Menteri Yuddy: Wajar, Penghasilan PNS Naik Berlipat Ganda

Doddy Rosadi Suara.Com
Senin, 23 Februari 2015 | 10:00 WIB
Menteri Yuddy: Wajar, Penghasilan PNS Naik Berlipat Ganda
Yuddy Chrisnandi. (suara.com/Doddy Rosadi)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Dirjen Pajak yang baru akan menerima penghasilan Rp100 juta. Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Yuddy Chrisnandy mengatakan, penghasilan besar itu sesuai dengan tanggung jawab yang dipikul Dirjen Pajak dan anak buahnya.
Yuddy mengatakan, melonjaknya gaji para pegawai di Ditjen Pajak hingga tiga kali lipat dilakukan berdasarkan parameter tertentu. Apabila target yang diberikan tidak tercapai, maka mereka tidak akan menerima penghasilan besar itu.

Ditemui di ruang kerjanya pekan lalu, Menteri Yuddi mengungkapkan kepada suara.com tentang perlunya penghargaan kepada PNS yang mempunyai tugas dengan risiko tinggi. Salah satu penghargaan itu adalah menaikkan penghasilannya dalam jumlah yang cukup besar.

Setelah gaji PNS di Jakarta yang naik drastis, giliran gaji pegawai di Ditjen Pajak dinaikkan 3 kali lipat, bagaimana tanggapan Anda?

Diusulkan untuk dinaikkan. Karena dia memilikii target-target penerimaan yang besar, sehingga memerlukan extraordinary effort, wajar saja. Dia juga memiliki konsekuensi. Itu ada dua, gaji dan tunjangan. Kalau gaji kan sama. Eselon I, Eselon IV sama semua. Yang diusulkan dinaikkan adalah tunjangan kinerjanya, yaitu wajar. Kalau misalnya seperti KemenPAN-RB, tugasnya kan membuat regulasi saja. Tidak disuruh oleh Undang-Undang untuk mencari uang untuk pembangunan kan. Tapi bagaimana proses mengamankan pembangunan nasional, ketersediaan aparatur negara yang berkualitas.

Kalau Dirjen Pajak diberikan target dari Rp 900 triliun, jadi Rp 1.300 triliun, gede! Bagaimana dia bisa berhadapan dengan wajib pajak yang asetnya triliun-triliun itu kalau kemudian dia dipaksa dia dipaksa dengan pendekatan maksimal dengan pendapatan minimal? Nggak lucu dong kalau gaji dia Rp 10 juta-Rp 15 juta. Katakan lah, orang pajak ini Rp 10 juta-Rp 15 juta menghadapi konglomerat yang wajib membayar pajak yang triliunan. Kalau gaji dia Rp 10 juta-Rp 15 juta, kata wajib pajak 'udah kamu jangan ngurusin ini, nih saya kasih Rp 1 miliar'. Apa nggak kelenger? lepas dari kekuatan integritas seseorang apartur sipil negara, kalau setiap hari dipengaruhi materialistis dan pragmatis. Sementara dia tidak mempunyai basic yang mencukupi untuk kebutuhan hidupnya, kan target tidak akan tercapai.

Apa parameter kinerja itu?

Parameternya ada dong. Parameternya kelas jabatan. Nggak asal naik sekian pesen. Pemerintah ini kan memiliki sistem kepegawaian, sistem kepangkatan, sistem tugas dan ada kelas jabatannya. Orang ini sudah berapa tahun, instansinya apa, kelas jabatannya apa. Kalau 1-17 kelas jabatannya, semakin tinggi kelas jabatannya, semakin besar tingkat risiko tugasnya, semakin tinggi juga tunjangan kinerjanya kalau tercapai. Tunjangan kinerja ini ada kinerja institusi dan individu. Dan orang yang kerja di pajak, untuk mengumpulkan uang ratusan triliun. Ini untuk membangun poros maritim Indonesia, menciptakan ketahanan pangan, untuk membangun ribuan kilometer jalan-jalan baru, waduk, jembatan. Lah masa gajinya Rp 10 juta, Rp 20 juta. Sementara dia dituntut memasukkan uang triliunan.

Jadi wajar saja dengan effort yang seperti itu, apabila dia berhasil wajar dong dapat tunjangan kinerja yang lebih tinggi. Dan ada risikonya penghasilan dia, kalau tidak tercapai kan, nggak dapat segitu juga. Namanya juga tunjangan. Jangan kembali ke orang lain, eselon I Rp 15-20 juta, tapi kalau targetnya tercapai. Kalau 100 persen targetnya tercapai, masa dia capai target Rp 100 triliun dikasih Rp 100 juta saja. Wajar dong. Kalau dia dapat 80 persen, Rp 80 juta lah. Semacam bonus. Kalau tidak tercapai, tidak dapat.

Ini tidak menimbulkan keirian antar instansi?

Nggak ada, beda. Yang buat iri-irian itu kan polemik dari luar. Yang membuat masalah jadi rumit adalah ketidakpahaman terhadap latar belakang kebijakan dan pengetahuan terhadap sistem reward yang diberikan pemerintah. Kita ini punya sistem remunerasi, yang memiliki kelas jabatan. Dipikir naikkan gaji itu gampang? Ada prosedurnya.

Nah Dirjen Pajak ini kan akan meningkatkan pendapatan kita. Ratusan triliun, bagaimana mungkin dia memelihara motivasi kerjanya itu kalau tidak ada rewardnya.

Semakin besar tanggungjawab, semakin besar penghasilannya?

Iya dong. Risikonya besar. Wajar dong mereka dapat reward. Saya saja sebgai menteri nggak ngiri, gaji saya Rp 19,5 juta, gaji Dirjen Pajak Rp 100 juta. Saya nggak iri, wajar. Saya belum tentu mampu juga jadi Dirjen Pajak suruh ngumpulin uang ratusan triliun. Bagaimana caranya? Nggak mampu. Kalau ada orang yang mempolemikan ini, saya tantang. Dia bisa masukkan berapa keuangan negara. Kita bayar. Ada orang yang bisa masukkan target Rp 300 triliun 1 tahun. Rata-rata, Rp 25 triliun 1 bulan. Saya tanyang, separunya saja, seperlimanya saja. Saya tantang. Minta gaji berapa, saya selaku MemPAN-RB akan saya usulkan.

Kalau punishment-nya bagaimana?

Kalau tidak tercapai target, dia kan nggak dapat reward. Berarti dia tidak mencapai target, berarti dia nggak cocok di situ. Tinggal kita bisa ganti kapan saja pejabat-pejabat yang melanggar konsttusi. Kalau punishman kan terkait pelanggaran terhadap aturan-aturan konstitusi. Tapi kalau masalah pencapaian target, itu soal performen. Kita bisa evaluasi.

Bisa jadi Dirjen Pajak tiap tahun diganti?

Kita lihat nanti, kalau Pak Sigit ini kita lihat. Yang pasti semua pajabat dievaluasi secara berjenjang. (Doddy Rosadi/Pebriansyah Ariefana)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI