Suara.com - Menurut penelitian – yang mewawancarai 1000 orang di 21 negara di seluruh dunia – hampir seperempat responden (23 persen) mengatakan bahwa mereka pernah mengalami semacam penguntitan online.
Penguntitan itu dilakukan dari orang yang baru mereka kencani, mereka masih rentan terhadap peningkatan jumlah penguntitan dan pelecehan.
Hal ini tidak lepas dari risiko yang ditimbulkan oleh pengaturan lokasi, privasi data dan lebih luas lagi, berbagi secara berlebihan (oversharing).
Jenis kekerasannya beragam, dengan lebih dari sepertiga (39 persen) responden pernah melaporkan beberapa bentuk kekerasan atau pelecehan yang dilakukan oleh pasangannya saat ini atau sebelumnya.
Diantaranya, sebanyak 16 persen responden pernah menerima email atau pesan yang tidak diinginkan.
Sebanyak 13 persen telah difilmkan atau difoto tanpa persetujuan mereka.
![Ilustrasi penguntit. [Unsplash/Mika Baumeister]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2024/02/15/17637-ilustrasi-penguntit.jpg)
Sebanyak 10 persen lainnya mengakui bahwa lokasi mereka telah dilacak.
Kemudian, 10 persen mengakui bahwa akun media sosial atau email mereka telah diretas, dan yang mengkhawatirkan.
Bahkan, 7 persen telah memasang perangkat penguntit (stalkerware) di perangkat mereka tanpa persetujuan.
Baca Juga: Diancam oleh Penguntit, Tiffany SNSD Batalkan Meet and Greet di New York
Secara proporsional, lebih banyak responden perempuan yang pernah mengalami beberapa bentuk kekerasan atau pelecehan dibandingkan responden laki-laki (42 persen berbanding 36 persen).