Oleh karena itu, pemanfaatan frekuensi 1,4 GHz melalui Broadband Wireless Access (BWA) dianggap sebagai solusi untuk memperluas cakupan internet dengan biaya lebih rendah.
Namun, menurut Dekan Fakultas Hukum Universitas Mitra Bangsa, Kamilov Sagala, transparansi dalam proses lelang harus dijaga untuk mencegah praktik monopoli.
“Frekuensi adalah sumber daya terbatas yang harus dikelola dengan adil. Jika tidak, hanya segelintir perusahaan yang akan mendapatkan manfaat,” tegas Kamilov.
Ia juga mengingatkan bahwa dengan tujuh pihak yang sudah berminat, persaingan bisa menjadi ketat dan harga spektrum bisa melonjak tinggi jika mekanisme lelang hanya berbasis harga.
Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), Sigit Puspito Wigati Jarot, menyoroti pentingnya pembangunan infrastruktur digital yang berkualitas serta pengembangan talenta digital, terutama di kalangan generasi muda.
“Saat ini, Indonesia tertinggal dalam pengembangan 5G, dengan kecepatan rata-rata baru mencapai 30 Mbps, jauh tertinggal dibandingkan negara-negara di ASEAN,” ungkapnya.
![Diskusi bahas lelang frekuensi, Jakaeta, (Selasa/24/2/2025), [Suara.com/Dythia]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/02/24/10049-diskusi-bahas-lelang-frekuensi.jpg)
Ia menekankan bahwa regulasi yang adaptif dan kolaboratif sangat dibutuhkan untuk memastikan transformasi digital berjalan berkelanjutan dan kompetitif.
Dalam dunia telekomunikasi, berbagai model kompetisi dapat diterapkan dalam pengelolaan frekuensi ini.
Sigit menjelaskan bahwa terdapat beberapa opsi, mulai dari Infrastructure-Based Competition, Wholesale Access Model, hingga Public-Private Partnership.
Baca Juga: Riset OpenSignal: Kecepatan Internet Indonesia Tempati Posisi 5 di ASEAN, Kalah dari Malaysia
“Setiap model memiliki kelebihan dan tantangan masing-masing. Untuk Indonesia, pendekatan hibrida yang melibatkan pemerintah daerah bisa menjadi solusi yang tepat,” ujarnya.