Pakar Unair Sebut RUU Penyiaran Berpotensi Kembalikan Pembredelan Pers Era Orde Baru

Dicky Prastya Suara.Com
Kamis, 16 Mei 2024 | 12:47 WIB
Pakar Unair Sebut RUU Penyiaran Berpotensi Kembalikan Pembredelan Pers Era Orde Baru
Ilustrasi Media. (IstockPhotos)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pakar Media dari Universitas Airlangga (Unair), Irfan Wahyudi mengungkapkan kalau draf Rancangan UU Penyiaran berpengaruh besar pada independensi pers.

Irfan mengatakan, salah satu pasal yang paling kontroversial dalam RUU Penyiaran adalah Pasal 56 Ayat 2C yang melarang penayangan eksklusif jurnalisme investigasi.

"Pasal ini menjadi perkara yang signifikan. Sebab jurnalisme investigatif telah memberi nuansa yang kuat pada proses politik maupun sosial di Indonesia,” ujar Irfan dalam siaran pers yang diterima, Kamis (16/5/2024).

Irfan menilai larangan dalam RUU Penyiaran ini adalah wujud pembungkaman pers dan ekspresi media. Menurutnya, peraturan itu membingungkan dan menimbulkan keresahan publik.

Baca Juga: Pernah Jadi Wartawan, Cak Imin Soroti RUU Penyiaran: Mosok Jurnalisme Hanya Boleh Ngutip Omongan Jubir

Apabila RUU Penyiaran ini wujud penyempurnaan dari Undang-Undang nomor 32 Tahun 2002, maka Irfan menekankan regulasi itu perlu disesuaikan dengan zaman.

Irfan mengungkapkan, saat ini sudah ada dua regulasi yang mengatur masalah penyiaran. Pertama yakni keputusan Presiden dalam Omnibus Law, yang mengatur tentang penyelenggaraan penyiaran. Kedua yakni UU ITE atau Peraturan Penyiaran dari KPI.

Sedangkan dalam RUU Penyiaran juga mengatur penyelesaian sengketa jurnalistik yang dinaungi oleh KPI. Ia menilai kalau RUU Penyiaran ini seolah tumpang tindih dengan regulasi yang sudah ada.

"Permasalahannya terletak pada RUU Penyiaran yang memiliki fungsi serupa dengan UU ITE dalam implementasinya. Sehingga antar UU ITE dan RUU Penyiaran ini saling tumpang tindih dan memicu kebingungan dalam penanganan sengketa jurnalistik,” timpal dia.

Irfan melanjutkan, RUU Penyiaran itu berpotensi memudahkan pemerintah untuk membatasi dan bahkan mempidanakan konten yang dianggap meresahkan.  

Baca Juga: RUU Penyiaran Ancam Kebebasan Pers, Mahfud MD: Masak Jurnalis Dilarang Investigasi, Kita Harus Protes!

"Penyelesaian masalah pers seharusnya melibatkan lembaga yang menangani etika pers. Jadi ada hak jawab dari narasumber yang merasa keberatan. Tidak serta merta langsung masuk ke pidana,” tegas Irfan.

Lebih lanjut Irfan menambahkan, jurnalisme merupakan pilar penting bagi demokrasi Indonesia. Ia berpandangan kalau kritik adalah hal yang wajar.

"Tapi kemudian jangan sampai malah shoot the messenger gitu. Yang mana, malah mengkriminalisasi jurnalistik itu sendiri. Saya kira ini masih menjadi PR bagi Indonesia,” tuturnya.

Tidak hanya itu, Irfan juga memperingatkan tentang konsekuensi hukum dari RUU Penyiaran yang dapat meningkatkan risiko kriminalisasi terhadap jurnalis.  

“Media harus berhati-hati untuk tidak kembali ke masa pembredelan pers seperti era Orde Baru. Ketika mengkritik pemerintah, media harus bertanggung jawab dalam menjaga integritas dan independensi institusi," tandasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI