Suara.com - Anis Hidayah tidak akan pernah lupa aroma menyengat yang keluar dari bekas luka Nirmala Bonat. 10 tahun lalu, Nirmala Bonat yang merupakan TKI asal NTT disiksa majikannya secara sadis di Malaysia. Kasus ini bukan hanya diangkat secara besar-besaran oleh media nasional tetapi juga media internasional.
Kasus Nirmala Bonat merupakan awal dari perjuangan Anis Hidayah bersama LSM Migran Care yang khusus memberikan advokasi kepada buruh migran. Sejak kasus itu, Anis dan rekan-rekannya tidak pernah lelah untuk membantu buruh migran terutama di sektor informal yang mengalami berbagai masalah.
Pekan lalu, Anis Hidayah menerima penghargaan Yap Thiap Hiem 2014 atas perjuangannya yang pantang menyerah di isu buruh migran. Direktur Eksekutif Migran Care itu punya harapan besar terhadap pemerintahan Jokowi-JK untuk bisa memberikan perlindungan yang lebih baik lagi kepada TKI yang bekerja di luar negeri.
Dalam rangka memperingati Hari Buruh Migran Internasional yang jatuh pada 18 Desember lalu serta Hari Kebangkitan Perempuan Indonesia pada 22 Desember, Suara.com berbincang panjang lebar dengan Anis Hidayah, sosok perempuan yang mulai tertarik untuk mengadvokasi kasus buruh sejak bergabung dengan LSM Solidaritas Perempuan Jawa Timur.
Wawancara dilakukan di sela-sela acara yang digelar Migran Care di salah satu hotel di bilangan Jakarta Pusat, pekan lalu.
Kenapa Anda tertarik berkecimpung di dalam advokasi buruh migran?
Saya kuliah di Jember dan itu kawasan buruh sehingga banyak interaksi dengan teman-teman LSM yang bekerja di isu buruh. Kemudian saya juga ketemua dengan teman-teman LSM yang bekerja di isu buruh migran. Setelah saya mulai ketemu isu itu, kenal lalu menelusuri, saya seperti flashback, mestinya saya familiar tapi baru benar-benar tahu ada masalah itu ketika kuliah. Lalu saya mulai tertarik untuk mengadvokasi masalah buruk. Ketika itu, Solidaritas Perempuan yang merupakan LSM pertama yang mengadvokasi buruh tengah ekspansi dan buka cabang di beberapa wilayah dan salah satunya adalah di Jawa Timur.
Apa yang Anda dapat ketika bergabung dengan Solidaritas Perempuan Jawa Timur?
Saya belajar tentang bagaimana caranya mengadvokasi kasus buruh kemudian pengalaman saya di LSM itu saya jadikan bahan skripsi saya. Saya agak kesulitan untuk mencari bahan karena memang sedikit sekali literaturnya. Dosen saya juga sempat mempertanyakan tema dari skripsi saya itu. Ketika itu, pers kan belum sebebas seperti sekarang dan isu buruh migran juga belum seluas seperti saat ini.
Lalu bagaimana awal mula berdirinya Migran Care?
Setelah lulus kuliah saya melanjutkan studi lagi dan saya akan buat tesis tentang buruh migran. Ketika itu saya ke Jakarta untuk riset tentang buruh migran ke LSM Kopbumi. Selain riset saya juga bantu melakukan advokasi. Setelah diskusi setiap hari, muncul ide agar membentuk LSM buruh migran yang baru. Jadi, pada 2004 resmi berdiri Migran Care yang pendirinya saya, Mas Wahyu Susilo dan Pak Alex Ong.
Kasus apa yang pertama kali diadvokasi oleh Migran Care?
Kasus Nirmala Bonat, TKI asal NTT yang disiksa oleh majikannya. Kasus ini membuat provinsi NTT menjadi terkenal karena wilayah ini termasuk salah satu daerah yang paling banyak mengirim buruh migran ke luar negeri. Itu kasus yang sangat besar kala itu karena ekstrem penganiayannya, diangkat media nasional dan internasonal. Migran Care advokasinya ke Malaysia mengikuti sidangnya. Yang saya tidak akan pernah lupa ketika mendampingi Nirmala adalah bekas luka-lukanya itu masih tercium. 6 tahun proses hukum kasus Nirmala Bonat baru majikannya dihukum 12 tahun penjara dan tahun 2014 ini Nirmala Bonat baru mendapatkan kompensasi dari pengadilan Malaysia.
Apakah memang benar tempat penampungan TKI di Malaysia pada tahun itu benar-benar buruk?
Kami sempat ke sana dan memang tempatnya sangat kecil dan diisi oleh banyak sekali TKI. Hanya ada 3 kamar dan diisi oleh 300 TKI. Saya tidak tahan melihat itu dan akhirnya kami bikin konferensi pers di Malaysia dan itu membuat pemerintah sangat marah. Saya dipanggil Dubes RI di Malaysia Rusdihardjo dan dia marah-marah sambil bilang memang KBRI rumah sakit. Karena, ketika itu saya mengatakan tidak ada pelayanan kesehatan untuk TKI. Tetapi kemudian berujung pada reformasi secara bertahap karena dibuat penampungan yang lebih baik untuk TKI.
10 tahun sejak Migran Care pertama kali berdiri, apakah sudah ada perbaikan terhadap perlindungan kepada TKI?
Ternyata, sejak pertama kali menangani kasus Nirmala Bonat, kasus yang menimpa buruh migran itu selalu sama dan berulang. Sepertinya tidak ada upaya yang dilakukan pemerintah untuk mencegah hal itu kembali terjadi, melindungi buruh migran sejak awal berangkat. UU TKI yang ada juga sangat buruk dan reaktif serta tidak responsif. Contohnya kasus TKI yang terancam hukuman mati. Justru Migran Care yang tahu lebih dulu karena keluara mengirim surat kepada kami. Jadi,pemerintah tahunya justru dari kami.
Kasus apa yang paling sering dialami TKI?
Yang paling masif itu kekerasan terhadap pekerja domestik karena jumlahnya yang banyak lalu kebanyakan perempuan dan bekerja di sektor domestik yang tidak ada perlindungan hukum sehingga rentan sekali. Jam kerja tidak diatur dan tidak ada hari libur sehingga berpotensi terjadi eksploitasi oleh majikan kepada buruh. Berdasarkan laporan terakhir Global Slavery Index pada 2014, warga negara Indonesia yang menjadi korban perbudakan naik 300 persen dari tahun sebelumnya yaitu hampir 721 ribu. Indonesia masuk peringkat 8 dalam daftar negara yang menghadapi perbudakan.
Apakah bisa diartikan TKI yang bekerja di sektor informal sama saja menjadi budak?
Betul dan apa yang dialami mereka itu paripurna. Karena tidak hanya ketika sudah bekerja, sebelum mereka berangkat kan juga sudah dieksploitasi. Buruh migran itu menghadapi fase yang tidak dihadapi oleh para buruh di dalam negeri. Kalau teman-teman buruh lain hanya menghadapi problem di tempat kerja sedangkan buruh migran itu kan sebelum bekerja, ketika bekerja dan saat pulang. Jadi kekerasannya paripurna. Bahkan, sebelum jadi buruh migran, banyak dari mereka yang merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga.
Tenaga Kerja Indonesia sering menjadi korban penyiksaan di luar negeri, apakah tenaga kerja dari negara lain juga mengalami hal yang sama?
Sebenarnya kalau soal itu hampir dihadapi oleh seluruh Tenaga Kerja di sektor Pekerja Rumah Tangga karena itu sektor yang paling rentan dan tidak banyak negara yang punya legislasi yang komprehensif. Filipina sudah meratifikasi Konvensi Buruh Migran sejak 1995 sedangkan Indonesia baru pada 2012 dan belum diimplementasikan.
Apa sebenarnya masalah utama dari carut marut yang dihadapi TKI?
Satu, tidak ada komitmen baik dari pemerintah dalam menghadapi masalah ini dan kedua adalah penempatan buruh migran itu kan mafia dan negara terlibat. Banyak pejabat publik yang punya bisnis ini dengan mendirikan PJTKI.
Apa yang bisa dilakukan negara agar tidak ada lagi TKI yang disiksa di luar negeri?
Momentum sekarang itu kan ada pemerintahan baru jadi apa yang arus dilakukan adalah mengubah paradigm migrasi. Kalau dulu migrasi bisnis yang besar sekarang harus diubah yaitu bagaimana migrasi itu menjadi bagian dari pelayanan kepada publik dari negara yang murah sehingga tidak menggiurkan. Paradigma itu juga harus terwujud dalam kebijakan serta penegakan antikorupsi juga.
Wapres Jusuf Kalla berencana untuk menghentikan pengiriman TKI informal, apakah kebijakan ini menyelesaikan masalah?
Tidak, itu melanggar hak asasi manusia karena setiap orang kan berhak untuk bekerja. Kewajiban negara mestinya melindungi dan menjamin mereka. Bukan melarang mereka untuk bekerja. Ini kan sama seperti kalau ada perempuan diperkosa saat malam hari maka ada aturan perempuan tidak boleh keluar pada malam hari. Kan tidak begitu.
Anda baru saja menerima penghargaan Yap Thiam Hien, apa arti penghargaan ini?
Ini semakin menegaskan bahwa persoalan utama buruh migran adalah persoalan hak asasi manusia yang selama ini tidak pernah sekali pun saya mendengar otoritas dari pejabat di negeri ini mensinyalir ada penegakan HAM dalam isu buruh migran. Karena dalam 10 tahun terakhir isu buruh migran masih dianggap isu pinggiran. (Doddy Rosadi/Suwarjono)