Kita tahu akar problem di Bojonegoro itu tempat pertarungan antara Majapahit dengan Demak (kerajaan). Kemudian ada etnis Tionghoa yang datang dari lewat Lasem ke Bojonegoro. Belum lagi masalah banjir di 14 Kabupaten dan kemiskinan di Bojonegoro, karena 44 persen kawasannya hutan.
Nah hal itu membuat isu ketidakadilan publik menjadi tumbuh subur. Kemudian dipicu dengan isu etnis dan agama. Karena nya tidak ada pilihan lain, kami harus membangun rasa kasih sayang. Persoalan toleran adalah dampak selanjutnya, tapi spiritnya saling menyayangi.
Pernah ada masalah toleransi di Bojonegoro sehingga Anda punya kesulitan menangani?
Yang paling saya rasakan itu, ada sebuah gereja yang sudah jadi tapi tidak boleh dibuka. Itu jauh sebelum saya jadi bupati. Lalu setelah lima tahun setelah saya jadi bupati, baru gereja ini bisa digunakan.
Kenapa itu bisa terjadi? Karena menurut saya persoalan tempat ibadah itu dikaitkan dengan ketidakadilan ekonomi, sosial.
Saya menyadari, ternyata untuk menyelesaikan tempat ibadah, dimana masyarakat memberi izin, itu harus ada sesuatu yang fundamental. Yaitu pelayanan publik.
Ketika jalan rusak di semua tempat, orang kemudiaan menghubungkan hal itu dengan ketidakadilan pemerintah yang syarat dengan politik. Dikiranya pro pada kelompok tertentu. Maka ketidakpuasan itu dilampiaskan dengan pelarangan tempat ibadah.
Sementara saat saya ketemu teman Kristiani, ada satu desa yang non Muslim juga menyatakan hal yang sama. Mereka merasa karena minoritas jalan mereka tidak dibangun.
Saya terkejut saat ada acara Natal di gereja, tangan saya dicium ibu-ibu. Saya menangis, dan dia menangis. (Kang Yoto sempat terdiam sebentar menitikkan air mata)
Dia cerita, dan menyatakan terima kasih kalau jalan saya sudah dibangun. Padahal saya tidak memperioritaskan jalan di rumahnya. Yang saya lakukan adalah, jalan ini diberikan kepada seluruh warga, hanya kebetulan akhirnya menyentuh dia.