Suara.com - Dua tahun Budhi Mulyawan Suyitno menjabat sebagai Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan pada periode 2007-2009.
Dia menemukan banyak keganjilan dalam carut marut pengurusan izin rute terbang maskapai di sejumlah bandara Indonesia, sampai akhirnya menggeser setidaknya tiga orang yang dianggap bertanggung jawab waktu itu.
Ini membuktikan memang soal pengurusan izin rute maskapai menjadi lahan basah di direktorat angkutan udara dan belaku menahun.
Budhi bukan hanya membuang orang tak becus, dia juga melakukan audit internal dan memperbaiki masalah soal pengawasan sehingga menaikkan peringkat penerbangan Indonesia di mata ICAO.
Baru-baru ini soal izin rute terungkap lagi sejak tragedi Pesawat AirAsia QZ8501 yang jatuh di Selat Karimata, Kalimantan Tengah.
Budhi Mulyawan bercerita kepada suara.com menurut pengalamannya, bahwa betapa ada persoalan yang tak pernah beres soal pengurusan izin rute hingga kini. Berikut wawancaranya:
Ada temuan AirAsia ternyata melanggar izin rute dan ada kabar pelanggaran terjadi sudah dua bulan, secara admnistrasi bagian mana yang bolong setahu anda dan bagaimana sih pengawasan soal ini di Kementerian?
Harusnya bukan cuma dua bulan yang dilihat, tapi paling tidak tiga tahun terkahir. Karena adanya IDSC (Indonesian Slot Coordinator) itu tiga tahun terakhir terbentuknya. Buka saja semua.
Nah tiga tahun terkahir itu adakah praktik seperti itu. Mesti ditanyakan ke Plt Dirjen. Karena waktu zaman saya ngga ada yang gitu-gitu. Nah kehadiran lembaga baru ini membawa best practice yang mengutamakan keselamatan penerbangan, atau malah sebaliknya bad practice.
Kalau ditinjau lebih dalam jangan-jangan Cuma dua bulan. Waktu summer schedule nya juga seperti itu. Dan sekerang ini yang terjadi adalah salah persepsi, seolah-olah dengan IDSC itu sudah menjawab semuanya.
Kalau disetujui di situ ya sudah ga perlu lagi ke regulator, padahal mestinya satu pintu. Ya regulator itu. IDSC hanya memfasilitasi untuk mengumpulkan masing-masing airline, ngga ada yang dirugikan dan diajukan ke regulator.
Bukankah memang jalurnya begitu, artinya IDSC hanya rekomendasi dan izinnya dari Kementerian?
Tapi kenyataannya mereka menganggap kalau sudah dari IDSC sudah kelar. Itu yang terjadi, salah persepsi, lah kenapa problem itu bisa berlarut-larut. Itu salah kaprah. Dia (maskapai) pikir komite yang akan mengurusnya bersama-sama.
Nah pihgak regulator kenapa alpa, mestinya kan ngecek setiap hari. Ada satu sistem pengawasan berlapis. Mengapa di otoritas bandara juga lolos, mengapa di stasiun Angkasa Pura lolos, mengapa di ATC juga lolos? Ada apa sebenarnya..
Anda mencurigainya ada apa?
Biasalah, kalau ditempat perizinan itu kan angker. Banyak setannya.
Aku jadi dirjen pertama kali langsung saya bersihkan direktorat itu karena laporan masyarakat begitu banyak. Saya lakukan penyidikan, masuk langsung minggu pertama. Itu berkaitan dengan izin. Dulu belum ada izin slot, tapi izin langsung sama flight approval.
Saya terjunkan PPNS, ketemu bukti-bukti saya pindahkan orangnya.
Ada berapa banyak terlibat waktu anda temukan?
Sebenarnya yang terlibat banyak, tapi ada yang sudah diputar. Nah yang sudah diputar selamat. Nah yang selamat waktu itu melanjutkan.
Jadi momentum kecelakaan ini sekaligus membuka kelemahannya di sisi regulator, sekalian saja diperbaiki, kemungkinan saja sudah terjadi sudah ada settingnya dari awal.
Tapi menteri perhubungan kali ini ngga mau tahu. Keselamatan ya keselamatan, at all cost mesti diutamakan. Jadi kalau ini sampai menganggu lebih baik diperbaiki semua.
Biang keroknya itu pangkalny diperizinan di regulatornya di direktorat jenderal perhubungan udara.
Karena yang penting mesti dicatat adalah bahwa industri penerbangan kita sedang tumbuh dan butuh pengakuan internasional.
Waktu tahun 2007 kan kita sempat di bann Uni Eropa setelah Adam Air, kemudian FAA downgrading dari kategori satu ke kategori dua. Kita harus minum pil pahit, jangan ditutupi terus. Banyak pihak yang nutupin.
Pada 2008 waktu kita mau adakan audit bandara, hasilnya tidak boleh diumumkan. Lima bdanra itu Denpasar, Sukarno-Hatta, Junda, Medan dan Makassar. Dari tiga elemen keselamatan, keamanan dan pelayanan dan tiga tiganya lemah. Cuma di Bali yang lebih baik.
Tapi waktu saya mau umumkan, saya ditentang. Ada lima lagi berikutnya.
Nah waktu itu responnya dari Angkasa Pura khususnya untuk Sukarno-Hatta adalah memperbaiki toilet, hahahaha.. itu true story
Anda kecewa?
Oh jelaslah, kaya gini toh Indonesia mau diajak baik susah. Ditutupin terus. Sampai akhirnya kita punya temuan ada 121 hal yang mesti diperbaiki.
Dan pihak ICAO dan Eropa semua pada khawatir. Indonesia itu negara besar seluas Eropa dan Amerika, koq ini penerbangannya amburadul, orang akan takur terbang di atas Indonesia.
Ibaratnya di atas Australia dan Singapura jalan tol, begitu masuk Indonesia jalan kampung.
Presiden ICAO mangkanya sempat datang pada Juli 2007 karena khawatir.
Setelah audit dua tahun harus kelar, rapotnya ternyata hasil audit di atas 90 persen. Rata-rata dunia kan sekarang sekitar 73 persen.
Saya jadi Dirjen 12 Maret 2007, dicopot 5 Maret 2009, dan di zaman itu tidak ada kecelakaan fatal dan itu diakui oleh Jasa Raharja karena tidak pernah ada klaim. Kecelakaan terakhir 7 Maret sebelum saya jadi dirjen.
Artinya ada degradasi pengawasan keselamatan di sisi regulator, karena yang diaudit ICAO itu sisi regulatornya. Dirjen perhubungan udara termasuk.
Modus yang digunakan untuk penyelewenangan soal izin rute oleh oknum di kementerian itu gimana sih?
Dengan munculnya persepsi berkepanjangan yang salah, pasti sudah terjadi sesuatu. Bahwa mereka saling pengertian. IDSC oke, maka semua oke.
Terlalu naïf kalau kita hanya melihat dua bulan ke belakang. Bilangnya dievaluasi tiap enam bulan. Lho buktinya kecolongan ini.
Itu sih bukan evaluasi, bagi-bagi rute. Bukan itu tugasnya. Kita mesti kembali ke kaidah keselamatan, yaitu patuh dan taat pada aturan keselamatan, serta setia pada standar keselamatan. Pegang teguh itu.
Siapa yang mesti pegang pertama? Regulator. Karena regulator alatnya adalah regulasi dan dia yang tahu duluan dan menerapkan akuntabilitas dan transparansi.
Nah apakah kalau ada yang kecolongan gini akuntabilitas dilaksanakan? Ini nyata ada sisi kelemahan di sisi regulator dan mulainya dari direktorat angkutan udara.
Dibenahi itu mestinya gimana?
Orang-orang yang tidak bisa dibenahi minggir! Ganti orang baru, mekanisme diperbaiki dan pegang teguh di regulasi.
Salah satu mekanisme yang diperbaiki adalah IDSC, pakah betul IDSC hanya merekomendasi atau sudah bertindak sebagai regulator dengan persetujuan, SK nya ada.
Anda mengetahui ada yang menerima suap soal izin di kementerian?
Kalau saya melihat langsung ya susahlah mas, tapi saya mencium baunya mangkanya PPNS itu diturunkan.
Ada yang terbukti?
Sebelum jadi dirjen itu saya jadi irjen dulu, mangkanya saya tahu laporan banyak sekali. Dan saya turunkan PPNS.
Misalnya kalau hari Minggu atau Sabtu kan ngga ada yang jaga di kantor, dia (maskapai) telepon kepada petugas yang masih di rumah minta flight approval, izin rute atau terbang dadakan. Sebetulnya sah saja karena ada formulirnya waktu itu. Tapi ada yang tak beres.
Kalau kasusnya AirAsia?
Tidak ada flight approvalnya (dadakan). Yang saya tahu tidak ada. Mestinya kalau mau mengubah mesti mengajukan, bukan hanya ke IDSC. Dia harus minta pengajuan dalam bentuk tertulis.
Itu kan hari minggu, semuanya mendadak.
Anda menggeser berapa banyak pejabat di direktorat angkutan udara waktu itu?
Ada tiga yang saya mutasi, ada yang saya pindah ke Makassar. Ada yang jabatannya kasubdit, karena direkturnya baru.
Jadi saya terus awasi saat mereka bikin bilateral aggrement. Saya harus ikut. Tidak boleh sendirian.
Jadi ada hubungan langsung antara sumberdaya manusia dengan tingkat pengawasan di kementerian dan industri penerbangan?
Ya jelas ada. Kelemahan pengawasan itu memang pangkalnya.
Industri penerbangan ini untuk domestik pertumbuhannya dua digit, 13 persen. Untuk luar negeri 11 persen. Tapi harus dilihat mampukah sumber daya melayani pertumbuhan ini.
ICAO sudah mengingatkan ‘hei slow down, sesuaikan dengan kemampuan anda’. Karena bukan dirjen lagi saya sampaikan ada permintaan dari ICAO ini tapi menterinya waktu itu lebih pecaya sama dirjennya.
Kita beralih sedikit, menurut pengalaman anda sebagai ditjen sebetulnya berkaitan dengan menara pengawas penerbangan, idealnya berapa banyak sih?
Sebenarnya pertama tiap sektor ada yang menagwasi sehingga saling mengingatkan.
Bandara Sukarno Hatta itu saat ini dalam satu jam ada 120 untuk take of dan landing. Jadi setiap setengah menit ada aktivitas. Padat sekali.
Dalam forum resmi sebetulnya sudah diingatkan agar tidak ada lagi izin untuk masuk ke Jakarta. Tapi jawaban dirjen waktu itu hanya ingin menggeser slotnya.
Perpindahan ke Halim bisa jadi solusi?
Halim juga punya kesibukan kapasitas dan yang penting prosedur. Kan ini masalahnya masih dipakai untuk pertahanan udara kita dan pesawat tempur.
Jadi sebetulnya ya regulator deh. Kalau industrinya kuat, tapi regulatornya jeblok, internasional tidak akan mengakui.
Sekarang bersihkan dululah regulatornya. Harus bersih dan kuat. Keselamatan itu tidak boleh ditawar-tawar dan tidak boleh ada kesalahan. (Laban Laisila/Doddy Rosadi)