Suara.com - Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkomdigi) Nezar Patria menanggapi soal isu wartawan asing perlu izin pihak kepolisian yang viral beberapa waktu lalu.
Nezar menyebut kalau Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 3 Tahun 2025 tentang Pengawasan Fungsional Kepolisian terhadap Orang Asing adalah sekadar pendataan.
"Oh itu kan sudah dijelaskan oleh Kapolri ya. Tentang Perpol itu sebetulnya kan hanya pendataan gitu ya. Pendataan untuk meliput di wilayah-wilayah tertentu," ungkap Nezar saat ditemui di Kantor Komdigi, Rabu (16/4/2025).
Ia melanjutkan, Kapolri sudah menjelaskan kalau jurnalis asing izin polisi bukanlah suatu hal yang wajib. Lebih lagi selama ini sudah ada mekanisme khusus untuk mendata wartawan-wartawan asing yang meliput di Indonesia.
"Selama ini juga sudah ada mekanisme untuk mendata wartawan-wartawan asing ya yang meliput di daerah-daerah yang berbahaya gitu, ya itu daerah-daerah konflik," umbarnya.
Selain wilayah konflik, Nezar mengatakan kalau Perpol baru itu juga berguna untuk keamanan diri jurnalis asing serta memperkuat pendataan dari Pemerintah.
"Selain untuk keamanan si jurnalis, juga untuk memperkuat pendataan yang ada di Pemerintah," jelasnya.

Penjelasan Kapolri
Sebelumnya Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membantah, jika pihaknya mewajibkan Surat Keterangan Kepolisian (SKK) bagi jurnalis asing yang meliput di Indonesia.
Baca Juga: Komdigi Libatkan Dukcapil-BSSN untuk Registrasi eSIM Pakai Data Biometrik
Sigit menjelaskan, dalam penerbitan peraturan kepolisian (Perpol) nomor 3 tahun 2025, tentang pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing.
Perpol No. 3 Tahun 2025 diterbitkan sebagai tindak lanjut dari revisi Undang-Undang Keimigrasian No. 63 Tahun 2024.
Adapun, kata Sigit, Perpol tersebut bertujuan untuk memberikan pelayanan dan perlindungan kepada WNA termasuk para jurnalis asing yang sedang bertugas di seluruh Indonesia, misalnya di wilayah-wilayah rawan konflik.
“Memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap WNA seperti para jurnalis asing yg sedang bertugas di seluruh Indonesia, misalkan di wilayah rawan konflik,” kata Sigit, saat dikonfirmasi, Kamis (3/4/2025).
Sigit mengaku, Perpol ini dibuat dengan berlandaskan upaya preemptif dan preventif dari kepolisian dalam memberikan perlindungan dan pelayanan terhadap WNA.
Hal ini dilakukan dengan koordinasi bersama instansi terkait, sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 Huruf a. Dalam pasal tersebut berbunyi untuk mencegah dan menanggulangi ancaman terhadap keamanan dan keselamatan orang asing.
Terkait dengan narasi yang menyebutkan bahwa penerbitan SKK itu wajib bagi wartawan asing, lanjut Sigit, tidak sesuai dengan isi Perpol.
"Perlu diluruskan bahwa dalam Pasal 8 (1) disebutkan, penerbitan Surat Keterangan Kepolisian (SKK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 (1) huruf b diterbitkan berdasarkan permintaan penjamin," jelasnya.
Ia juga menambahkan bahwa jika tidak ada permintaan dari penjamin, SKK tidak bisa diterbitkan. Namun, SKK tidak bersifat wajib bagi jurnalis asing.
Tanpa SKK, jurnalis asing tetap bisa melaksanakan tugas di Indonesia selama tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebabnya, pemberitaan yang menggunakan kata "wajib" dalam konteks ini tidak tepat, lantaran dalam Perpol tersebut tidak ada ketentuan yang menyatakan SKK itu bersifat wajib.
“SKK diterbitkan hanya jika ada permintaan dari penjamin,” jelasnya.
Jika seorang jurnalis asing akan melakukan kegiatan di wilayah yang rawan konflik, penjamin dapat mengajukan permintaan SKK kepada Polri dan juga meminta perlindungan karena bertugas di wilayah yang rawan konflik.
"Jadi, yang berhubungan langsung dengan Polri dalam penerbitan SKK ini adalah pihak penjamin, bukan WNA atau jurnalis asingnya,” pungkasnya.