Suara.com - Ketua Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu) Rahmat Bagja buka suara soal dugaan kasus kebocoran data KPU (Komisi Pemilihan Umum) yang diretas hacker bernama Jimbo beberapa waktu lalu.
Rahmat Bagja membantah kalau isu kebocoran data KPU yang berisi data daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu itu melibatkan Bawaslu. Ia menegaskan kalau data yang dimiliki Bawaslu tidak sesuai dengan apa yang dibocorkan hacker.
"Padahal, data yang diberikan ke Bawaslu hanya by name by address. Tanpa ada NIK (nomor induk kependudukan) dan KK (kartu keluarga)," kata dia, dikutip dari situs Bawaslu, Minggu (10/12/2023).
Dia menjelaskan, data pemilih yang diberikan KPU kepada Bawaslu diberikan setelah penetapan DPT.
"Jangan pula dalam hal ini kami (Bawaslu) diikutkan. Silon saja kami tak punya akses. Oleh karena itu, KPU harus berhati-hati terhadap data yang dipunya," papar dia.
Bawaslu sendiri belum menerima laporan atau aduan dugaan pelanggaran yang berkaitan dengan dugaan kebocoran data pemilih tersebut.

"Sejauh ini belum ada laporan (dugaan pelanggaran) dari masyarakat yang disampaikan kepada Bawaslu," aku dia.
Bagja menerangkan, DPT merupakan hasil pencocokan dan penelitian (coklit) oleh KPU dari Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4). Kemudian data tersebut mengalami penyempurnaan menjadi daftar pemilih sementara (DPS) dan daftar pemilih sementara hasil perbaikan (DPSHb).
"Nah bisa nanti dilihat apakah itu DP4 atau DPT. Salinan DPS sudah diumumkan tiap kelurahan/desa oleh PPS yang tak mencantumkan NIK," imbuhnya.
Baca Juga: Dua Jurnalis Televisi Ini Dipilih Jadi Moderator Debat Capres-Cawapres, Siapakah Mereka?
Kalau ada NIK, lanjut dia, artinya itu bukan data yang diberikan kepada Bawaslu atau peserta pemilu. Bagja meminta KPU untuk bekerja sama dengan Bareskrim Polri serta Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) untuk mengecek tempat penyimpanan data apakah sudah baik atau ada kemungkinan bocor.