Suara.com - Pakar keamanan siber dan IT dari Vaksincom, Alfons Tanujaya menjelaskan soal DeepSeek yang membuat publik khawatir soal keamanan data dan mengancam privasi pengguna, termasuk Indonesia.
Pasalnya, platform kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) asal China itu dikhawatirkan melanggar kebijakan privasi karena data pengguna disimpan di server negeri Tirai Bambu tersebut. Bahkan di Italia, DeepSeek diblokir sementara dari toko aplikasi Google Play Store dan Apple App Store.
Menurut Alfons, kekhawatiran publik soal cara DeepSeek mengumpulkan data justru aneh. Pasalnya, hal itu juga dilakukan oleh aplikasi populer lain seperti ChatGPT, Google Maps, Instagram, hingga WhatsApp.
"Servernya juga bukan di Indonesia dan datanya berada di bawah penguasaan perusahaan Amerika, dan pemerintah Amerika setiap saat bisa meminta akses data tersebut," ungkapnya dalam siaran pers, Rabu (5/2/2025).
Baca Juga: Keamanan Siber Jadi Tantangan Utama Perbankan Daerah di Era Digital
"Apakah kalau data dibawa ke Amerika lebih tidak bahaya daripada dibawa ke China? Harusnya secara logika ya bahayanya sama. Malah pengguna DeepSeek di Amerika harus lebih khawatir daripada pengguna di Indonesia," lanjut dia.
Alfons juga menyinggung kalau faktanya DeepSeek justru menjadi aplikasi populer yang menempati peringkat pertama di App Store maupun Play Store di AS.
"Jadi rasanya agak berlebihan kalau kita sebagai pengguna menghindari menggunakan DeepSeek hanya karena servernya di-hosting di China," timpal dia.
Alfons lalu menerangkan kalau data para pengguna yang memakai produk China seperti ponsel, mobil listrik, drone, atau Internet of Things (IoT) memang banyak disimpan di negara Xi Jin Ping tersebut.
Menurut dia, data yang diperoleh DeepSeek justru tidak lebih banyak daripada data dari aplikasi populer yang malah banyak digunakan orang Indonesia.
Baca Juga: Saat Pakar Tak Lagi Dipercaya: Review Buku 'Matinya Kepakaran'
"Data aplikasi lain itu jauh lebih banyak yang diambil seperti data lokasi, kebiasaan membuka aplikasi (kapan buka, kapan aktif), minat pengguna pada bidang apa saja, sedang search apa saja, sering ke mana saja, siapa saja temannya, atau konten apa saja yang paling sering diakses," paparnya.
"Jika ingin dikhawatirkan, data itu yg lebih perlu dikhawatirkan dan bukan data chatbot dengan Asisten AI," timpalnya lagi.
Alfons berpandangan kalau kekhawatiran yang berlebihan kepada DeepSeek justru membuat Indonesia rugi besar karena takut menggunakan teknologi AI.
Lebih lagi, lanjut dia, Indonesia sudah tertinggal jauh dalam perlombaan pengembangan aplikasi maupun implementasi AI. Padahal negara lain sudah melaju kencang dengan AI.
"Kita malah ketakutan sendiri dengan AI dan kita tidak memanfaatkan AI dengan optimal untuk kepentingan kita," ucapnya.
Lebih jauh, Alfons menyebut kalau kehadiran asisten AI open source seperti DeepSeek merupakan kesempatan emas untuk orang Indonesia untuk mengejar ketertinggalan dari negara lain.
Tapi dirinya juga mengimbau pengguna untuk mengetahui batas dan kelemahan AI. Ia meminta orang Indonesia untuk tidak percaya sepenuhnya pada teknologi tersebut.
"Jadi jangan dipercaya 100 persen karena tidak ada jaminan informasi yang dihasilkan oleh AI 100 persen akurat. Anda sebagai pengguna yang harus bijak dalam memilah, menyerap dan menggunakan informasi," pungkasnya.