Fortinet Adopsi Teknologi AI dalam Antisipasi Serangan Siber

Iman Firmansyah Suara.Com
Selasa, 19 Desember 2023 | 12:25 WIB
Fortinet Adopsi Teknologi AI dalam Antisipasi Serangan Siber
(Dok: Istimewa)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

“Covid memaksa kita untuk masuk ke dunia digital. Untuk 100 persen hidup di dunia digital itu tidak mudah. Banyak perusahaan saat ini mengimpelentasikan AI utk mentransformasi operasional bisnis.”

Survei SecOps memaparkan berbagai temuan antara lain phishing (pengelabuan) dan pencurian identitas adalah ancaman siber yang paling dominan di Indonesia, dengan 50% perusahaan menempatkannya sebagai ancaman utama.

Lima ancaman teratas terdiri dari phishing, pencurian identitas, ransomware, DdoS dan DoS, serta serangan berbasis Internet of Things (IoT). Selain itu, insiden ransomware meningkat dua kali lipat di seluruh Indonesia, dengan 62% perusahaan melaporkan setidaknya peningkatan 2 kali lipat pada tahun 2023, dibandingkan tahun 2022.

Terdapat 92% responden merasa bahwa pekerjaan jarak jauh telah menyebabkan peningkatan insiden ancaman orang dalam. Pelatihan yang tidak memadai, kurangnya kepedulian karyawan, dan komunikasi yang tidak memadai berkontribusi terhadap lonjakan ini, sehingga menekankan perlunya mengatasi faktor manusia dalam keamanan siber.

Hanya 50% bisnis di Indonesia yang mendedikasikan sumber daya TI untuk tim keamanan. Pekerjaan hybrid, AI, dan integrasi sistem IT/OT menimbulkan tantangan yang signifikan. Adopsi teknologi awan muncul sebagai tantangan utama, yang berdampak pada kerentanan perusahaan terhadap ancaman siber (cyber threat).

Kurang lebih 2 dari 5 (42%) perusahaan yang disurvei di seluruh Indonesia mengungkapkan kekhawatiran mereka mengenai kurangnya perlengkapan dalam membendung ancaman. Lebih dari 50% perusahaan yang disurvei mengalami rata-rata 221 insiden per hari dan 2 dari 5 perusahaan menghadapi lebih dari 500 insiden setiap hari, yang menyebabkan kelelahan karena kewaspadaan. Dua peringatan teratas yang dihadapi adalah email mencurigakan (phishing) dan deteksi malware atau virus, yang menyoroti pentingnya pelatihan yang ditargetkan mengenai kesadaran phishing. Selain itu, perilaku pengguna yang mencurigakan, penguncian akun, dan beberapa upaya login yang gagal berkontribusi terhadap kelelahan peringatan.

Rata-rata, hanya ada satu tenaga ahli SecOps untuk setiap 140 karyawan, yang masing-masing mengelola sekitar 16 peringatan setiap hari. Beban kerja ini memberikan tekanan yang signifikan pada para profesional keamanan siber, sehingga mereka hanya memiliki waktu 30 menit untuk mengatasi setiap peringatan dalam 8 jam kerja.  

Tantangan positif palsu (false positive) tetap ada, dengan 70% responden mencatat bahwa setidaknya 25% dari peringatan yang mereka terima adalah positif palsu dengan peringatan keamanan email/phishing, peringatan penguncian akun pengguna, dan peringatan analisis perilaku sebagai kontributor teratas. 82% tim membutuhkan waktu lebih dari 15 menit untuk memvalidasi peringatan, sehingga menyoroti perlunya automasi.

Sebanyak 86 persen responden di seluruh Indonesia merasa kesulitan untuk selalu memperbarui keahlian tim mereka seiring lanskap ancaman yang berubah dengan cepat. Responden survei memprioritaskan kemampuan mengautomasi (62%) sebagai keahlian utama tim Pusat Operasi Keamanan (Security Operations Centre/SOC), dan menyoroti semakin pentingnya automasi dalam keamanan siber.

Baca Juga: Ramai Isu Prabowo-Gibran Dukung LGBT, Relawan Sekjen For Gibran: Hoaks!

Mayoritas (98%) perusahaan telah menggunakan alat automasi dan orkestrasi dalam operasi keamanan mereka, menunjukkan pengakuan luas atas nilai alat tersebut dalam memperkuat strategi keamanan siber. Meskipun alat automasi sudah banyak digunakan, survei menunjukkan bahwa perusahaan belum sepenuhnya memanfaatkan seluruh potensi teknologi ini.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI