Suara.com - Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Budi Arie Setiadi mengatakan kalau Presiden Joko Widodo alias Jokowi belum menerima secara resmi draf revisi Undang-Undang Penyiaran.
Ia menyebut kalau baik Kementerian Kominfo maupun Kementerian Sekretariat Negara (Setneg) belum menerima draf resmi RUU Penyiaran. Maka dari itu ia ogah mengomentari regulasi kontroversial tersebut.
"UU Penyiaran itu hingga saat ini draf resminya belum diterima oleh pemerintah, baik di Menkominfo maupun Setneg. Jadi kami mengomentari sesuatu yang secara langsung belum diterima oleh kami," katanya dalam konferensi pers yang digelar virtual di YouTube Kominfo, dikutip Minggu (26/5/2024).
Kendati begitu Menkominfo menjamin soal kemerdekaan pers maupun kebebasan berpendapat masyarakat.
Baca Juga: Foto Pejabat Bareng Elon Musk Viral Dikritik, Budi Arie: Beliau Jenius, Bukan Pengusaha Biasa
"Pemerintah menjamin kemerdekaan pers dan kebebasan masyarakat untuk berbicara," lanjut dia.
Budi Arie kembali menegaskan kalau Pemerintah masih belum menerima draf resmi RUU Penyiaran. Selama ini usulan itu baru ia terima dari sebaran di WhatsApp.
"Barangnya belum resmi, enggak ada di meja kami draf resmi, yang kami dapat versi WA. Simpang siur. Kecuali draf resmi, baru Pemerintah menyatakan sikap," jelasnya.
Dewan Pers tolak RUU Penyiaran
Dewan Pers bersama seluruh organisasi pers nasional tegaskan menolak draf Revisi UU Penyiaran yang saat ini sedang digodok di Baleg DPR RI.
Baca Juga: Menkominfo Ancam Blokir Telegram di Indonesia Buntut Judi Online
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu mengatakan kalau draf RUU Penyiaran ini tidak sesuai dengan hak konstitusional warga negara yang sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 atau UUD 1945.
"Terhadap draf RUU Penyiaran versi Oktober 2023, Dewan Pers dan konstituen menolak, sebagai draf yang mencerminkan pemenuhan hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan informasi sebagaimana yang dijamin dalam UUD 45," kata Ninik dalam konferensi yang digelar secara virtual, Selasa (14/5/2024).
Ninik mengakui ada beberapa alasan soal penolakan draf RUU Penyiaran ini. Pertama dalam konteks Politik-Hukum, regulasi tersebut tidak memasukkan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
"Tidak dimasukkannya UU 40 Tahun 99 dalam konsideran di dalam RUU ini mencerminkan bahwa tidak mengintegrasikan kepentingan lahirnya jurnalistik yang berkualitas sebagai salah satu produk penyiaran, termasuk distorsi yang akan dilakukan melalui saluran platform," beber dia.
Alasan kedua, lanjut Ninik, RUU Penyiaran ini menjadi salah satu alasan pers Indonesia tidak merdeka, tidak independen, dan tidak melahirkan karya jurnalistik berkualitas.
Ninik berpandangan kalau apabila perubahan ini diteruskan, sebagian aturan dalam RUU Penyiaran itu menyebabkan media menjadi produk pers yang buruk, pers yang tidak prostitusional, dan pers yang tidak independen.
Alasan ketiga, dari sisi proses, Ninik menegaskan kalau RUU ini menyalahi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyebutkan penyusunan sebuah regulasi baru harus melibatkan partisipasi publik.
"Harus ada keterlibatan masyarakat, hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya, hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya," imbuhnya.
Ninik menambahkan, Putusan MK itu juga mengatur kalau para penyusun kebijakan harus menjelaskan kenapa masukan masyarakat tidak diintegrasikan dalam regulasi baru.
"Dalam konteks RUU Penyiaran ini, Dewan Pers dan konstituen selaku penegak UU 40, tidak dilibatkan dalam proses penyusunan RUU ini," katanya.
Kemudian terkait substantif, Ninik menjelaskan kalau faktor pertama yakni adanya pasal yang melarang media investigasi. Menurutnya, ini sangat bertentangan dengan mandat yang ada dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 4.
"Sebetulnya dengan UU 40, tidak lagi mengenal penyensoran, pembredelan, dan pelarangan-pelarangan penyiaran terhadap karya jurnalistik berkualitas. Nah penyiaran media investigatif adalah satu modalitas kuat dalam satu media jurnalistik profesional," paparnya.
Kedua yakni soal penyelesaian sengketa jurnalistik. Ninik menyebut kalau RUU ini justru membuat Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bisa menyelesaikan sengketa pers.
Padahal lembaga tersebut tidak memiliki mandat penyelesaian etik terhadap jurnalistik. Ninik menilai mandat itu ada di Dewan Pers dan sudah dituangkan dalam UU Pers.
"Oleh karena itu penolakan ini didasarkan juga bahwa ketika menyusun peraturan perundang-undangan perlu dilakukan proses harmonisasi agar antara satu UU dengan yang lain tidak tumpang tindih. Karena pengaturan ini juga diatur di dalam Perpres 32 Tahun 2024 (Publisher Rights) yang baru saja disahkan oleh Presiden," katanya.
"Pemerintah saja mengakui begitu ya kira-kira, tetapi kenapa di dalam draf ini penyelesaian sengketa jurnalistik diserahkan kepada penyiaran ya? Ini betul-betul akan menyebabkan cara-cara penyelesaian yang tidak sesuai dengan norma Undang-Undang yang ada," tegas Ninik.