Suara.com - Banyak warga negara Indonesia keturunan Tionghoa memutuskan kabur ke luar negeri setelah menjadi sasaran dalam kerusuhan Mei 1998.
Salah satunya adalah Jasmine Wibisono, putri ekonom dan pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia, Christianto Wibisono.
Jasmine mengatakan peristiwa Mei 1998 bukanlah pemicu keluarganya pergi ke luar negeri. Ancaman-ancaman pembunuhan yang terjadi setelahnya menjadi pemicu mereka memutuskan angkat kaki.
“Dalam surat disebut hal-hal seperti: ‘Bersyukurlah cuma rumah putrimu yang dijarah dan dibakar. Berikutnya keluarga kalian yang akan kami penggal dan hancurkan,” ujar Jasmine, menirukan ancaman dalam surat yang ditujukan kepada ayahnya Jasmine mengaku dia harus pindah 11 kali – termasuk di Singapura – sebelum sampai ke Amerika Serikat.
Setelah peristiwa itu berlalu, sebagian memutuskan kembali ke Indonesia, tapi banyak dari mereka memilih menetap di luar negeri. Anak-anak mereka adalah apa yang disebut sebagai “generasi yang hilang”. Bagaimana mereka memaknai kerusuhan Mei 98 dan Reformasi?