Kang Yoto: Saya Menolak Membangun Rumah Ibadah

Laban Laisila Suara.Com
Senin, 29 Desember 2014 | 10:00 WIB
Kang Yoto: Saya Menolak Membangun Rumah Ibadah
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Dia enggan disapa dengan nama aslinya Suyoto. Bupati Bojonegoro, Jawa Timur, kelahiran 17 Februari 1965 ini, lebih senang dipanggil dengan Kang Yoto.

Di Bojonegoro, Kang Yoto menjadi bupati pertama yang berasal dari kelompok Muhammadiyah di daerah yang mayoritas NU.

Soal ini, dia pernah dan bahkan kerap dituduh tak akan bertindak adil. Tapi waktu membuktikan, Kang Yoto malah terpilih dan menjalankan periode pemerintahan yang kedua lewat pemilihan langsung, meski ancaman di depan mata.

Masalah intoleransi yang menjamur di Bojonegoro, termasuk penutupan rumah ibadah, dia selesaikan dengan jalan memutar dengan kewenangannya sebagai pelayan publik ketimbang memilih jalan pintas menggunakan SKB Menteri yang dianggapnya malah bisa bikin kacau.

Rasanya untuk bagian ini, pemimpin daerah di Jawa Barat perlu menirunya untuk menyelesaikan soal kasus intoleran.

Bercerita seputar masalah toleransi kepada suara.com, di sela kunjungannya ke Jakarta, dia sempat menitikkan air mata sejenak dan menghentikan wawancara, yakni saat dia bercerita pengalaman tangannya dicium oleh seorang perempuan Kristen.

Berikut wawancara dengan Suyoto yang berusaha menjadi bupati bagi setiap agama, bupati setiap suku dan bupati setiap komunitas di Bojonegoro:

Anda dikenal sebagai bupati yang mengedepankan toleransi di Bojonegoro. Seperti apa sih toleransi yang Anda praktikkan?

Histori Bojonegoro itu kan terfragmentasi secara kultural dan politik, etnik. Saya melihat bahwa polarisasi ini sangat tidak produktif untuk menyelesaikan masalah kemunduran dan keterbelakangan, masalah keterbatasan, termasuk menyelesaikan malasah lingkungan hidup.

Itu tidak bisa diselesaikan kalau masyarakatnya masih terbelah secara kultural.

Kita tahu akar problem di Bojonegoro itu tempat pertarungan antara Majapahit dengan Demak (kerajaan). Kemudian ada etnis Tionghoa yang datang dari lewat Lasem ke Bojonegoro. Belum lagi masalah banjir di 14 Kabupaten dan kemiskinan di Bojonegoro, karena 44 persen kawasannya hutan.

Nah hal itu membuat isu ketidakadilan publik menjadi tumbuh subur. Kemudian dipicu dengan isu etnis dan agama. Karena nya tidak ada pilihan lain, kami harus membangun rasa kasih sayang. Persoalan toleran adalah dampak selanjutnya, tapi spiritnya saling menyayangi.

Pernah ada masalah toleransi di Bojonegoro sehingga Anda punya kesulitan menangani?

Yang paling saya rasakan itu, ada sebuah gereja yang sudah jadi tapi tidak boleh dibuka. Itu jauh sebelum saya jadi bupati. Lalu setelah lima tahun setelah saya jadi bupati, baru gereja ini bisa digunakan.

Kenapa itu bisa terjadi? Karena menurut saya persoalan tempat ibadah itu dikaitkan dengan ketidakadilan ekonomi, sosial.

Saya menyadari, ternyata untuk menyelesaikan tempat ibadah, dimana masyarakat memberi izin, itu harus ada sesuatu yang fundamental. Yaitu pelayanan publik.

Ketika jalan rusak di semua tempat, orang kemudiaan menghubungkan hal itu dengan ketidakadilan pemerintah yang syarat dengan politik. Dikiranya pro pada kelompok tertentu. Maka ketidakpuasan itu dilampiaskan dengan pelarangan tempat ibadah.

Sementara saat saya ketemu teman Kristiani, ada satu desa yang non Muslim juga menyatakan hal yang sama. Mereka merasa karena minoritas jalan mereka tidak dibangun.

Saya terkejut saat ada acara Natal di gereja, tangan saya dicium ibu-ibu. Saya menangis, dan dia menangis. (Kang Yoto sempat terdiam sebentar menitikkan air mata)

Dia cerita, dan menyatakan terima kasih kalau jalan saya sudah dibangun. Padahal saya tidak memperioritaskan jalan di rumahnya. Yang saya lakukan adalah, jalan ini diberikan kepada seluruh warga, hanya kebetulan akhirnya menyentuh dia.

Ini kan hanya rasa keadilan saja yang menjadi pemicu dengan soal etnik dan agama itu yang bisa kemudian hilang.

Anda punya pengalaman pribadi soal toleransi kah dalam hidup Anda?

Saya ini terlahir sebagai orang Muhammadiyah. Pasti orang akan sulit mempercayai kalau saya akan berdiri di tengah publik. Orang akan mengira kalau saya, walaupun sudah sedemikian rupa menawarkan janji ke publik, orang ada saja yang tak percaya.

Bahwa akhirnya saya terpilih, itu artinya mereka memahami ada persoalan publik, walaupun saya harus menerima kalau ada yang berpikiran saya masih mencap saya berpikir golongan saya.

Saya tidak boleh marah, karena kalau saya marah maka saya ikut radikal juga.

Itu tantangan Anda yang warganya mayoritas NU, dan bagaimana warga bisa mengerti semangat toleransi yang Anda maksud?

Sangat muncul. Saya masih ingat saat awal kampanye kalau ada kampanye fitnah. Jangan pilih Kang Yoto karena orang Muhamadiyah.

Pasti Kang Yoto akan melarang tahlilan, nanti Kang Yoto akan memprioritas golongan Muhammadiyah. Justru saya tertantang untuk meyakinkan, kalau pejabat pemerintah itu adalah pejabat publik.

Background kami Muhammadiyah, anggap saja sekolah. Tapi bahwa ibarat kami ini supir bus umum. Sekolah kami bisa saja Muhammadiyah, tapi saat jadi supir bus umum, maka jadi milik semua.

Pada periode pertama kami, saya memperbaiki infrastruktur publik, jalan, sekolah, pertanian, dan kesehatan. Dan yang penting membangun birokrasi yang transparan dan akuntabel, supaya tidak tumbuh korupsi.

Ini kan sesuatu yang publik. Dalam bahasa santrinya “sabilillah”, tidak bicara komunal dan komunitas.

Saya sampai bilang, “apakah kalau Anda lewat jalan, Anda akan ditanya, anda Kristen, NU atau Muhammadiyah?” kan tidak. Sama juga saat pergi ke rumah sakit. Mau melayani KTP kan juga nggak. Orang mulai percaya perlahan.

Pada periode pertama, saya menolak membangun tempat ibadah, karena tempat ibadah itu bermakna komunal ketimbang publik. Ada yang lebih prioritas dair itu dan bermakna untuk semua, yaitu bangun jalan.

Tempat ibadah itu tidak diperbaiki saja masih bisa dipakai, dan apalagi menggunakan uang negara yang bisa mengurangi anggaran membangun fasilitas publik berkurang.

Nah bahasa inilah yang akhirnya bisa dimengerti. Orang bisa mengenal mana yang maksudnya komunal, private, publik dan urusan pemerintah.

Justru saat pada periode kedua, dimana saya terpilih tanpa legitimasi politik berlebih, saya malah membangun masjid untuk orang NU. Orang malah terkejut.

Disitulah kesempatan saya membangun pada periode kedua. Saya membutuhkan Ikon untuk kota yang berdampak religious sekaligus wisata dan bermanfaat buat warga.

Kami tertarik dengan cara Anda menyelesaikan kasus tempat ibadah, kenapa tidak menggunakan mekanisme SKB Menteri?

SKB, legal, itu kan bisa dibalik sesuai keinginan niat kita. Selama kita saling benci, aturan itu malah bisa menghantam kita koq. Tapi kalau kita sudah saling sayang, saling terima koq.

Siapa yang menginspirasikan Anda bersikap seperti ini?

Rakyat saya. Kesulitan dan tantangan, serta keinginan saya untuk menjadi bagian solusi mereka  itulah yang menginspirasi. Tidak bisa kita mengedepankan tindakan radikal. Tidak bisa kita mengedepankan rasa kebencian.

Di Jawa Barat marak sekali persoalan soal rumah ibadah, kasus paling terkenal itu soal GKI Yasmin, kalau di Bojonegoro bisakah anda mengidentifikasi berapa banyak kasus macam ini?

Saya bersukur Forum Komunikasi antar Umat Beragama (FKUB) berjalan baik. Justru ada biasanya malah persoalan internal.

Contoh soal antar Klenteng, sesama orang Konghucu, bukan antar umat beragama. Ini malah yang lebih sulit diidentifikasi karena bukan persoalan publik.

Pernah terima ancaman karena Anda dianggap terlalu toleran dengan agama lain, apalagi disebut bangun rumah ibadah belum penting?

Saya waktu itu saya malah dibilang kalau saya tidak pro agama. Kang Yoto ini tidak membangun agama.

Bahkan saya sempat diberi dalil, “siapa yang membangun masjid, akan membangun rumah di surga.”

Saya keluarkan dalil juga,” Siapa yang membangun jalan, jalannya akan dimudahkan masuk surga.”

Ancaman itu lewat mana saja?

Ancaman itu disampaikan di muka publik, termasuk diceramah masjid.

Awal saya sebelum dilantik, saat saya khutbah di masjid, saya dibilang: “Hei kamu ini orang Muhammadiyah, ngapain khutbah di masjid NU. Jangan sombonglah mentang-mentang baru kepilih sudah mau khutbah.”

Bagaimana Anda menanggapinya?

Saya terima sajalah masih ada orang yang berpikir seperti itu. Saya  tidak marah dan menyalahkan mereka. Tapi itulah realitas dan produk dari realitas selama ini. Itulah tantangan saya untuk membuktikkan kalau kita saling menyangi dengan perbedaan kita masing-masing.

Ini soal lain, catatan dosen senior di Massachusetts Institute of technology (MIT), Bojonegoro sempat masuk deretan kabupaten terkorup di Indonesia, tapi situasi mulai berubah pada 2011 dan 2012. Apa resepnya?

Mulailah dari diri sendiri. Saya hampir tidak pernah pidato soal korupsi. Saya hanya mengajak kawan saya untuk belajar baik dan benar. Bantu saya.

Saya ubah kulturnya menjadi terbuka. Orang korupsi ini karena kulturnya tidak terbuka. Karena itu saya buka dialog publik dan perevaluasi.

Saya coba memahami kalau orang pegang program , dia cenderung tidak terbuka maka ada peluang korpsi. Dari sana saya buat mekanisme, kalau kawan bisa mengevaluasi teman lain yang pegang program.

Termasuk juga soal rekomendasi mutasi atau promosi, temannya bisa ikut merekomendasikan. Dengan begitu dia bukan hanya loyal kepada atasan, tapi juga loyal kepada kanan dan kirinya dan dievaluasi oleh rakyat.

Tapi saya tidak munafik, masih banyak yang bolong-bolong. Saya termasuk yang selalu mengatakan ini bukan soal politik dan ekonomi, tapi kultur. Mau ganti siapa pejabatnya kalau modal dasarnya seperti ini ya sama aja.

Dulu katanya setannya ada di pusat, lalu dibuat otonomi, tapi sekarang malah banyak setan di daerah, dan malaikatnya di pusat. Bukan itu masalahnya, ini soal human capital dan sosial capital kita.

Dalam masa sisa waktu pemerintahan yang tinggal tiga tahun lagi, kira-kira ke depan apa yang akan Anda lakukan?

Saya ingin memantapkan enam pilar pembangunan Bojonegoro. Pilar ekonomi, pembangunan lingkungan hidup, pilar ketiga adalah human capital, fiskal dan membangun reformasi birokrasi, terakhir transformasi kepemimpinan.

Juga ada enam setan yang menjadi tantangan kultural, kami menyebutnya begitu, iri, tidak percaya pada proses, lebih suka instan, lebih suka percaya gossip, mental peminta. Setannya ada pada kami semua karena ini produk masa lalu. (Laban Laisila/ Doddy Rosadi)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI