Denny Indrayana: Kasus BLBI Bisa Diterapkan Hukuman Mati

Laban Laisila Suara.Com
Senin, 26 Januari 2015 | 10:00 WIB
Denny Indrayana: Kasus BLBI Bisa Diterapkan Hukuman Mati
Mantan Wakil Menteri Hukum dan Ham Denny Indrayana. [suara.com/Laban Laisila]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Eksekusi mati enam terpidana mati pekan lalu langsung menuai protes. Para aktivis ham paling riuh mencerca pelaksanaannya, ada yang meminta penundaan sampai penghapusan dari undang-undang karena dianggap melanggar ham.

Sementara. kementerian Hukum dan Ham merilis kalau hingga kini masih ada 133 orang terpidana hukuman mati yang menunggu giliran dieksekusi, 62 diantaranya tercatat merupakan terpidana kasus narkoba.

Untuk soal ini Wakil Menteri Hukum dan Ham Denny Indrayana berpihak pada penerapan hukuman mati, hanya ada sederet syarat ketat yang mesti dilkukan mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi, yang sialnya justru belum dilaksanakan, kendati sudah diputuskan sejak 2007 lalu.

Denny yang kini hanya aktif mengajar di UGM menyebut, eksekusi hukuman mati adalah pilihan alternatif dan tak perlu dilakukan buat orang yang sudah taubat di penjara.

Tapi hukuman ini tak perlu dihapus dan hanya digunakan buat kasus narkoba dan korupsi. Salah satunya, kasus yang mesti didakwa dengan pasal hukuman mati adalah penyelewenangan dana BLBI.

Berikut wawancara suara.com dengan Denny Indrayana.

Kenapa Indonesia masih mempertahankan hukuman mati?

Realitasnya politik legislasi kita masih menyepakati hukuman mati, jadi kalau kita tarik ke apakah ini aspiratif, ini masih debatable. Tapi faktanya orang-orang masih menyetujui hukuman mati kecuali teman-teman yang bergerak di bidang ham ya.

Tentu ini dugaan dan mesti diafirmasi dengan penelitian yang serius lagi. Tapi kalau kita masik ke ideology agama Islam juga mengatur tentang hukuman mati.

Kalau pandangan anda sendiri gimana?

Saya membaca baik soal putusan Mahkamah Konstitusi yang ideal. Hukuman mati sebagai satu alternatif itu ngga apa-apa dalam satu aturan.

Sebagai alternatif hukuman pidana menurut saya dia ada di undang-undang oke. Tapi pada saat penerapannya harus selektif seperti yang disebut MK dalam putusan nomor 2 dan 3 pada 2007. Yang mengatakan baiknya hukuman mati itu khusus dan alternative, jadi dia dijatuhkan kalau memang kejahatan yang luar biasa. Jadi bisa dihukuam percobaan dulu, kalau ngga ada kebaikan baru dieksekusi.

Tapi kalau dalam 10 tahun ada perbaikan, maka bisa diubah seumur hidup atau 20 tahun. Menurut saya itu ruang yang tersedia.

Saya pernah diminta menjadi saksi ahli, saya bilang kalau saya menolak hukuman mati, tapi saya setuju untuk kasus narkoba dan korupsi masih membuka ruang untuk dilakukan.

Kalau ada yang bilang tidak efektif itu bisa jadi, tapi hukum juga harus antisipatif. Bisa saja ada pengedar yang sudah jelas divonis mati malah tambah melakukanya di penjara, kata Freddy Budiman.

Tapi sejak 2007 belum ada putusan MK itu yang dipraktikkan lho..

Sekarang belum bisa dilakukan karena memang belum diatur. Artinya politik hukum kita ke depan harus diperbaiki. Dan itu sudah masuk Rancangan KUHAP sesuai dengan putusan MK.

Selain grasi yang dianggap pintu terakhir, adakah jalan lain terpidana menghindari hukuman mati?

Tentu jalan hukum lain ada, grasi hanya salah satu cara saja. Banding sampai PK. Tapi kekhususannya itu belum diatur. Sekarang semua urusan alternatif itu baru hanya satu pintu, ya grasi itu.

Selama Anda menjabat di kementerian ada berapa banyak yang dihukum mati?

Terus trang saya lupa. Tapi yang saya ingat kasus teroris Imam Samudra dan Amrozi saat saya masih menjabat sebagai staff khusus presiden.

Sekarang menurut anda pemberlakuan selektif itu perlukan diberlakukan?

Yang dimaksud dengan selektif itu kalau acuannya MK itu ada empat.

Satu hukumannya secara norma khsuus dan alternatif. Kedua ada masa percobaan terkait tahun misalnya. Ketiga tidak dilakukan kepada anak yang belum dewasa. Keempat tidak dilakukan pada perempuan hamil atau pada orang yang sakit jiwa.

Itulah ukuran empat selektif yang mesti dilakukan. Jadi kalau semua upaya hukum dilalukan sudah mentok dan tidak masuk dalam keempat ini, maka ya sudah mesti diekskusi, kecuali ada bukti lain karena sekarang Peninjauan Kembali kasus bisa beberapa kali.

Dalam jenjang masa menunggu saat semua upaya hukum terpidana habis, siapa yang menentukan eksekusi dilakukan secepatnya?

Sebenarnya UU PNPS tahun 1964. Semua tata cara hingga mekanismenya semua diatur di situ.

Tapi kalau bicara kapannya, ya memang sepanjang dia sudah melaksanakan upaya hukum, pelaksanaannya terserah di jaksa.

Peran kementerian hanya menjaga prosesnya berjalan lancar. Beratnya lapas itu kan dinamika keamanan dan ketertibannya tinggi sekali. Teman-teman di lapas ada yang kontak saya kalau mereka bekerja keras untuk memendam reaksi.

Bisakah kementerian minta menunda waktu eksekusi karena alasan keamanan di lapas?

Kalau hanya sekedar bicara, bisa. Tapi sayangnya untuk menunda kementerian tidak punya kewenangan. Kita bicara hukum ini. Kalau minta semua orang bisa.

Biasanya kejaksaan tentu akan meminta restu dari presiden melalui kementerian, kalau presiden bilang laksanakan, ya harus.

Presiden punya kewenangan dalam konteks restu atau memang dia yang memerintahkan eksekusi?

Ya namanya juga hukuman mati, rata-rata semua orang minta keringanan lah.

Jadi jagalnya pelaksanaan hukuman mati itu presiden lewat restunya?

Kata kesempatan untuk meminta pengampunan memang ada pada presiden. Pardon itu ada di dia. Kepala negara itu punya kewenangan konstitusional.

Yang saya dengar, tapi saya belum punya kesempatan untuk mengkonfirmasi, Habibie shalat istiqarah saat hendak memutuskan hukuman mati. Dan yang saya dengar, dia menolak karena menganggap hiduo dan mati ada di tangan Tuhan.

Sehingga ya semua permohonan dan politik dan hukum dia pada saat itu mengubulkan semua grasi.

Itu setiap pemimpin punya pendekatan berbeda. Kalau SBY beda juga.

Anda membacanya perbedaan antara SBY dan Joko Widodo gimana?

SBY dengan berbagai pertimbangan itu mengambil moratorium, tapi ada kecualinya yang memang berat seperti teroris pasti dieksekusi.

Contoh yang diberi grasi itu kasus Olla (terpidana narkoba) yang menjadi seumur hidup.

Jadi SBY kelihatan memeperlihatkan kalau bisa menghindari hukuman mati, dia akan memberikan pengampunan.

Presiden Jokowi di sisi lain, kalau untuk narkoba kelihatannya dia mengambil garis untuk eksekusi walapun dia mengatakan itu putusan pengadilan padahal dia punya garis dan kewenangan untuk mengampuni.

Politik hukumnya sepertinya dia akan menyatakan perang terhadap narkoba lewat hukuman mati.

Hukuman mati dianggap tak punya dampak terapi kejut, apa ukurannya kira-kira?

Ada penelitian yang menyebut kalau hukuman mati tidak ada dampaknya, tapi bagi saya sesedikit apapun itu membuat gentar lah.

Kasus korupsi misalnya kenapa tidak ada efek kejut, karena kasus yang ditangani KPK tidak ada yang sesuai dengan Pasal 2 (UU Korupsi).

Ad beberapa syarat dalam dakwaan untuk menggunakan pasal ini. Yakni korupsi dilakukan di daerah bencana, misalnya dana bantuan tsunami Aceh dikorupsi.

Kedua korupsi saat krisis ekonomi, seperti kasus penyelewengan dana BLBI kalau sampai terbukti, pasal hukuman mati bisa diterapkan tuh. Tiga adalah residivis kasus korupsi yang melakukan berulang-ulang, ngga kapok-kapok.

Pasal itu memang sudah digunakan tapi belum ada yang memenuhi kriteria itu.

KPK sekarang sudah mulai masuk ke kasus BLBI di zaman Megawati, mangkanya pada takut. Yang menerima memang banyak yang sudah kabur, tapi yang memberi dan membuat keputusan masih ada di Indonesia.

Kalangan pegiat ham protes soal ini, tanggapan Anda?

Argumentasi MK yang mengatakan ada hak hidup yang dijamin Pasal 28 i itu, adalah hak yang tidak dapat dicabut adalah perspektif pelaku tindak kejahatan. Sisi lain ada perspektif korban nbarkoa dan terorisme dan keluarga, mereka juga punya hak hidup.

Jadi kalau aktivis ham bicara hak hidup, mereka sedang berbicara soal hak pelaku, lalu bagaimana dengan hak hidup para korban?

Menurut persepektif MK, karena si pelaku sudah merampas hak hidup orang juga, negara lantas jadi menjadi punya  alasan untuk mencabutnya.

Bagaimana jika ada terpidana mati yang sudah dieksekusi ternyata ketahuan tidak bersalah. Apa implikasi hukumnya karena bisa saja hakim membuat kesalahan?

Yang jelas, yang mati sudah tidak bisa hidup lagi. Tapi harus ada ruang buat keluarganya untuk meminta keadilan dan menuntut perdata. Selanjutnya meminta rehabilitasi nama baik.

Putusan MK tentang hukuman mati yang terbaru ini menggambarkan dengan jelas, bagaimana persoalan hukuman mati itu persoalan rumit. Persoalan yang dijamin tidak akan berujung.

Dari sembilan hakim MK hanya lima yang menolak mengabulkan menghapus hukuman mati, sisanya empat menyetujui. Dan berakhir dengan menyatakan hukuman mati tidak bertentangan dengan UUD. Ini adalah putusan yang paling panjang 487 halaman.

Memang kecenderungan dunia, sekitar 80 persen negara menolak hukuman mati, tapi ada negara yang tetap diaturan ada hanya tidak dilaksanakan, tapi ada juga yang dilaksanakan seperti Indonesia.

Indonesia dianggag melakukan standar ganda soal praktik hukuman mati, saat ada WNI yang mau dipancung di Arab Saudi kita protes keras, bagaimana menurut Anda soal ini?

Bahwasanya kita melakukan pendampingan kan memang bisa begitu toh. Masa ada pemerintah yang warga negara akan dihukum mati tidak memberikan pendampingan hukum .

Nah pertanyaannya bagaimana jika ada WNI yang terbukti melakukan kejahatan. Contoh narkoba, mestinya kita juga jangan mencak-mencak kalau dia dieksekusi di sana.

SBY dititik tertentu pernah didorong meminta pengampunan bagi TKI. Tapi dititik lain harus tidak memberikan pengampunan. Ngga fair kalau giliran meminta boleh, memberi pengampunan jangan. Itu tantangan presiden.

Ini hanya tantangan diplomasi kementerian luar negeri untuk menjelaskan persoalan dalam negeri sehingga politik hukum kita yang sekarang mengarah pada eksekusi, ketimbang moratorium (penundaan). (Laban Laisila/Doddy Rosadi)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI