Suara.com - Publik baru-baru ini dibuat geger mengenai RUU TNI yang dilakukan Komisi I DPR RI beberapa waktu lalu. Menjadi perbincangan hangat, begini sejarah dwifungsi ABRI di Indonesia.
Revisi Undang-Undang (RUU) TNI ini mendapat penolakan dari beberapa kalangan karena dirasa akan kembali membangkitkan dwifungsi ABRI yang sempat marak terjadi di masa orde baru.
Kebijakan ini pada awalnya memungkinkan militer untuk tidak hanya bertugas menjaga keamanan negara namun juga aktif di bidang politik dan pemerintahan.
Pada masanya, dwifungsi ABRI ini menunjukan peran besar anggota militer bagi bangsa tidak hanya secara pertahanan namun juga pada kebijakan strategis.
Paham yang ditakuti oleh banyak pihak ini percaya bahwa ABRI atau yang kini dikenal sebagai TNI memiliki pengaruh besar pada pemerintahan bahkan dapat menduduki jabatan sebagai sipil dan militer.
Sejarah dwifungsi ABRI
![Ilustrasi tentara. Kisah tentara paling brutal dalam sejarah RI. [Shutterstock]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2023/09/10/17238-ilustrasi-tentara.jpg)
Laman Jurnal UIN menyebut bahwa istilah dwifungsi ABRI pertama kali dikenalkan oleh Presiden Soekarno dan AH Nasution.
Dalam Dies Natalis AMN (Akademi Militer Nasional) pada tahun 1958 di Magelang, AH Nasution mengenalkan "Jalan Tengah" Sebagai cikal bakal Dwifungsi ABRI.
Konsep ini merupakan pemberian kesempatan kepada militer sebagai kekuatan politik untuk berperan di pemerintah.
Baca Juga: Siapa Pemilik Hotel Fairmont Jakarta? Lokasi Rapat DPR Bahas RUU TNI yang Tuai Kontroversi
Dirinya menyebut dwifungsi ABRI ini sebagai jalan tengah karena kondisi politik pemerintahan yang kala itu dikuasai oleh sipil. Ia menyebut bahwa anggota militer dapat menjadi kekuatan politik dominasi yang bisa menyingkirkan politisi sipil di arena politik.
Konsep dwifungsi ABRI ini memungkinkan anggota militer untuk tidak hanya berperan dalam bidang pertahanan namun juga memiliki tugas penting dalam dunia sosial dan politik.
Di tahun 1969 lalu melalui Ketetapan MPRS Nomor II lalu, dwifungsi ABRI resmi ditetapkan oleh Presiden Soeharto. Masa ini yang kemudian dikenal sebagai order baru saat ABRI memiliki dominasi besar dengan adanya Fraksi ABRI.
Beralih ke tahun 1998, Fraksi ABRI kemudian berganti nama menjadi Fraksi TNI-Polri usai Soeharto lengser sebagai presiden. Setelah bertahan selama beberapa tahun, dwifungsi ABRI baru berakhir di tahun 2004 lalu.
Kala itu ditetapkan seluruh anggota DPR akan dipilih melalui pemilu. Dwifungsi ABRI baru dihapus oleh Presiden keempat, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang kemudian mengubah namanya dari ABRI menjadi TNI.
Kontroversi dwifungsi ABRI
Di masanya, dwifungsi ABRI begitu lekat dengan berbagai kontroversi. Kebijakan ini dianggap sebagai bentuk militer yang membatasi demokrasi dan kebebasan politik masyarakat sipil.
Pada masa kejayaannya, dwifungsi ABRI dianggap sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia. Sebelum akhirnya dihapus pada tahun 2004 lalu, Polri telah lebih dulu berpisah dari ABRI.
Selama masa dwifungsi ABRI yaitu antara tahun 1974 hingga 1978 lalu, aksi mahasiswa dilakukan untuk menolak tugas ganda militer di politik.
Jargon 'Kembalikan ABRI kepada Rakyat' santer beredar dan menuntut agar Soeharto turun dari jabatannya. Hal ini menjadi tanda dimulainya masa reformasi setelah orde baru.
Di tahun-tahun setelahnya, Indonesia mulai beralih ke sistem demokrasi yang terbuka. Sayangnya, perdebatan mengenai militer dan sipil masih terus berhembus hingga sekarang ini.
Peringatan serius SBY untuk dwifungsi ABRI

Meskipun telah resmi mati di era reformasi, Presiden keenam Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sempat memberi peringatan tegas mengenai anggota militer yang ingin aktif di dunia politik.
Dirinya mengingatkan agar anggota militer aktif perlu untuk keluar dari militer sebelum kemudian bergabung dengan institusi pemerintahan. Hal ini berdasarkan pengalamannya ketika menjabat sebagai Ketua Reformasi ABRI.
Setelah bertahun-tahun berlalu, ancaman dwifungsi ABRI kembali muncul. Terlebih setelah rencana pemerintah untuk melakukan RUU TNI yang kemudian mendapat penolakan besar-besaran dari masyarakat.