggak. Jangka panjang dari dalam negeri. Cina butuh tiga dekade, India begitu.
Kebijakan luar negeri kita berangkat dari mindset, solusi ada di tingkat kolektif. Misal bagaimana kita gunakan ASEAN sebagai forum. Kita banyak mengajak negara lain dalam sebuah kebijakan. Padahal solusinya di tingkat nasional. Bagaimana Anda bangun itu dari dalam, politik, ekonomi dan sektor swasta. Itu minimal bisa dibangun dua dekade. Tapi Indonesia punya peluang.