Suara.com - Dunia sempat mengecam Indonesia ketika terjadi proses pencarian jenazah penumpang AirAsia QZ8501 yang jatuh di Sela Karimata, Kalimantan Tengah. Ketika itu, salah satu stasiun televisi menyiarkan gambar jenazah yang tengah mengapung di laut.
Tayangan tersebut bukan hanya menuai kecaman dari dalam negeri tetapi juga dari dunia internasional.
KPI Pusat mencatat, banyak pelanggaran yang sering dilakukan oleh stasiun televisi ketika memberitakan musibah pesawat AirAsia. Pelanggaran yang paling sering adalah melontarkan pertanyaan yang justru bisa menimbulkan trauma bagi keluarga korban.
Pekan lalu, suara.com berbincang dengan Komisioner KPI Pusat, Agatha Lily di ruangan kerjanya tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh televisi swasta saat memberitakan musibah jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501.
Bagaimana evaluasi KPI Pusat terhadap pemberitaan stasiun televisi terkait jatuhnya pesawat AirAsia sejak hari pertama hingga sekarang?
Sejak muncul berita AirAsia hilang kontak hingga sekarang, relatif pemberitaannya semakin membaik. Memang ada titik yang paling kritis ketika mulai dilakukan evakuasi korban. Mulai dari berita awal hilang kontak sampai evakuasi korban, menurut pantauan KPI banyak sekali pelanggaran dan hal-hal yang tidak etis yang diangkat oleh lembaga penyiaran di ranah publik.
Pelanggaran seperti apa yang sering terjadi?
Contohnya wawancara, ada TV yang melakukan wawancara dengan pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu dan tidak substansial. Justru pertanyaan itu bisa membuat luka atau menambah penderitaan bagi keluarga korban. Saya kasih contoh pertanyaan yang tidak perlu, Bagaimana perasaan ibu, ada berapa keluarga ibu yang ada di dalam pesawat, siapa saja, tujuan mau ke mana. Ini kan pertanyaan yang tidak perlu dan tidak substansial. Ada juga TV lain yang bertanya seperti ini, Sebenarnya apa sih yang ibu harapkan dengan menunggu di crisis centre. Ada lagi pertanyaan yang agak konyol misalnya, ternyata kerabat ibu adalah tour guide alias tour leader, betul ibu? Kan ini tidak perlu ditanya. Ada lagi yang lebih parah lagi, ada wartawan TV yang bertanya, ada nggak yang ingin ibu sampaikan kepada kerabat ibu yang ada di dalam pesawat itu. Ini buat KPI jadi catatan, kok ada yah wawancara seperti ini untuk program jurnalistik, ini kan sebuah kemunduran.
Lalu, apa yang dilakukan KPI Pusat terkait pelanggaran-pelanggaran tersebut?
KPI sudah mengeluarkan surat imbauan ke semua stasiun TV. Isinya, hati-hati dalam melakukan wawancara, harus berempati dan jangan menambah penderitaan keluarga korban. Kita merujuk kepada P3SPS. Di situ dijelaskan bahwa dalam bertanya harus mempertimbangkan kondisi traumatik keluarga korban dan jangan membuat mereka semakin sedih atau terpukul. Intinya memperhatikan psikologis dari keluarga korban.
Apakah setelah ada surat imbauan tersebut, tidak ada lagi pelanggaran dalam pemberitaan seputar musibah AirAsia?
Satu hari setelah KPI mengirimkan surat imbauan, muncul proses evakuasi korban yang menjadi sorotan seluruh dunia. Bahkan Channel News Asia langsung meminta maaf ketika mengambil gambar dari TvOne yang menyorot jenazah yang mengapung di laut. Itu di luar negeri. Sementara di Indonesia ada yang meminta maaf tetapi hal itu tetap disiarkan terus. Saya berpikir ini adalah sebuah kemunduran jurnalistik di Indonesia. Pertanyaan yang mendasar adalah apakah program jurnalistik di Indonesia begitu tidak beretika dan tidak berperikemanusiaan dengan menayangkan visual jenazah tersebut. Bayangkan kalau itu adalah keluarga kita, kakak kita atau ibu kita. Itu membuat orang semakin terpukul, tetapi itu justru dieksploitasi dengan dalih eksklusivitas.
Saat ada sejumlah TV yang menayangkan gambar jenazah penumpang AirAsia yang mengapung di laut, apakah KPI mengeluarkan surat teguran?
KPI langsung memberikan sanksi kepada TVOne. Kemudian kepada dua TV lainnya juga diberikan sanksi yang lebih ringan. Karena, durasi tayangan jenazah di TVOne jauh lebih lama yaitu 10 menit. Sedangkan dua TV lainnya sempat memburamkan gambar tersebut dan hanya beberapa detik yang tidak sempat diburamkan. Sanksinya adalah peringatan tertulis untuk dua TV tersebut sedangkan untuk TVOne juga peringatan tertulis dan juga kecaman keras.
Seperti apa sebenarnya kekuatan dari sanksi yang dikeluarkan KPI Pusat ini?
Kami sebenarnya ingin jurnalisme yang ada di Indonesia semakin beradab dan beretika serta berperikemanusiaan. Sanksi ini harusnya menjadi pembelajaran. Kemudian soal permintaan maaf, itu memang perlu dan harus dilakukan tetapi bukan berarti dengan permintaan maaf itu maka menghapus semua yang sudah tersiar. Ada juga yang bertanya, TVOne kan sudah minta maaf tetapi kenaka KPI Pusat masih tetap memberikan sanksi? Bukan berarti dengan minta maaf maka menyelesaikan masalah. Satu lagi yang perlu kami ingatkan bahwa industri media ini adalah industri kredibilitas. Sekali menampilkan berita yang tidak akurat atau program yang tidak layak untuk publik, masyarakat bisa memberikan hukuman.
Ketika KPI Pusat memberikan sanksi, apakah stasiun televisi juga diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan diri?
Kecuali sanksi penghentian program dan pembatasan durasi, stasiun televisi memang tidak diharuskan untuk melakukan pembelaan diri. Tapi kalau mereka menjawab pun kami akan menerima. Buat kami, mudah-mudahan sanksi ini diterima. Kita meminta mereka kembali ke hati nurani masing-masing, pantas tidak sih gambar seperti itu disiarkan.
Pemberitaan stasiun televisi terkait musibah AirAsia dibandingkan musibah lainnya apakah semakin membaik?
Justru yang terjadi adalah sebuah kemunduran. Pertanyaan saya apakah memang jurnalistik di Indonesia sudah tidak beretika dan tidak berperikemanusiaan. Kalau yang dulu-dulu tidak separah ini liputannya. Teknik wawancara dulu juga tidak terlalu bagus tetapi sekarang sepertinya semakin parah. Tetapi, ketika surat teguran dikeluarkan KPI, pemberitaan stasiun TV tentang musibah AirAsia memang lebih baik dibandingkan waktu awal-awal.
Apakah KPI juga bekerja sama dengan pihak lain untuk mengawasi pemberitaan stasiun TV tentang isi dari pemberitaan musibah AirAsia?
Kami sebenarnya mendapat bantuan dari Badan SAR Nasional di lapangan yang mengatur jurnalis TV agar tidak mengambil gambar yang teralu sadis. Tetapi saya bisa memaklumi kondisi Basarnas yang lagi mengevakuasi dan menolong korban mungkin tidak terpikir juga untuk mengawasi media. Tetapi ini seharusnya diatur agar media tidak bisa semena-mena mengambil gambar jenazah dari jarak yang terlalu dekat.
Bagiamana dengan Dewan Pers, apakah KPI Pusat juga melakukan koordinasi?
Itu rutin kami lakukan. Misalnya ketika terjadi bentrokan antarmahasiswa di sebuah daerah, boleh tidak berita itu disiarkan? Tapi yang tidak boleh adalah ketika mahasiswa yang membawa senjata tajam menyiksa musuhnya. Contoh lain, Satpol PP memukul pedagang kaki lima, boleh tidak diberitakan, tentu boleh tetapi pedagang kaki lima yang berlumuran darah itu tidak boleh disiarkan.
Bagaimana caranya agar ketika terjadi musibah di masa yang akan datang, televisi tidak mengulangi kesalahan yang sama?
Sebenarnya semua stakeholder terkait harus kompak termasuk pemilik TV karena mereka harus sadar bahwa frekwensi publik tidak bisa disalahgunakan. Ketua Komisi I DPR dan Menkominfo Rudiantara sempat mengatakan bahwa masalah ini harus diselesaikan secara bersama-sama. KPI Pusat tidak bisa terus menjadi Tom & Jerry bagi televisi, gebuk mana yang salah. Harus ada komitmen bersama dengan pemilik TV. Kalau teguran KPI itu kan setelah terjadi pelanggaran yang harus dilakukan itu kan mencegah agar tidak terulang lagi. Selama ini kan KPI sifatnya seperti pemadam kebakaran.
Agatha Lily: Pemberitaan Musibah AirAsia Tidak Berperikemanusiaan
Doddy Rosadi Suara.Com
Senin, 19 Januari 2015 | 10:00 WIB
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
BERITA TERKAIT
Libur Natal dan Tahun Baru, Ini 3 Destinasi Wisata di Indonesia yang Bakal Banyak Dikunjungi
12 Desember 2024 | 11:05 WIB WIBREKOMENDASI
TERKINI
wawancara | 07:00 WIB
wawancara | 20:27 WIB
wawancara | 14:44 WIB
wawancara | 14:42 WIB
wawancara | 12:22 WIB
wawancara | 15:10 WIB