Indra Sjafrie: Timnas U-19 'Dijual' oleh PSSI

Doddy Rosadi Suara.Com
Senin, 10 November 2014 | 10:00 WIB
Indra Sjafrie: Timnas U-19 'Dijual' oleh PSSI
Indra Sjafrie. (suara.com/Oke Atmaja)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sosok Indra Sjafrie mendadak menjadi buah bibir ketika anak asuhnya di timnas U-19 berhasil menjadi juara Piala AFF 2013. Indra adalah pelatih pertama dalam 22 tahun terakhir yang bisa mempersembahkan gelar juara bagi tim nasional.

Indra dan timnas U-19 sontak menjadi primadona baru di dunia sepak bola. Hampir setiap hari, media cetak, online dan elektronik mengupas kesuksesan timnas U-19. Evan Dimas dan kawan-kawan menjadi pelepas dahaga publik yang rindu terhadap prestasi sepak bola Indonesia.

Pekan lalu, PSSI memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak Indra sebagai pelatih timnas U-19. Alasannya, Indra gagal memenuhi target untuk membawa tim U-19 ke putaran final Piala Dunia. “Saya tidak pernah merasa gagal dalam menjalankan tugas sebagai pelatih timnas U-19,” kata Indra.

Dalam wawancara khusus dengan suara.com, akhir pekan lalu di ruang kerjanya di salah satu gedung di wilayah Jakarta Timur, Indra menceritakan suka dukanya selama menjadi pelatih timnas U-19 dan juga harapannya terhadap persepakbolaan Indonesia di masa yang akan datang.

Sepertinya anda tidak terlalu terkejut dengan keputusan PSSI yang memecat anda sebagai pelatih timnas U-19?

Ini konsekuensi dari kontrak, karena kontrak saya sampai OKtober 2015 kalau bisa membawa timnas U-19 lolos ke Piala Dunia, ini kan tidak lolos. PSSI akhirnya mengambil sikap untuk memberhentikan saya. Ada tiga target sebenarnya yang ditetapkan kepada saya. Target pertama adalah  juara Piala AFF, kedua lolos ke Piala Asia dan ketiga lolos ke Piala Dunia. Dari tiga target itu hanya dua yang bisa saya capai. Konsekuensi dari pelatih profesional kalau diberhentikan maka saya terima. Yang jadi masalah, gagal dan tidak gagal itu apa standarnya. Di mata PSSI saya gagal, tetapi di mata masyarakat saya dianggap berhasil. Ini yang menjadi polemik.

Anda sendiri merasa gagal?

Tidak, saya tidak pernah merasa gagal. Saya sudah mendidik 35 anak dan mengajari mereka cara bermain yang pas. Ada fungsi di tim yang belum berjalan, finishing dan defending yang belum bagus, saya akui dan itu saya laporkan. Kalau saya diberi kesempatan lagi, hal itu yang akan saya perbaiki.

Ketika PSSI memberhentikan anda, apakah anda tidak memberikan argument bahwa dari tiga target yang sudah ditetapkan, dua diantaranya sudah berhasil dicapai?

Saya sempat diskusi dengan beberapa orang, tetapi sepertinya PSSI sudah punya kesimpulan sendiri sebelum hal itu disampaikan kepada saya. Jadi saya dikasih tahu ketika belum ada rapat Committee Exercutive (Exco).

Setelah tiga tahun menjadi pelatih timnas U-19, apakah anda puas dengan kemampuan anak-anak yang anda asuh?

Tentu saja puas, dulu kan tidak ada yang kenal Evan Dimas dan juga Ravi Murdianto. Setelah main di timnas U-19, baru mereka dkenal. Kemampuan fisik mereka juga naik dari yang VO2 Max 52 kini sudah mencapai 63. Saya kan tidak pernah memberikan pepesan kosong. Membuat tim yang hebat itu tidak bisa dalam waktu singkat. Kalau kita bicara pembinaan itu ada tingkatan 6-12 tahun lalu 13-15 tahun dan 16-19 tahun. Setelah itu para pemain baru mengejar prestasi. Malam ketika saya resmi dipecat, saya melihat wajah anak-anak yang sedih. Saya merasa semua kegagalan politik dan juga ekonomi di negara ini dilimpahkan kepada timnas U-19 dengan cara lolos ke Piala Dunia. Memangnya kami ini penghapus dosa kegagalan di negara ini.

Menurut anda, PSSI ingin meraih sukses secara instan?

Saya tidak tahu soal itu, tetapi sepak bola itu kan tidak seperti membalikkan telapak tangan. Kan semuanya sudah dilakukan oleh PSSI sejak dulu. Pelatih dari langit saja yang belum dipanggil PSSI. 22 tahun tidak pernah punya prestasi dan saya kasih gelar juara, masak saya diperlakukan seperti ini.

Ketika pertama kali menerima tawaran untuk menjadi pelatih timnas U-19, pernah terbayangkan bisa meraih sukses seperti sekarang?

Saya tentu memprediksi dari program yang saya bikin termasuk untuk lolos Piala Dunia saya sangat optimis. Karena saya sudah punya tahapan, mulai dari perbaikan kondisi fisik pemain lalu membuat sesi latihan untuk membentuk kerangka tim dan kemudian uji coba. Di sini masalahnya, tur Nusantara itu bukan rencana saya. Saya hanya merencanakan 5 titik tetapi justru dilakukan di 19 kota. PSSI mengubah semuanya. Kenapa dilakukan itu karena PSSI tidak dibantu pemerintah jadi timnas U-19 ‘dijual’ oleh PSSI. Kenapa saya akhirnya mau, karena kalau saya tidak mau dari mana duit untuk Training Camp. Dana yang diperlukan Rp35 miliar tiap tahun.

Apakah PSSI sering mengintervensi dalam menentukan calon lawan untuk timnas U-19?

Kalau untuk tur ke Eropa ke Madrid dan Barcelona itu, saya sebenarnya setuju tetapi waktunya yang tidak pas. Ketika itu saya usul uji coba dilakukan di awal September  tetapi justru pada pertengahan September  atau hanya kurang dua minggu dari Piala Asia. Jadi ketika tampil di Piala Asia, anak-anak belum pada peak performancenya.

Ke depan, apa rencana anda, apakah ingin melatih di klub?

Saya sih tidak terlalu cemas kan pekerjaan di sepak bola ini harus diciptakan tidak harus menunggu. Kenapa harus PSSI atau di tim nasional. Jadi pelatih di timnas itu kan pengabdian. Kalau saya mau egois, saya ambil klub. Beberapa hari lalu saya hampir tanda tangan dengan salah satu klub. Tetapi saya berpikir bagaimana caranya saya bisa memberi manfaat bagi sepak bola nasional.

Sampai berapa lama anda akan menolak tawaran untuk menjadi pelatih klub?

Saya tidak menolak tetapi saya masih punya waktu. Karena itu, saya akan membuat akademi sepak bola. Saya sudah punya tanah di Bontang 30 hektar. Jadi, anak-anak saya kumpulkan dari blusukan akan saya taruh di satu tempat dan bikin satu tim, seperti bikin tim nasional. Saya sudah merencakanan ini sejak awal.

Ada berapa klub yang sudah menawarkan posisi pelatih kepada anda?

Saat ini ada sekitar 3-4 klub yang sudah menguhubungi saya dari liga super dan satu dari liga Malaysia.

Anda sepertinya masih ingin mengabdi untuk sepak bola nasional?

Bukan sepertinya memang harus. Saya orang yang paling tahu penyakit sepak bola di Indonesia dan saya yang tahu obatnya, makanya sepak bola Indonesia sehat selama dua tahun. Sekarang mau sakit lagi yah saya tidak tahu.

Apa sebenarnya penyakit sepak bola Indonesia?

Pemilihan pemain harus benar dan jangan ada intervensi kepada pelatih, harus ada standar dari pemilihan pemain da nada parameternya, tidak memilih pemain berdasarkan feeling dan jangan mau diintervensi siapa pun. Itu yang saya lakukan selama menjadi pelatih timans U-19. Kalau hanya melatih, saya tidak pintar-pintar amat lah.

Anda adalah pelatih timnas pertama yang melakukan blusukan untuk mencari pemain. Kenapa anda harus blusukan?

Tidak perlu blusukan kalau sistemnya bagus. Sistemnya itu apa, kompetisi yang bagus. Ini kan tidak ada. Selain itu, organisasinya juga harus bagus. Waktu itu kan PSSI tengah berantem terus saya gak mungkin minta mereka damai dulu karena saya mau mencari pemain. Maka saya biarkan saja mereka berantem dan saya tetap jalan. Mana ada orang yang tahu tim saya ini. Mereka baru tahu kan setelah keluar sebagai juara Piala AFF.

Menurut anda, sukses timnas U-19 bisa mempersatukan bangsa Indonesia?

Sangat bisa.

Apa pesan-pesan yang anda sampaikan kepada para pemain timnas U-19?

Pelatih itu adalah gurumu dan juga sekaligus temanmu.

Ke depan, bagaimana cara agar sepak bola Indonesia bisa kembali berbicara di tingkat internasional?

Organisasi harus mapan, punya uang, pengelolaan kompetisi bagus mulai dari senior hingga yunior, masyarakat sepak bolanya juga harus belajar menerima kemenangan dan juga kekalahan. (Doddy Rosadi/Laban Laisila)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI