Suara.com - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) akhirnya buka suara soal kontroversi draf revisi Undang-Undang Penyiaran yang viral beberapa waktu belakangan.
KPI menyebut kalau pihaknya bersama pemangku kepentingan sudah mendorong adanya revisi UU Penyiaran sejak 2010 silam.
"Revisi ini sangat penting dalam rangka menghadirkan ekosistem penyiaran yang sehat dan berkualitas serta bermanfaat bagi masyarakat, negara, maupun tumbuh kembangnya industri penyiaran Nasional," katanya, dikutip dari siaran pers KPI, Kamis (30/5/2024).
KPI menuturkan, upaya Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pada prinsipnya lahir dari masukan berbagai pihak, mulai dari kelompok masyarakat sipil (civil society), industri, akademisi dan pemerhati penyiaran lainnya.
Baca Juga: Daftar Fraksi Partai Pendukung RUU Polri dan RUU Penyiaran
"Secara resmi usulan revisi undang-undang ini sudah disampaikan pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI tahun 2015 di Makassar," lanjut KPI.
Adapun usulan KPI atas revisi UU Penyiaran mencakup tiga hal yakni:
1. Penguatan kelembagaan internal KPI yang terdiri atas KPI Pusat dan KPI Daerah dalam rangka optimalisasi kerja pengawasan konten siaran yang jumlahnya semakin berlipat sejak pelaksanaan ASO (analog switch off atau peralihan TV analog ke TV digital).
2. Membangun rasa keadilan bagi ekosistem penyiaran melalui usulan pengawasan konten di platform digital.
3. Mengusulkan audit rating demi menghindari adanya tafsir tunggal atas kualitas program siaran di televisi.
Baca Juga: Deddy Corbuzier Kena Sentil Usai Komentari RUU Penyiaran: Dapurnya Kena Baru Berisik!
"Tiga hal ini disuarakan KPI secara simultan dalam berbagai bentuk kegiatan ataupun dialog resmi setelah mendengar aspirasi berbagai pemangku kepentingan penyiaran. Adapun rekam peristiwa yang dilakukan, KPI ini dapat diakses publik dalam website resmi KPI," urai KPI.
KPI menyatakan, lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memiliki dampak terhadap pola struktur dan dukungan manajemen kesekretariatan yang melemahkan posisi KPI di daerah sebagai sebuah lembaga negara.
"Atas beberapa diskusi yang melibatkan beberapa pihak, maka solusi terbaiknya adalah melakukan revisi atas Undang-Undang Penyiaran," imbuhnya.
Alasan lain perlu revisi UU Penyiaran yakni kehadiran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Regulasi itu mengoreksi sembilan pasal pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
"Koreksi dimaksud berkaitan dengan perubahan beberapa kewenangan KPI dan tata laksana digitalisasi penyiaran yang tidak ada pengaturannya dalam Undang-Undang Penyiaran. Atas dasar itu juga dibutuhkan regulasi yang baru untuk penyiaran," beber KPI.
Terkait dinamika Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran, KPI menilai secara teknis RUU ini masih akan berproses sesuai dengan peraturan perundangan yang akan melibatkan segenap stakeholders.
Dengan mempertimbangkan perkembangan teknologi penyiaran dan perubahan peraturan perundang-undangan, KPI mengatakan revisi Undang-Undang Penyiaran adalah sebuah kebutuhan.
"Spirit dari revisi Undang-Undang Penyiaran ini tetap ingin menjamin ruang kebebasan bersuara dan berpendapat demi demokratisasi media dan penyiaran di Tanah Air," pungkasnya.
Dewan Pers tolak RUU Penyiaran
Sebelumnya Dewan Pers bersama seluruh organisasi pers nasional tegaskan menolak draf Revisi UU Penyiaran.
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu mengatakan kalau draf RUU Penyiaran ini tidak sesuai dengan hak konstitusional warga negara yang sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 atau UUD 1945.
"Terhadap draf RUU Penyiaran versi Oktober 2023, Dewan Pers dan konstituen menolak, sebagai draf yang mencerminkan pemenuhan hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan informasi sebagaimana yang dijamin dalam UUD 45," kata Ninik dalam konferensi yang digelar secara virtual, Selasa (14/5/2024).
Ninik mengakui ada beberapa alasan soal penolakan draf RUU Penyiaran ini. Pertama dalam konteks Politik-Hukum, regulasi tersebut tidak memasukkan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
"Tidak dimasukkannya UU 40 Tahun 99 dalam konsideran di dalam RUU ini mencerminkan bahwa tidak mengintegrasikan kepentingan lahirnya jurnalistik yang berkualitas sebagai salah satu produk penyiaran, termasuk distorsi yang akan dilakukan melalui saluran platform," beber dia.
Alasan kedua, lanjut Ninik, RUU Penyiaran ini menjadi salah satu alasan pers Indonesia tidak merdeka, tidak independen, dan tidak melahirkan karya jurnalistik berkualitas.
Ninik berpandangan kalau apabila perubahan ini diteruskan, sebagian aturan dalam RUU Penyiaran itu menyebabkan media menjadi produk pers yang buruk, pers yang tidak prostitusional, dan pers yang tidak independen.
Alasan ketiga, dari sisi proses, Ninik menegaskan kalau RUU ini menyalahi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyebutkan penyusunan sebuah regulasi baru harus melibatkan partisipasi publik.
"Harus ada keterlibatan masyarakat, hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya, hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya," imbuhnya.
Ninik menambahkan, Putusan MK itu juga mengatur kalau para penyusun kebijakan harus menjelaskan kenapa masukan masyarakat tidak diintegrasikan dalam regulasi baru.
"Dalam konteks RUU Penyiaran ini, Dewan Pers dan konstituen selaku penegak UU 40, tidak dilibatkan dalam proses penyusunan RUU ini," katanya.
Kemudian terkait substantif, Ninik menjelaskan kalau faktor pertama yakni adanya pasal yang melarang media investigasi. Menurutnya, ini sangat bertentangan dengan mandat yang ada dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 4.
"Sebetulnya dengan UU 40, tidak lagi mengenal penyensoran, pembredelan, dan pelarangan-pelarangan penyiaran terhadap karya jurnalistik berkualitas. Nah penyiaran media investigatif adalah satu modalitas kuat dalam satu media jurnalistik profesional," paparnya.
Kedua yakni soal penyelesaian sengketa jurnalistik. Ninik menyebut kalau RUU ini justru membuat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bisa menyelesaikan sengketa pers.
Padahal lembaga tersebut tidak memiliki mandat penyelesaian etik terhadap jurnalistik. Ninik menilai mandat itu ada di Dewan Pers dan sudah dituangkan dalam UU Pers.
"Oleh karena itu penolakan ini didasarkan juga bahwa ketika menyusun peraturan perundang-undangan perlu dilakukan proses harmonisasi agar antara satu UU dengan yang lain tidak tumpang tindih. Karena pengaturan ini juga diatur di dalam Perpres 32 Tahun 2024 (Publisher Rights) yang baru saja disahkan oleh Presiden," katanya.
"Pemerintah saja mengakui begitu ya kira-kira, tetapi kenapa di dalam draf ini penyelesaian sengketa jurnalistik diserahkan kepada penyiaran ya? Ini betul-betul akan menyebabkan cara-cara penyelesaian yang tidak sesuai dengan norma Undang-Undang yang ada," tegas Ninik.