Telkom Masih Kaji Dampak Tarif Trump ke Naiknya Harga Internet

Dicky Prastya Suara.Com
Kamis, 10 April 2025 | 17:01 WIB
Telkom Masih Kaji Dampak Tarif Trump ke Naiknya Harga Internet
VP Corporate Communications Telkom, Andri Herawan Sasongko saat ditemui di sela-sela konferensi pers Digiland Run 2025 di Jakarta, Kamis (10/4/2025). [Suara.com/Dicky Prastya]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk mengaku masih mengkaji soal keputusan tarif impor yang diumumkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump beberapa waktu lalu.

VP Corporate Communications Telkom, Andri Herawan Sasongko mengaku kalau mereka masih memantau sikap Pemerintah soal kebijakan tarif impor Trump.

"Karena ini kan baru gitu ya, terus kami pasti karena Badan Usaha Milik Negara (BUMN), bagian dari pemerintah, kami juga pasti akan mengikuti kira-kira arah Pemerintah seperti apa," kata Andri saat ditemui di sela-sela acara konferensi pers Digiland Run 2025 yang digelar di Jakarta, Kamis (10/4/2025).

Ia mengakui kalau kebijakan itu adalah perang dagang antar negara yang bakal berdampak luas secara global. Tapi Telkom masih menunggu sikap Pemerintah dalam menanggapi dinamika tersebut.

"Ini kan dinamikanya tinggi banget nih. Perang dagang ini kan sesuatu yang baru lah ya. Terus kemudian saling balas-membalas segala macam," lanjut dia.

"Kemudian kalau Telkom selaku BUMN yang bagian dari pemerintah, kami akan ikut bagaimana arahan dari pemerintah terkait perang dagang ini," katanya lagi. 

Ketika ditanya soal efek tarif impor Trump berpengaruh ke naiknya harga layanan internet Telkom, Andri mengaku masih memetakan efek tersebut. Tapi dirinya memastikan kalau kenaikan harga layanan Telkom tidak akan terjadi dalam waktu dekat.

"Belum, saya belum bisa memastikan. Nanti ketika itu berlaku, sikap saya, sikap pemerintah juga belum ini kan? Masih mau negosiasi kalau enggak salah," jelasnya.

Donald Trump umumkan tarif impor baru

Baca Juga: Tarif Trump Bikin Petani Sawit Menjerit, Prabowo Diminta Lakukan Ini

Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, semakin agresif dalam memperluas perang dagang dengan menaikkan tarif impor. Pada Rabu waktu setempat, ia secara resmi memberlakukan tarif dasar 10 persen untuk seluruh produk impor ke AS, sekaligus mengenakan bea masuk lebih tinggi terhadap puluhan negara, termasuk mitra dagang utama AS.

"Ini adalah deklarasi kemerdekaan kita," ujar Trump dalam acara di White House Rose Garden, seperti dilaporkan Reuters, Kamis (3/4/2025).

Tak berhenti di situ, Trump juga menyatakan bahwa impor dari China akan dikenakan tarif 34 persen, di samping pajak 20 persen yang sebelumnya telah diterapkan. 

Bahkan sekutu dekat AS seperti Uni Eropa (UE) tidak luput dari kebijakan ini, dengan tarif mencapai 20 persen.

Kebijakan ini merupakan bagian dari skema tarif timbal balik (reciprocal) yang diusung Trump sebagai respons terhadap defisit perdagangan AS. Negara-negara yang mencatatkan surplus perdagangan akan dikenakan tarif lebih tinggi.

"Tarif timbal balik ini adalah jawaban atas bea masuk dan hambatan non-tarif yang diberlakukan terhadap produk AS," tegas Trump.

"Dalam banyak hal, mitra dagang justru lebih merugikan daripada musuh," tambahnya.
Indonesia Termasuk Dampak Kebijakan Trump 

Berdasarkan data Reuters, Indonesia turut menjadi sasaran kebijakan Trump dengan kenaikan tarif sebesar 32 persen sebagai bagian dari skema tarif timbal balik.

Indonesia menempati peringkat ke-13 dalam daftar negara dengan surplus perdagangan terhadap AS, dengan defisit mencapai US$18 miliar bagi Negeri Paman Sam.

Namun, Indonesia bukan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang terdampak. Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Kamboja juga dikenakan tarif masing-masing sebesar 46%, 36%, 24%, dan 49% berdasarkan paparan Trump.

Tarif AS berpotensi menurunkan permintaan ekspor komoditas utama Indonesia ke AS, seperti tekstil dan minyak sawit, bisa saja memperlambat ekonomi. Dampaknya meliputi inflasi, depresiasi mata uang, dan penurunan pertumbuhan. Bisnis mungkin diversifikasi pasar untuk mengurangi efek, tapi butuh waktu.

Tarif Trump ancam pertumbuhan ekonomi

Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menilai kebijakan tarif resiprokal dari AS akan jadi penghambat serius bagi ambisi Presiden Prabowo mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen di 2029. Bahkan, menurutnya, ekonomi Indonesia bisa gagal tumbuh di atas 5 persen pada akhir 2025.

“Bahkan skenario ini masih moderat, skenario terburuk resesi di kuartal IV 2025,” kata Bhima kepada Suara.com, Selasa (8/4/2025).

Penyebabnya jelas. Tarif balasan AS akan menekan volume ekspor Indonesia. Sementara itu, negara seperti Kamboja, Vietnam, dan China bisa membanjiri pasar domestik dengan produk murah akibat pengalihan ekspor mereka.

Barang-barang yang paling berisiko antara lain elektronik, pakaian jadi, alas kaki, mainan anak, dan berbagai produk konsumsi.

Industri lokal, khususnya sektor padat karya, akan semakin kesulitan bersaing. Harga barang impor lebih murah. Daya saing merosot. Produksi melambat.

Bhima mendorong pemerintah segera merevisi Permendag No. 8 Tahun 2024. Regulasi itu, menurutnya, justru membuka lebar keran impor dan memperparah situasi. Ia menyebut gelombang PHK di industri padat karya belakangan ini sebagai bukti nyata dampak dari aturan tersebut.

Data Kemenaker sepanjang 2024 mencatat 77.965 orang terkena PHK. Naik tajam dari 64.855 orang di 2023. Sektor paling terdampak antara lain tekstil, garmen, dan alas kaki.

Tak cukup dengan revisi regulasi. Bhima menyarankan pemberian insentif konkret. Diskon tarif listrik 50 persen selama 9 bulan untuk industri padat karya dan otomotif-elektronik. Selain itu, penurunan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia sebesar 50 bps agar pelaku industri dan UMKM bisa mendapat akses kredit murah.

“Juga atur ulang efisiensi belanja pemerintah yang terlalu brutal karena ekonomi butuh stimulus belanja pemerintah,” imbuhnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI