Ini kan sesuatu yang publik. Dalam bahasa santrinya “sabilillah”, tidak bicara komunal dan komunitas.
Saya sampai bilang, “apakah kalau Anda lewat jalan, Anda akan ditanya, anda Kristen, NU atau Muhammadiyah?” kan tidak. Sama juga saat pergi ke rumah sakit. Mau melayani KTP kan juga nggak. Orang mulai percaya perlahan.
Pada periode pertama, saya menolak membangun tempat ibadah, karena tempat ibadah itu bermakna komunal ketimbang publik. Ada yang lebih prioritas dair itu dan bermakna untuk semua, yaitu bangun jalan.
Tempat ibadah itu tidak diperbaiki saja masih bisa dipakai, dan apalagi menggunakan uang negara yang bisa mengurangi anggaran membangun fasilitas publik berkurang.
Nah bahasa inilah yang akhirnya bisa dimengerti. Orang bisa mengenal mana yang maksudnya komunal, private, publik dan urusan pemerintah.
Justru saat pada periode kedua, dimana saya terpilih tanpa legitimasi politik berlebih, saya malah membangun masjid untuk orang NU. Orang malah terkejut.
Disitulah kesempatan saya membangun pada periode kedua. Saya membutuhkan Ikon untuk kota yang berdampak religious sekaligus wisata dan bermanfaat buat warga.
Kami tertarik dengan cara Anda menyelesaikan kasus tempat ibadah, kenapa tidak menggunakan mekanisme SKB Menteri?
SKB, legal, itu kan bisa dibalik sesuai keinginan niat kita. Selama kita saling benci, aturan itu malah bisa menghantam kita koq. Tapi kalau kita sudah saling sayang, saling terima koq.
Siapa yang menginspirasikan Anda bersikap seperti ini?