Suara.com - Mahkamah Konstitusi pada Kamis (21/3/2024), memutuskan mengabulkan sebagian gugatan uji materi yang diajukan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, serta menghapus Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana perihal penyebaran berita bohong atau hoaks.
"Dalam pokok permohonan, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Negara RI II Nomor 9) bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," ucap Ketua MK Suhartoyo di Jakarta.
MK berpendapat bahwa unsur "berita atau pemberitahuan bohong" dan "kabar yang tidak pasti, atau kabar yang berkelebihan" pada Pasal 14 dan Pasal 15 UU No. 1/1946 mengandung sifat ambiguitas. Menurut MK, sulit menentukan ukuran atau parameter kebenaran suatu hal yang disampaikan oleh masyarakat.
Ukuran atau parameter yang tidak jelas dalam mengeluarkan pendapat atau pemikiran, kata MK, justru dapat membatasi hak setiap orang untuk berpikir. Selain itu, hal ini juga dinilai mahkamah dapat mengancam kebebasan masyarakat untuk berpendapat.
"Oleh karena itu, negara tidak boleh mengurangi kebebasan berpendapat dengan ketentuan atau syarat yang bersifat absolut bahwa yang disampaikan tersebut adalah sesuatu yang benar atau tidak bohong," kata hakim konstitusi Arsul Sani membacakan pertimbangan.
Di samping itu, MK juga menyatakan unsur "berita atau pemberitahuan bohong" dan "kabar yang tidak pasti, atau kabar yang berkelebihan" dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU No. 1/1946 merupakan norma yang mengandung pembatasan untuk mengeluarkan pendapat secara merdeka di ruang publik.
Norma tersebut berpotensi dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk memidana pelaku yang menyebarkan berita bohong, tanpa sungguh-sungguh mengidentifikasi perbuatan pelaku.
Oleh karena itu, MK berpendapat norma pada Pasal 14 dan 15 UU No. 1/1946 dapat memicu terjadinya pasal karet yang dapat menciptakan ketidakpastian hukum.
Selain itu, ketidakjelasan ukuran atau parameter yang menjadi batas bahaya juga terdapat pada unsur "onar atau keonaran" dalam pasal digugat. Menurut MK, penggunaan kata keonaran dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 berpotensi menimbulkan multitafsir.
Baca Juga: Guru Besar Unpad: Polri Bisa Usut Kecurangan Sirekap KPU Dengan UU ITE
Jika dikaitkan dengan hak kebebasan berpendapat, norma tersebut bisa mengancam hak masyarakat meskipun sesungguhnya bertujuan memberikan masukan atau kritik kepada penguasa.