Suara.com - Dia enggan disapa dengan nama aslinya Suyoto. Bupati Bojonegoro, Jawa Timur, kelahiran 17 Februari 1965 ini, lebih senang dipanggil dengan Kang Yoto.
Di Bojonegoro, Kang Yoto menjadi bupati pertama yang berasal dari kelompok Muhammadiyah di daerah yang mayoritas NU.
Soal ini, dia pernah dan bahkan kerap dituduh tak akan bertindak adil. Tapi waktu membuktikan, Kang Yoto malah terpilih dan menjalankan periode pemerintahan yang kedua lewat pemilihan langsung, meski ancaman di depan mata.
Masalah intoleransi yang menjamur di Bojonegoro, termasuk penutupan rumah ibadah, dia selesaikan dengan jalan memutar dengan kewenangannya sebagai pelayan publik ketimbang memilih jalan pintas menggunakan SKB Menteri yang dianggapnya malah bisa bikin kacau.
Rasanya untuk bagian ini, pemimpin daerah di Jawa Barat perlu menirunya untuk menyelesaikan soal kasus intoleran.
Bercerita seputar masalah toleransi kepada suara.com, di sela kunjungannya ke Jakarta, dia sempat menitikkan air mata sejenak dan menghentikan wawancara, yakni saat dia bercerita pengalaman tangannya dicium oleh seorang perempuan Kristen.
Berikut wawancara dengan Suyoto yang berusaha menjadi bupati bagi setiap agama, bupati setiap suku dan bupati setiap komunitas di Bojonegoro:
Anda dikenal sebagai bupati yang mengedepankan toleransi di Bojonegoro. Seperti apa sih toleransi yang Anda praktikkan?
Histori Bojonegoro itu kan terfragmentasi secara kultural dan politik, etnik. Saya melihat bahwa polarisasi ini sangat tidak produktif untuk menyelesaikan masalah kemunduran dan keterbelakangan, masalah keterbatasan, termasuk menyelesaikan malasah lingkungan hidup.
Itu tidak bisa diselesaikan kalau masyarakatnya masih terbelah secara kultural.