Suara.com - Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Nezar Patria enggan menanggapi soal viral polemik draf revisi Undang-Undang Polri yang kini bisa mengawasi ruang siber hingga blokir akses internet.
Wamenkominfo mengakui kalau dirinya belum bisa berkomentar lantaran pihaknya belum menerima draf RUU Polri tersebut.
"itu belum sampai ke kami, saya belum bisa komentar," ungkapnya saat ditemui di Universitas Paramadina, Jakarta, Jumat (31/5/2024).
Diketahui wewenang kepolisian soal pengawasan ruang siber ini ditemukan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Baca Juga: Kominfo Akan Terus Pantau Starlink Elon Musk, Bantah Jadikan Anak Emas
"Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), menyoroti sejumlah perubahan pada RUU Kepolisian yang proses perumusan dan pembahasannya dianggap masih minim partisipasi dan substansinya tidak akan menyelesaikan masalah institusional Kepolisian," katanya, dikutip dari siaran pers KontraS, Jumat (31/5/2024).
Menurut KontraS, RUU Kepolisian memperluas kewenangan Polri untuk melakukan pengamanan, pembinaan dan pengawasan terhadap Ruang Siber.
Disebutkan kalau RUU Kepolisian mengatur bahwa pengamanan, pembinaan dan pengawasan terhadap Ruang Siber tersebut dilakukan melalui penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses Ruang Siber.
"Kami memahami bahwa perkembangan teknologi memunculkan berbagai resiko tindak pidana dan bentuk ancaman keamanan lainnya marak terjadi pada Ruang Siber dan Kepolisian sebagai institusi penegak hukum harus peka terhadap resiko-resiko tersebut," ungkapnya.
"Namun, kewenangan tersebut juga sangat rentan disalahgunakan, mengingat penggunaan alat sadap, intersepsi komunikasi dan intersepsi digital yang pengaturannya masih lemah sehingga rentan terjadi kesewenang-wenangan dalam implementasinya," lanjut KontraS.
Baca Juga: Kominfo Klarifikasi Dewan Media Sosial, Tak Punya Wewenang Blokir
Mereka mencontohkan, kasus pembatasan atas akses internet pernah terjadi di Tanah Papua secara masif pada 2021. Kala itu menunjukkan bahwa pemblokiran, pemutusan dan perlambatan akses Ruang Siber dapat dengan mudah dilakukan secara sewenang-wenang dan merugikan masyarakat.
"Rencana 'pembinaan' dan 'pengawasan' terhadap Ruang Siber juga jangan sampai digunakan sebagai justifikasi untuk menyerang masyarakat yang bersuara kritis melalui media sosial dan melakukan serangan digital terhadap aktivis, jurnalis, pembela HAM dan pembela Lingkungan Hidup seperti yang pernah dialami oleh Jurnalis Narasi beberapa waktu yang lalu," pungkasnya.