Sementara terdapat delapan fokus adaptasi yaitu ketahanan pangan, ketahanan ekosistem, ketahanan air, kemandirian energi, kesehatan, pemukiman perkotaan dan pedesaan, pesisir dan pulau kecil, dan peningkatan kapasitas para pemangku kepentingan dan masyarakat.
Ancaman krisis pangan dan bencana kelaparan
Selain itu Dwikorita juga menegaskan pentingnya menjaga ketahanan air. Menurutnya, jika ketahanan air melemah maka akan berdampak serius pada banyak hal di antaranya ketahanan pangan dan ketahanan energi Indonesia.
Apabila terus berlanjut, maka akan memicu terjadinya konflik yang berimplikasi terhadap stabilitas ekonomi, politik, dan keamanan.
"Jumlah penduduk terus meningkat sehingga di waktu bersamaan kebutuhan air juga ikut meningkat. Apabila ini tidak dikelola dengan baik maka dampak buruknya akan sangat serius," wanti dia.
Berdasarkan data yang dirilis Bappenas, perubahan iklim berpotensi menurunkan produksi padi Indonesia sebesar 1,13 juta ton hingga 1,89 juta ton. Lahan pertanian seluas 2.256 hektar sawah pun terancam kekeringan.
Di sisi lain, beber Dwikorita, kondisi ketahanan pangan Indonesia, yang dilihat dari tingkat konsumsi pangan rumah tangga, juga membutuhkan perhatian.
Angka prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan Prevalence of Undernourishment (PoU) pada 2022 meningkat menjadi 10,21 persen dari 8,49 persen pada 2021.
Apabila situasi ini tidak mendapatkan perhatian serius, katanya, maka ramalan The Food and Agriculture Organization (FAO) atau Badan Pangan dan Pertanian Dunia mengenai krisis pangan global dan bencana kelaparan di tahun 2050 dapat menjadi kenyataan.
Baca Juga: BMKG Pastikan Gempa Tuban Tidak Berpotensi Tsunami
Lebih lanjut Dwikorita menerangkan, BMKG mencatat secara keseluruhan kalau tahun 2016 merupakan tahun terpanas di Indonesia dengan nilai anomali sebesar 0.8 derajat Celcius relatif terhadap periode klimatologi 1981 hingga 2020.