Suara.com - Pemerintah telah menetapkan rencana penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025. Kebijakan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Kebijakan ini memicu reaksi keras dari masyarakat, terutama karena kenaikan tarif PPN 12% diperkirakan akan semakin memberatkan kelompok masyarakat dengan pendapatan menengah ke bawah. Barang-barang kebutuhan sehari-hari seperti sabun mandi dan bahan bakar minyak (BBM) dipastikan akan mengalami kenaikan harga sebagai dampak langsung dari kebijakan ini.
Isi Petisi Tolak PPN 12 Persen
Hingga 18 Desember 2024 pukul 12.50 WIB, petisi yang dimuat di change.org ini telah memperoleh 60.063 tanda tangan dari target 75.000. Dalam petisi tersebut, terdapat gambar dengan latar biru bertuliskan:
Baca Juga: Link Petisi Tolak PPN 12 Persen Lengkap dengan Alasannya
"Menarik pajak tanpa memberikan timbal balik kepada rakyat adalah tindakan kejahatan. Jangan memungut pajak besar jika pelayanan kepada masyarakat masih jauh dari kata memadai. Tolak PPN 12%."
Petisi ini juga menyoroti angka pengangguran yang tinggi serta rendahnya upah di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2024, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 4,91 juta orang.
Poin lain dalam petisi tersebut menyebutkan bahwa kenaikan PPN akan berdampak pada meningkatnya harga barang, yang secara langsung melemahkan daya beli masyarakat. Situasi ini telah terlihat sejak Mei 2024, di mana daya beli terus mengalami penurunan.
"Jika kenaikan PPN tetap diberlakukan, daya beli masyarakat tidak hanya merosot tetapi akan jatuh bebas. Pemerintah seharusnya membatalkan kenaikan ini sebelum kerugian rakyat semakin besar dan utang dari pinjaman online makin meluas," demikian isi petisi tersebut.
Link Petisi
Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi 2025 Terancam Stagnasi, Kebijakan Pajak Prabowo Jadi Kendala Utama
Berikut ini link petisi tolak kenaikan PPN 12 persen 'Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!
Kebijakan ini juga menuai kritik tajam dari warganet di aplikasi X (Twitter). Beberapa komentar menunjukkan kekecewaan yang mendalam terhadap pengelolaan kebijakan oleh pemerintah.
Salah satu pengguna, @Dandhy_Laksono, menulis, "Nyari kerja susah. Kalaupun ada lowongan, salah satu syaratnya harus ngurus surat ke mereka. Setelah dapat kerja, dipajaki buat ngongkosi mereka." Komentar ini mencerminkan rasa frustrasi terhadap birokrasi yang dinilai tidak efisien dan cenderung memberatkan pencari kerja.
Pengguna lain, @Abu4bu, menambahkan kritik terhadap persyaratan administrasi seperti SKCK, yang dinilai tidak efektif dalam menjaring politisi bersih. Ia menulis, "SKCK emang gak guna banget buat apaan wong politisi yg koruptor masih bisa nyaleg faktanya. Mending hapusin ajalah gak guna.Ngabisin duit."
Komentar-komentar ini menunjukkan bahwa kebijakan kenaikan PPN bukan hanya dianggap sebagai masalah ekonomi, tetapi juga mencerminkan ketidakpuasan yang lebih luas terhadap sistem pemerintahan. Banyak warganet mengaitkan kenaikan pajak dengan lemahnya layanan publik dan ketidakefisienan birokrasi. Ketidakpercayaan terhadap penggunaan dana publik semakin diperparah oleh isu korupsi, yang menjadi sorotan utama dalam beberapa komentar.
Kontributor : Rishna Maulina Pratama