Bagir Manan: Pers Dikriminalisasi, Nama Indonesia Tercemar

Doddy Rosadi Suara.Com
Senin, 09 Maret 2015 | 10:00 WIB
Bagir Manan: Pers Dikriminalisasi, Nama Indonesia Tercemar
Bagir Manan. (suara.com/Kurniawan Masud)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Majalah TEMPO dilaporkan ke polisi karena dalam laporan investigasinya mengungkap aliran dana dari rekening Budi Gunawan, calon Kapolri yang dijadikan tersangka oleh KPK.

Sebelumnya, Tribunnews dan Warta Kota juga dipolisikan karena mempublikasikan pembicaran dua wakil Ketua DPRD yaitu Haji Lulung dengan M Taufik di media sosial WhatsApp.

Ketua Dewan Pers Bagir Manan mengungkapkan, kemerdekaan pers dijamin oleh negara lewat UU Pers. Karena itu, semua masalah terkait produk jurnalistik harus menggunakan UU tersebut.

“Pers itu kan pranata publik yang multidimensi sehingga bisa terkena banyak hal. Karena itu dalam negara demokrasi, pers diberikan perlakukan khusus. Kalau kita ingin berdemokrasi maka suka atau tidak maka kehormatan pers harus dihormati,” kata Bagir.

Mantan Ketua Mahkamah Agung itu memberikan keterangan kepada suara.com di ruang kerjanya di Gedung Pers, akhir pekan lalu tentang kriminalisasi terhadap pers yang semakin marak terjadi serta tentang pers yang mulai partisan. Berikut petikan wawancaranya.

Pada 2015 ini, kriminalisasi terhadap pers kembali terjadi. Bagaimana Dewan Pers melihat fenomena ini?

Negara kan sudah sepakat untuk menjamin kemerdekaan pers karena itu reformasi sejak awal membuat UU Pers yang menjamin kemerdekaan pers itu. Untuk melindungi kemerdekaan per situ, selain pers sendiri berusaha melindungi dirinya, kita juga berusaha ke luar. Antara lain, Dewan Pers membuat MoU dengan Kepolisian dan Kejaksaan Agung serta membuat pedoman agar pers kita bekerja menurut aturan yang baik.

Tetapi pers itu kan institusi publik yang berlaku juga kaidah umum, mungkin kita berhasil menghindari delik pers tetapi kaidah umum yang dapat dikenakan kepada pers itu banyak. Contoh kasus Tempo, mereka mengenakan dengan UU Perbankan. Kita juga punya UU ITE dalam dalam UU KUHP masalah pencemaran juga masih berlaku.

Selama ini Dewan Pers menyepakati untuk membedakan perbuatan jurnalistik dan non jurnalistik. Kalaua ada pers yang memeras kami persilakan untuk dipidanakan. Tetapi kalau pers sudah memenuhi kaidah jurnalistik maka harus digunakan UU Pers. Dewan Pers meminta semua pihak untuk menghormati ini.

Dalam kasus Tempo apakah sudah ada kesepakatan bahwa polisi tidak akan menjerat dengan UU Perbankan?

Kami belum bertemu dengan polisi dan TEMPO juga belum diperiksa. Dewan Pers memang belum mengeluarkan sikap tetapi teman-teman PWI, IJTI dan AJI sudah mengeluarkan sikap soal kasus Tempo. Mudah-mudahan sikap yang disampaikan organisasi itu bisa ditangkap oleh teman-teman di mana saja.
 
Pers itu kan pranata publik yang multidimensi sehingga bisa terkena banyak hal. Karena itu dalam negara demokrasi, pers diberikan perlakukan khusus. Kalau kita ingin berdemokrasi maka suka atau tidak maka kehormatan pers harus dihormati. Karena kalau sudah adu kekuatan maka pers tidak bisa berbuat apa.

Itulah sebabnya pers dijamin oleh hukum. Kalau pers dikriminalisasi justru itu akan mencemarkan negara sendiri. Orang akan tercengang, katanya Indonesia negara demokrasi kok persnya dikriminalisasi.

Dewan Pers sudah melakukan MoU dengan Kepolisian, tetapi dalam kasus The Jakarta Post, polisi justru mempidanakan Pemimpin Redaksinya terkait karikatur. Kenapa hal ini masih terjadi?

Saya kira dalam kasus The Jakarta Post kasus itu tidak dilanjutkan lagi. Karena The Jakarta Post sudah melakukan koreksi dan minta maaf. Memang pihak yang menggugat itu beberapa kali ke sini dan juga ke polisi. Tetapi setelah kita beberapa kali berkomunikasi dengan polisi, saya kira kasus ini tidak dilanjutkan lagi.

UU ITE seperti ranjau bagi pers karena kerap dikenakan tuduhan pencemaran nama baik, terutama media online. Bagaimana pers seharusnya menyikapi UU ITE ini?

Saya selalu membedakan kewajiban internal dan eksternal. Kewajiban internal adalah menjaga agar pers menjalankan tugas sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar. Sedangkan ektsternal adalah menghormati prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Kalau dua prinsip ini sudah dijalankan dengan baik dan masih ada yang menganggap pers melanggar, tentu Dewan Pers tidak akan diam saja.

UU ITE banyak sekali yang mempersoalkan dan ada wacana yang ingin meninjau kembali. Saya katakana secara akademis begini, bisa saja UU ITE tidak pernah diubah tetapi tidak diterapkan. Itu yang sedang kita bangun termasuk dengan pihak pengadilan. Contohnya tidak ada kewajiban hakim untuk mendengarkan pendapat ahli pers. Tetapi sekarang hal itu sudah dilakukan.

Kita memang tidak punya MoU dengan Mahkamah Agung, saya termasuk yang tidak menginginkan MA terlibat dalam hal-hal seperti itu. Sebab prinsip-prinsip hukum untuk menjamin netralitas mereka. Lebih baik kita bangun dengan cara lain. Mereka kan sudah membuat Surat Edaran Mahkamah Agung.

Media online semakin tumbuh dan sebagian besar mengedepankan kecepatan dibandingkan akurasi dan keberimbangan. Bagaimana Dewan Pers melihat hal ini?

Kita sudah membuat pedoman media siber sejak dua tahun lalu. Media online itu bukan hanya persoalan di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia karena media ini tidak membutuhkan formalitas tertentu. Anda duduk sendirian, Anda bisa melakukan kegiatan media online.

Jangan lupa media online punya jasa besar karena kecepatannya itu, bisa melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan pers tradisional. Ketika Gunung Merapi meletus, yang pertama kali memberitahu hal itu adalah media online. Di satu sisi, media online memang kerap membuat kesulitan tetapi di sisi lain juga sangat diperlukan.

UU Pers sebagai lex specialist seharusnya bisa mengabaikan UU lain seperti UU ITE dan juga UU Perbankan. Seberapa kuat sebenarnya UU Pers sebagai lex specialist?

Saya termasuk tidak senang untuk menonjolkan UU Pers sebagai lex specialist karena itu menimbulkan perdebatan akademis. Ketika Anda menuntut UU Pers sebagai lex specialist, maka orang-orang perbankan juga akan menyebut UU Perbankan sebagai lex specialist.

Saya mendekati dari segi obyek yang diatur karena ini UU tentang pers mustinya UU itulah yang harus didahulukan kalau ada kasus pers. Kalau ada kasus perbankan maka UU perbankan yang harus didahulukan. Sama saja di militer, kalau ada militer yang melanggar maka UU yang harus dipakai tentunya UU yang mengatur tentang militer. Kita tidak perlu debat specaialist atau generalis, yang musti dilihat yah obyeknya.

Pascareformasi, media semakin bebas dalam membuat pemberitaan. Menurut Anda, apakah media di Indonesia saat ini sudah bebas dan bertanggung jawab dalam melakukan pemberitaan?

Bahasa saya begini, pers bebas yang banyak melakukan kesalahan masih jauh lebih baik daripada pers tidak bebas hanya karena tidak salah. Karena kesalahan itu hal yang manusiawi. Starting point saya seperti itu dalam melihat kebebasan pers sebagai elemen absolut dalam demokrasi.

Pers kita melakukan kesalahan-kesalahan, kita harus lihat kesalahan itu dari dalam dan luar. Dari dalam, pekerja pers itu kan longgar sekali siapa pun bisa dan juga persaingan bisnis. Dari eksternal, per situ kan refleksi dari keadaan, pers itu tidak bekerja di ruang kosong tetapi ruang yang berisi.

Ketika isi itu tidak mencerminkan kehidupan yang sehat maka sulit menuntut pers berbuat yang sehat. Pertama, pers bisa ikut tenggelam dalam situasi itu dan kedua pers bisa reaktif serta menjadi oposan. Kalau ada yang menganggap pers kebablasan berarti ada yang tidak senang dengan kelakukan pers.

Pak SBY pernah mengatakan bahwa dirinya diperlakukan tidak adil oleh pers. Lalu saya mengatakan, ini kan risiko Bapak dalam berdemokrasi memberikan kebebasan pers. Salah satunya adalah Bapak yang menjadi kritikan dan ternyata Pak SBY menerima argumentasi itu. Dan ada mekanisme kalau merasa dirugikan oleh pers bisa mengadu ke Dewan Pers.

Semakin banyak pers yang berafilisi ke politik, apakah pers seperti ini bisa menjalankan fungsinya sebagai pilar kelima dari demokrasi?

Memang kita mengatakan pers itu independen salah satu isi dari independensi itu adalah kebebasan untuk memilih dan bersikap termasuk sikap politik. Artinya pers di mana saja di seluruh dunia kalau ada peristiwa besar seperti pemilihan umum maka dia dapat berpihak pada calon mana saja asal prinsip jurnalistik tetap dijaga. Contohnya, pemberitaan harus berimbang, cek dan recheck, verifikasi dengan baik.

Sepanjang itu dilakukan maka kita tidak bisa melarang pers untuk berpihak. Ada yang berpihak karena masalah insidentil dan ada juga yang berpihak karena pers itu menjadi bagian dari pihak-pihak tertentu seperti pers partisan.

Pers partisan tidak bisa dilarang karena kita juga tidak bisa melarang suatu kekuatan politik untuk mempunyai pers. Intinya, pers partisan itu tetap harus tunduk pada azas-azas dan kaidah pers. Kalau tidak, kita akan tindak.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI