Suara.com - Satu tahun berlalu sejak unjuk rasa 'Aragalaya' yang pada puncaknya, massa berhasil menduduki Istana Kepresidenan Sri Lanka, dan menuntut Presiden Gotabaya Rajapaksa untuk mundur.
Peristiwa yang terjadi pada 11 Juli 2022 tersebut melontarkan Ranil Wickramasinghe ke kursi kepresidenan Sri Lanka. Namun, warga menyebut hingga kini, belum ada perubahan berarti di Sri Lanka. Namun, unjuk rasa Aragalaya sebenarnya sudah dimulai sejak 2021.
Unjuk rasa besar-besaran tersebut dipicu oleh insiden di Rambukkana. Saat itu, warga berunjuk rasa di Rambukkana untuk menuntut ketersediaan bahan bakar minyak.
Protes yang semula damai berubah ricuh saat polisi berusaha menekan massa dengan brutal. Saksi mata menyebut polisi melakukan kekerasan terhadap para demonstran, membakar gerobak, memicu kerusuhan, serta menembak ke arah kerumunan sehingga mengakibatkan beberapa orang tewas.
Salah satu orang yang tewas di tangan polisi adalah Chaminda Lakshan. Dia ditembak dari jarak dekat dan tewas di tempat. Kini, dua tahun setelah kematiannya, istri dan kedua anak Lakshan hidup dalam penderitaan. Sang istri, Priyagani, mengatakan janji-janji pemerintah untuk menegakkan keadilan atas kematian suaminya, tidak kunjung terlaksana.