Suara.com - Dari Januari hingga Desember 2023, Kaspersky telah mendeteksi dan memblokir lebih dari 13 juta ancaman web dari solusi keamanannya untuk bisnis di Asia Tenggara (SEA).
Data historis dari perusahaan keamanan siber global ini mengungkapkan adanya lonjakan sebesar 31 persen dibandingkan dengan jumlah yang terdeteksi pada tahun 2020.
Maka setiap harinya, penjahat dunia maya meluncurkan rata-rata 36.552 serangan online yang menargetkan bisnis di wilayah tersebut pada tahun lalu.
Ancaman berbasis web, atau ancaman online, adalah kategori risiko siber yang dapat menyebabkan kejadian atau tindakan yang tidak diinginkan melalui internet.
Baca Juga: Ancaman Ransomware Makin Kreatif, Kelincahan Kaspersky Next Bisa Jadi Solusinya
Ancaman web dimungkinkan oleh kerentanan pengguna akhir, pengembang/operator layanan web, atau layanan web itu sendiri.
Terlepas dari tujuan atau penyebabnya, konsekuensi dari ancaman web dapat merugikan individu dan organisasi.
Pelaku ancaman menargetkan bisnis di Filipina 243 persen lebih banyak pada tahun 2023 dibandingkan tahun 2022 (dari 492.567 menjadi 1.691.167).
Perusahaan-perusahaan di Singapura juga menghadapi 86 persen lebih banyak ancaman web dibandingkan tahun lalu (dari 889.093 menjadi 1.653.726).
Sementara perusahaan-perusahaan di Thailand mengalami peningkatan yang lebih kecil namun masih signifikan sebesar 24 persen (dari 1.232.311 menjadi 1.531.430) dalam hal ancaman berbasis web ini.
Baca Juga: Cara Kerja Serangan Pengisian Kredensial, Buruan Ubah Kata Sandi Mu
Statistik ini dihitung berdasarkan produk B2B Kaspersky yang dipasang di perusahaan dengan berbagai ukuran.
“Ketika sebagian besar pemerintah di kawasan ini membangun dan meningkatkan kebijakan untuk mendorong ekonomi dan infrastruktur digital, bisnis lokal harus memprioritaskan pertahanan siber terhadap ancaman yang mengintai di dunia maya yang berisiko menghambat upaya mereka dalam pemanfaatan digitalisasi,” kata Yeo Siang Tiong, General Manager Asia Tenggara di Kaspersky.
Sebuah studi baru-baru ini juga mengungkapkan bahwa perusahaan-perusahaan di Asia Tenggara menyadari korelasi antara digitalisasi dan peningkatan ancaman siber.
Lebih dari seperempat (28 persen) bisnis yang disurvei mengonfirmasi bahwa organisasi mereka lebih rentan terhadap serangan siber karena perkembangan digitalisasi yang signifikan.
Tekanan eksternal untuk mengungkap insiden siber yang terjadi dan mematuhi praktik keamanan siber kini juga lebih tinggi bagi 16 persen responden yang disurvei.
“Dengan banyaknya data yang ditangani semua jenis organisasi saat ini dan besarnya kerugian reputasi dan finansial yang dapat diakibatkan dari insiden siber, portofolio solusi dan layanan keamanan yang adaptif dan berbasis intelijen adalah kebutuhan saat ini,” pungkas Yeo.